Tuesday 31 July 2012

Babat Jawa “Melemahkan” Palembang

Oleh: DJOHAN HANAFIAH

Sultan Agung dari Mataram adalah tokoh sejarah yang terbesar dalam abadnya. Dia berkuasa pada tahun 1613-1646. Sultan Agung adalah raja Jawa yang berani mengepung Batavia sampai dua kali, yaitu tahun 1628 dan 1629. Meskipun pengepungan itu sendiri gagal, paling tidak sejarah telah mencatat keperkasaan tentara Mataram yang terlalu banyak menjadi korban.

Untuk mempertanggung jawabkan kegagalan pengepungan ini, maka babad yang dibuat oleh penulis istana, yaitu Serat Kendha dan Babad Balai Pustaka menuliskan suatu maaf yang dikemas dengan cerita: Panembahan Purbaya(kakak kandung Sultan Agung) setelah ikut bertempur di Batavia, kembali ke Mataram, melaporkan kepada raja dan menasihatkan agar perang diakhiri saja, “karena orang-orang Belanda hanya datang kemari untuk berdagang.”

Raja memutuskan untuk mengakhiri pengepungan dan disamping itu meramalkan bahwa Belanda kelak akan menolong salah seorang keturunannya yang menderita kekalahan. Selanjutnya menurut babad: Belanda akan menjadi sahabat dan sekutu dan menjaga istana.

Gaya tulisan babad-babad paling tidak itulah isinya. Sangat menarik adalah cerita dari Babad Pagedhogan(Dr.Purwadi Hidup, Mistik dan Kematian Sultan Agung, Tugu Publ.Yogya 2005). Menurut Dr.Purwadi dalam bukunya bagaimana bijak dan penuh falsafah kehidupan Sultan Agung. Salah satu sikap hidupnya adalah bagimana “menang tanpa ngasorake”, “nungkul tanpa pinukul” dan seterusnya. Akan tetapi sayangnya contoh-contoh yang diberikan akan tindakan itu, justeru mengecilkan kalau tidak melecehkan orang lain, dan membenarkan diri sendiri. Di sini kembali lagi Palembang menjadi sasaran seperti didalam Hikayat Patani.

Diceritakan oleh babad itu, pada masa Sultan Agung bertahta, tindakannya sangat arif dan bijaksana, meskipun dia raja besar. Pada masa itu Sultan Palembang juga adalah raja besar, dan tentunya raja Palembang ingin melihat kemampuan Mataram. Sultan Palembang bertekad dan berniat untuk menyerang dan menghancurkan Mataram. Dia mempersiapkan segala senjata, pasukan dan barisan yang dilatih tata cara serta taktik dalam berbandayuda. Senjata yang dibuat adalah sakti.

Mataram kemudian mendengar berita ini, untuk itu Kanjeng Panembahan Purbaya, kakak Sultan Agung dengan menyamar pergi ke Palembang. Dia menyaksikan bahwa memang benar Palembang telah siap untuk menyerang Mataram. Panembahan Purbaya dalam samarannya memperingatkan Palembang, bahwa orang Mataram adalah sakti. Panembahan Purbaya setelah mengaku orang biasa dari Mataram, dia memdemonstrasikan kesaktiannya luar biasa, seperti dia melumat dan menginjak meriam-meriam menjadi seperti pisang yang terinjak-injak. Kemudian karena kemarahan orang Palembang, meriam itu dikembalikannya lagi seperti bentuk sediakala. Meskipun kagum akan tetapi juga membuat orang ketakutan. Namun tekad Palembang untuk menyerang Mataram tidak dapat dibatalkan.

Dengan adanya perbuatan Purbaya tersebut, orang Palembang membawa semacam taruhan, yaitu sebuah pusaka Batu Intan. Batu itu hanya sebesar tumpeng, akan tetapi harus digotong oleh 32 orang. Batu ini sangat keras. Orang Palembang menawarkan kepada Sultan Agung, apabila dia berhasil memecah dua pusaka tersebut maka Palembang akan tunduk mengabdi ke Mataram. Sebaliknya jika Sultan Agung tidak sanggup memecah batu tersebut, maka Palembang akan menghancurkan Mataram. Pasukan Palembang berangkat ke Mataram, selain membawa batu Pusaka Intan, juga segala perlengkapan dan hadiah bagi Sultan Agung apabila nanti menang dalam sayembara tersebut. Sebelum sampai diibukota Mataram, Purbaya yang membuka samarannya kembali, tidak dikenali oleh orang Palembang. Dia memperkenalkan dirinya sebagai Panglima Mataram, dan menanyakan segala sesuatunya dengan pasukan Palembang. Pasukan tersebut menyampaikan maksud tujuan dari raja Palembang, untuk bertaruh dengan batu pusaka kepada Sultan Agung. Purbaya menanyakan apakah dia boleh mencoba untuk membelah batu pusaka tersebut. Dengan senang hati pasukan Palembang mengizinkannya untuk membelah batu pusaka tersebut, dan ternyata batu itu dengan mudahnya dibelah dua sama besar oleh Purbaya.

Pasukan Palembang sangat terkejut dan juga ketakutan. Akhirnya pasukan ini sebagian kembali ke Palembang, membawa belahan batu pusaka tersebut dan melaporkan kepada Sultan Palembang. Atas peristiwa ini Sultan Palembang berangkat ke Mataram membawa sejumlah hadiah dan persembahan kepada Sultan Agung, untuk bukti penundukkan Palembang dibawah Mataram, apabila Palembang kalah dalam taruhan. Persembahan itu berupa gajah emas, rusa emas, katai emas dan barang-barang lain yang juga terbuat dari emas.

Cerita babad ini tentunya tidaklah benar sama sekali dalam fakta sejarah. Palembang belum pernah sama sekali hendak menyerang Mataram, karena dalam kenyataan sejarah Palembang secara sukarela menjadikan dirinya sebagai vazal Mataram, karena hubungan kutural, secara ekonomis dalam hubungan dagang, secara politis sebagai negara yang diharapkan menjadi pelindung menghadapi Banten dan VOC. Demikian pula belum pernah tercatat upeti yang diberikan dalam bentuk emas, biasanya hadiahnya berupa hewan langkah dan pakaian mewah.

Jadi dapat diperkirakan, bagaimana hebatnya Mataram, nyatanya Palembang masih dianggap lebih hebat lagi oleh Mataram. Dalam kenyataan sejarah, Mataram mengklaim Palembang adalah “kawula”nya, akan tetapi pada saat menghancurkan VOC menghancurkan Palembang, tidak ada bantuan apapun yang dilakukan oleh Mataram. Malahan sebaliknya Palembanglah yang berkali-kali membantu Mataram sewaktu mereka berperang dengan musuh-musuhnya.

Kesimpulan: bahwa Palembang masih menjadi ilham dan panutan, berkat sejarah besarnya pada masa-masa Sriwijaya, sehingga dua kebudayaan yaitu Melayu dan Jawa perlu menempatkan Palembang sebagai peran utama dalam ilham budaya dan politik di wilayah Nusantara bahagian Barat. Babad Tanah Jawa melahirkan Raden Fatah di Palembang, sebagai tokoh sentral dalam menurunkan kekuasaan raja-raja di Jawa yang mempunyai aliran darah Mojopahit. Sejarah Melayu adalah juga babad, yang melahirkan Sri Tribuana, Demang Lebar Daun dan Hang Tuah di Bukit Seguntang, dimana anak cucunya menajdi raja-raja di Singapura, Melaka dan daerah Semenanjung lainnya.

Palembang adalah melting pot budaya Melayu dan Jawa.

SUMBER: BERITA MUSI -- 25.10.2009 15:40:25 WIB

Melihat Palembang dari Naskah Kuno

Melihat Palembang dari Naskah KunoHANIFA (38), seorang warga asli Palembang, sulit membayangkan bagaimana kisah pewayangan yang selama ini dianggapnya hanya "milik" masyarakat Pulau Jawa. Kisah pewayangan ternyata pernah berkembang di Palembang yang menjadi ibukota Sumatera Selatan itu. Pewayangan di Palembang bukan sekedar ada, tetapi berkembang. Namun cerita pewayangan itu mengalami perubahan untuk disesuaikan dengan budaya.

Modifikasi itu misalnya, membuat tokoh-tokoh punakawan naik pangkat menjadi golongan bangsawa. Gareng misalnya, disebut sebagai Ki Agus Gareng, Ki Agus merupakan salah satu sebutan kebangsawanan pada masa Kesultanan Pelembang Darussalam. Selain pewayangan, cerita-cerita rakyat yang sebelumnya banyak berkembang di Pulau Jawa, juga dikisahkan di Palembang dengan modifikasi budaya setempat, misalnya kisah Raden Ing Kertapati atau Ande-Ande Lumut.

Cerita-cerita yang ditemukan dalam penelitian Yayasan Naskah Nusantara bekerjasama dengan Tokyo University of Foraign Studies, Agustus tahun lalu, itu menunjukan keterkaitan Palembang dengan kerajaan-kerajaan di Jawa. Kisah-kisah itu ditulis dalam naskah yang berasal dari abad ke-19, dengan tulisan Arab Melayu.

Sejarah Kesultanan Palembang bermula dari kemelut politik yang terjadi di Kesultanan Demak sesudah kematian Tranggana, raja Demak setelah Raden Fatah, serta pemindahan pusat Kesultanan di Pajang oleh Prabu Adiwijaya. Kelompok bangsawan yang dikalahkan dalam perseteruan itu, antara lain adalah Ki Gede Ing Suro bersama para pengikutnya menyingkir dan mendirikan pusat kekuasaan baru di Palembang. Kesultanan Palembang ini didirikan pada abad ke-16.

Budayawan Sumatera Selatan, Djohan Hanafiah menegaskan, para bangsawan Jawa yang berkeraton di Palembang pada akhirnya beradaptasi dengan budaya Melayu yang sudah tumbuh di daerah ini. Palembang juga merupakan kawasan kosmopolitan, dengan percampuran budaya berbagai bangsa yang datang seiring arus perdagangan. Karakter kosmopolitan ini tentu tak lepas dari latar sejarah Palembang pada masa Kerajaan Sriwijaya. Kerajaan bahari ini berpengaruh luas di nusantara mulai abad VII hingga XI Masehi pergaulan antar bangsa dan akulturasi budaya membentuk karakter daerah ini.

Bertepatan dengan 16 Juni lalu, hari jadi Ke 1320 tahun Palembang dirayakan. Hari jadi itu ditetapkan pemerintah kota, berdasarkan prasasti kedukan Bukit yang menandai berdirinya Kerajaan Sriwijaya. Prasasti ini berangka 682 Masehi, tetapi kelahiran Palembang dihitung lebih muda. Artinya, sejarah ibukota Sumatera Selatan ini lebih panjang dari perjalanan Kota Baghdad di Iran yang didirikan pada tahun 762, lebih tua dari Kyoto Jepang yang didirikan tahun 794, apalagi yang dibandingkan dengan Jakarta yang berdiri tahun 1527. Namun, rasa memiliki sejarah panjang, tidak mudah dilihat dalam tata nilai sekarang ini.

Sejarah Kesultanan Palembang Darussalam yang jauh lebih muda dari masa Sriwijaya, meninggalkan jejak tak terputus dengan keberadaan Palembang masa kini. Namun, apresiasi masyarakat terhadap sejarah dan warisan budaya Kesultanan ini terkesan memprihatinkan. Naskah yang berasal dari masa Kesultanan Palembang Darussalam misalnya, antara lain ditemukan disimpan saja dalam rak dikamar mandi.

Karya penulis dengan bahasa dan gaya penulisan tertentu mewakili suatu masa, Substansi yang dipaparkan menyuguhkan wacana yang berkembang pada masa itu. Oleh karena itu, penemuan naskah berperan penting dalam kegiatan apresiasi kebudayaan kesejarahan. penelitian awal yang digelar Yayasan Naskah Nusantara bekerjasama dengan University of Foraign Studies di Palembang, Agustus lalu. Menemukan bukti produktivitas sastra Melayu di daerah ini pada masa Kesultanan. "Dari penelitian awal, sudah terlihat bahwa kegiatan penulisan naskah di Palembang pada masa lalu ternyata sangat aktif dan menonjol," ujar Dr. Achadiati Ikram, pakar filologi Universitas Indonesia (UI), yang bergabung dalam tim peneliti tersebut.

Selama sepekan pendataan, tim peneliti ini mencatat sekitar 230 naskah ditemukan pada 15 warga kota Palembang. Naskah-naskah tersebut berasal dari abad ke-18 dan ke-19. "Kami yakin masih banyak sekali yang tersebar dikalangan masyarakat dan belum tersentuh," ujar Dr. Titik Pudjiastuti, Staf Pengajar Program Pascasarjana UI, yang bergabung dalam timini

Kini, temuan dalam penelitian itu sedang disusun menjadi katalog yang akan dilengkapi deskripsi naskah. Diskripsi diperoleh dari pembacaan masing-masing cetakan naskah yang di potret. "Katalog ini akan diterbitkan oleh Tokyo University of Foreign Studies," jelas Titik.

Pendataan naskah-naskah kuno di Palembang secara komprehensif belum dilakukan. Katalog pertama yang disusun bukan akan diterbitkan di Indonesia. Hal ini menunjukan, betapa naskah-naskah kuno yang menggambarkan kekayaan intelektual pada masa itu belum banyak diterjemahkan, dimanfaatkan sebagai sumber penggalian sejarah. "Jika mau melihat sejarah, kita mesti pergi ke Belanda. Padahal, itu merupakan secondary sources yang sangat mungkin disusun dengan sudut pandang berbeda. Catatan pada naskah-naskah inilah primary sources yang selama ini justru kita abaikan," tutur doktor filologi ini bernada prihatin.

Kekayaan ragam muatan juga sangat mendukung pengembangan berbagai kajian lain, melalui naskah-naskah kuno di Palembang antara lain merupakan kitab keagamaan, ajaran tasawuf dengan beberapa diantaranya menunjukkan aliran yang berkembang pada masa itu, hingga hikayat dan syair. silsilah, surat-surat, hingga catatan perjalanan juga ditemukan. Titiek mencontohkan, sebuah akte pernikah yang ditemukan misalnya, dapat menampilkan "potret" salah satu perjanjian sosial yang dijalankan pada masa itu, sekaligus menjadi sumber sejarah hukum.

Penulisan naskah dapat dipandang sebagai salah satu penuangan budaya "berkelas" paling tinggi pada masa lalu. Djahan Hanafiah, Sejarawan Sumatera Selatan, menuturkan, penulisan naskah menuntut kemampuan intelektual, kemampuan ekonomi, dan waktu luang. "Pada masa itu, golongan masyarakat dengan intelektualitasi yang cukup, berkemampuan memadai, serta dapat mengalokasi waktuuntuk mengapresiasi tulisan sastra atau keagamaan, umumnya adalah para bangsawan," ujar Djohan.

Budayawan yang menulis sejumlah buku sejarah lokal ini menyakini, Sultan Palembang berperan besar dalam pengembangan budaya penulisan di Sumatera Selatan. Kegiatan penulisan mencapai puncaknya pada masa Sultan Mahmud Badaruddin (SMB) II yang diyakini Djohan sebagai pemimpin masa keemasan Kesultanan Palembang.

Mujib Ali, peneliti pada Kantor Asisten Deputi Urusan Arkeologi Departemen Kebudayaan dan Pariwisata yang pernah mendalami penulisan naskah kuno di Palembang, menuturkan, Sultan Mahmud Badaruddin II memang memiliki perpustakaan yang di duga terlengkap di Palembang masa itu. Puluhan naskah yang ditemukan Mujib memang ditandai sebagai milik Sultan Mahmud Badaruddin II. Sayangnya berbagai sumber sejarah menyebutkan terjadi pembakaran tempat penyimpanan koleksi naskah pada saat Kesultanan dijatuhkan Belanda pada tahun 1824. Sebagian naskah yang tersisa sempat dibawa oleh Belanda, sebagian lain justru dibakar oleh keluarga Sultan untuk menghindari pertentangan antar bangsawan.

Akan tetapi, peninggalan naskah-naskah yang tersisa hingga saat ini, masih menggambarkan tradisi penulisan yang hidup dalam masyarakat pada masa itu. Mujib menjelaskan, sebelum cetakan batu ditemukan, reproduksi naskah dilakukan dengan menyalin ulang dalam tulisan tangan. "Ditemukan pula penyalinan naskah-naskah yang belum selesai," ujar Mujib yang meneliti naskah-naskah kuno Palembang pada kurun 1996-2001.

Penyalinan naskah yang dianggap manarik dilakukan dengan meminjam dari pemilik terdahulu, dengan kontrak waktu dan tarif tertentu. Bahkan ditemukan indikasi keahlian spesialisasi pada orang-orang tertentu dalam penulisan atau penyalinan naskah. "Ada orang-orang tertentu dengan spesialisasi penulisan silsilah, misalnya. Ada pula standar tertentu yang harus dipenuhi seorang penyalin kitab keagamaan yang berbahasa Arab," jelas Mujib.

Kegiatan "perdagangan" semacam sanggar penulis dengan spesialisasi tertentu, menunjukan kegairahan penulisan di Palembang pada masa Kesultanan. Sementara itu, koleksi naskah juga memberikan prestise tersendiri bagi pemiliknya. Akan tetapi, belum ditemukan manifestasi kegairahanpenulisan seperti itu dalam kegiatan masyarakat masa kini. "Ibaratnya, kegairahan penulisan ini tidak mengalami reinkarnasi dalam kehidupan masyarakat di daerah ini," kata mujib.

Karya yang dituangkan dalam kertas tua terkesan tidak menarik perhatian kalangan luas masyarakat kota ini. Memperdulikan kelestarian situs budaya dijantung kota Palembang pun bukan pekerjaan mudah.

Namun, tidak akan ada bangsa besar. Tanpa belajar dari sejarah.

KOMPAS, Senin, 29 September 2003

Kerajaan Sriwijaya

Kerajaan Sriwijaya

Sriwijaya adalah kerajaan Melayu kuno di Pulau Sumatera yang banyak berpengaruh di kepulauan Nusantara. Bukti awal mengenai keberadaan kerajaan ini berasal dari abad ke-7; seorang pendeta Tiongkok, I-tsing, menulis bahwa ia mengunjungi Sriwijaya tahun 671 selama 6 bulan. Prasasti pertama mengenai Sriwijaya juga berada pada abad ke-7, Yaitu Prasasti Kedukan Bukit di Palembang, pada tahun 682. Kerajaan ini mulai jatuh pada tahun 1200 dan 1300 karena berbagai faktor, termasuk ekspansi kerajaan Majapahit. Dalam bahasa Sansekerta sri berati "bercahaya" dan wijaya berarti "kemenangan."

Setelah Sriwijaya jatuh, kerajaan ini terlupakan dan sejarawan tidak mengetahui keberadaan kerajaan ini. Eksistensi Sriwijaya diketahui secara resmi tahun 1918 oleh sejarawan Prancis George Coedes dari Ecole Francise d'Extreme-Oriental. Sekitar tahun 1992 hingga 1993, Pierre-Yves Manguin membuktikan bahwa pusat Sriwijaya berada di Sungai Musi antara Bukit Siguntang dan Sabokingking (terletak di provinsi Sumatera Selatan)

Historiografi


Tidak terdapat catatan lebih lanjut mengenai Sriwijaya dalam sejarah Indonesia; masa lalunya yang terlupakan dibentuk kembali oleh sarjana asing. Tidaj ada orang Indonesia modern yang mendengar mengenai Sriwijaya sampai tahun 1920-an, ketika sarjana Perancis George Coedes mempublikasikan penemuannya dalam koran berbahasa Belanda dan Indonesia. Coedes menyatakan bahwa referensi Tiongkok terhadap "Sanfoqi" sebelunnya dibaca "Sribhoja," dan prasasti dalam Melayu kuno merujuk kepada kekaisaran yang sama.

Budaya Palembang Sumatera Selatan

Sumatera Selatan sudah di diami manusia sejak zaman purbakala. Bukti-bukti sejarah masa lampau itu antara lain berupa situs-situs megalit dalam berbagai bentuk dan ukuran yang dapat disaksikan baik di museum maupun di alam terbuka. Peninggalan kebudayaan megalit itu merupakan hasil kreasi seni pahat para nenek moyang terdiri dari arca-arca batu berbentuk manusia, binatang, menhir, dolmen, punden berundak, kubur batu, lumpang batu, dan sebagainya yang berukuran kecil sampai raksasa.

Bukti-bukti peradaban pada masa 2.500 - 1.000 tahun Sebelum Masehi tidak hanya mengesankan bagi wisatawan asing maupun domestic, tetapi juga para ahli yang acap kali dating melakukan penelitian ilmiah. Di alam terbuka, situs-situs megalit itu sebagian besar terdapat di Kabupaten Lahat, Ogan Komering Ulu dan Muara Enim. Keberadaan benda-benda itu telah melahirkan berbagai legenda dan mitos dikalangan masyarakat Sumatera Selatan. Di antaranya Legenda Si Pahit Lidah yang karena kesaktiannya mampu membuat apapun yang tidak disukainya menjadi batu.

Dalam abad ke-7 -13 Masehi, Sumatera Selatan merupakan pusat kekuatan kerajaan Sriwijaya dan Palembang sebagai Ibukota Kerajaan. Di masa jayanya, Sriwijaya di kenal sebagai pusat pendidikan dan ilmu pengetahuan mengenai agama Buddha di Asia Tenggara. Pada saat itu kerajaan Sriwijaya dengan kekuatan armadanya yang tangguh, selain menguasai jalur perdagangan dan pelayaran atara Laut Cina Selatan dan Samudera Hindia, yang telah menjadikan daerah ini sentra pertemuan antar bangsa.

Hal ini telah menimbulkan transformasi budaya yang lambat laun berkembang dan membentuk identitas baru lagi di daerah ini. Tranformasi budaya ini terjadi pula dengan masuknya pengaruh Islam, terutama pada saat Sumatera Selatan dibawah kekuasaan Kesultanan Palembang Darussalam sejak awal abad ke-15. Sebagian besar penduduk Sumatera Selatan sendiri sudah menganut agama Islam sebelum Kesultanan Palembang Darussalam berdiri. Beragam faktor yang mempengaruhi sejarah perkembangan masyarakat di Sumatera Selatan itu telah menimbulkan asimilasi di daerah ini, baik dalam tradisi, seni maupun aspek-aspek lain dalam kehidupam.

Indonesiamedia.com

Lagenda Raja Buaya

Lagenda Raja Buaya

Sumatera Selatan, sebagai daerah yang dipenuhi rawa-rawa dan dilewati banyak sungai, memiliki populasi yang cukup banyak dan penampakan buaya merupakan hal biasa. Bahkan di kalangan masyarakat dikenal pula ilmu buaya. Yakni ilmu hitam, yang mana pemiliknya akan berubah menjadi buaya kalau sudah meninggal dunia.

Di tepian Sungai Musi, Palembang, banyak legenda mengenai buaya yang diceritakan turun temurun, salah satunya legenda buaya putih. Beberapa tempat yang diyakini tempat munculnya buaya putih adalah di aliran Sungai Ogan, seperti di bawah jembatan Ogan, Kertapati, Palembang dan lokasi pedalaman sungai Ogan. Munculnya buaya putih ini diyakini selalu menjadi pertanda akan terjadi bencana besar di Sumsel atau di Indonesia.

Demikian juga warga di Pemulutan, Kabupaten Ogan Ilir, Sumsel. Mereka sangat percaya dengan legenda-legenda mengenai buaya. Sebagian besar warga Pemulutan percaya, nenek moyang mereka adalah buaya. Sebab ilmu buaya banyak dikuasai masyarakat Pemulutan dan ada yang menjadi pawang buaya. Banyak warga Pemulutan yang dapat berubah menjadi buaya jika masuk ke dalam sungai atau rawa. Ini adalah ilmu hitam yang biasanya dikuasai para bandit.

Di masyarakat Palembang juga ada kisah/legenda menarik dari abad ke-16. Saat itu raja Palembang bingung bagaimana mengatasi buaya-buaya yang berada di Sungai Musi. Buaya-buaya itu ganas dan dapat membuat warga terancam nyawanya. Lalu, sang raja mendatangkan seorang pawang buaya dari India. Dengan janji akan memberikan banyak hadiah, sang raja meminta si pawang menjinakkan buaya-buaya di sungai Musi. Buaya-buaya itu pun jinak. Si pawang pun menerima banyak hadiah.

Kemudian raja mengajak sang pawang ke daerah pedalaman yang banyak buayanya. Kembali pawang itu menaklukkan buaya-buaya menjadi jinak. “Coba kau buat buaya-buaya itu kembali menjadi ganas. Aku mau tahu bagaimana kehebatan ilmumu?” kata sang raja.

Pawang yang sudah mabuk pujian itu kemudian membuat buaya-buaya itu menjadi ganas. Ayam dan ternak yang dilempar ke sungai dengan cepat dimakan buaya. Dan, ketika si pawang lengah, seorang prajurit kerajaan Palembang mendorong pawang ke gerombolan buaya. Tak ayal si pawang itu mati dimakan buaya. Lokasi terbunuhnya pawang itu diperkirakan di pesisir timur Sumatera Selatan, seperti Pulaurimau, atau di kawasan Pemulutan.

Kalau pawang ini tidak dibunuh, saya khawatir dia dapat mempermainkan kita. Atau, kalau dia tidak senang dengan kita, buaya-buaya di sungai Musi dibuatnya menjadi ganas lagi, kata sang raja.Oleh karena itu, tidaklah heran, buaya di sungai Musi dengan buaya di daerah pedalaman Sumatra Selatan berbeda karakternya. Di sungai Musi tidak ada buaya yang bersifat ganas, meskipun saat ini sudah jarang terlihat, berbeda dengan daerah pedalaman yang terkenal dengan buayanya yang ganas-ganas.

Sejarah Panjang Ilir Barat Permai (Bom Cegah Kebakaran Merambat)

LEMABANG 2008

Musibah kebakaran yang terjadi pada Agustus 1981 menimbulkan dampak yang cukup besar besar pada wajah kota ini. Sebanyak empat kampung tradisional masyarakat lenyap dari permukaan Bumi Sriwijaya ini. Peristiwa ini, paling tidak, juga telah mengubah pola hidup Wong Plembang lewat perkenalan dengan rumah bertingkat-tingkat yang di sebut rumah susun (Rusun). Kawasan pertokoan Internasional Plaza (IP) hingga ke IBP, paling tidak hingga awal 1980-an, belum memiliki jalan aspal, sementara IP, ketika itu masih merupakan Bioskop Internasional dengan beberapa toko disekitarnya. Di ujung jalan (tanah merah keras) dari internasional, terdapat Pasar Mambo, yang dibuka pada malam hari.

Saat ini, bangunan di sekitar kawasan itu umumnya baru kecuali toko foto - copy Remifa. Penghubung kawasan Cinde Welan (Candi Walang) adalah Jl Candi Walang, yang di mulai dari Jl. Jend. Sudirman -- Kebon Duku -- hingga tembus ke belakang Pasar Cinde saat ini. Dikawasan 24 Ilir itu pula, terdapat Sungai Candi Walang (kini telah ditimbun). Kawasan Candi Walang, ketika itu posisi tanahnya menanjak. Bahkan jauh sebelum itu, pada masa Kesultanan Palembang hingga masa penjajahan Belanda, kawasan ini posisi tanahnya menanjak hingga ke RS RK Charitas saat ini. Karena pembuatan jalan dan sebagian pemukiman, dataran tinggi itu "dipangkas" hingga posisi tanahnya tampak seperti saat ini.

Sebagian kawasan, masih berupa rawa dan aliran sungai. Dengan topografi seperti itu, sebagian besar rumah di kawasan ini berbentuk panggung berbahan kayu. Kondisi ini, paling tidak, dapat kita saksikan dalam karya pelukis asal Sumsel Amri Yahya, yang berjudul Sungai Limbungan (1954). Lukisan bermedia cat minyak di atas kanvas berukuran 80x50 cm itu menggambarkan suasana Sungai Limbungan (sekarang kawasan Rusun). Lewat lukisan ini dapat di lihat kondisi "almarhum" Sungai Limbungan yang dahulu dapat dilalui perahu dan kini menjadi "sarang nyamuk" itu. Paruh awal 1980-an, Sungai Candi Walang dapat dimasuki perahu. Bahkan, masih terdapat banyak buaya di sungai itu.

Menurut beberapa warga yang berdiam lama dikawasan ini, sepanjang tepian Sungai Candi Walang, masih ditumbuhi pohon para (karet) dan pohon kemang. Saat menyusuri sungai di kawasan Bank Mandiri saat ini. Buaya besar berlumut sering muncul begaya "kalem" itu diyakini sebagai Raden Tokak. Ini merupakan salah satu tokoh legenda dalam cerita rakyat Palembang yang konon dapat muncul se waktu-waktu. Bahkan, hingga kini pun. Dengan "wilayah kekuasaan" dari 35 Ilir sampai Sungai Sekanak, masyarakat Palembang masih sering melihat penampakannya.

Kampung Yang Hilang
Salah seorang saksi mata dalam kebakaran yang terjadi pada Agustus 1981, H. Mouthalib Adams, menggambarkan peristiwa kebakaran itu sangat tiba-tiba dan begitu mengejutkan. "Saat itu, pukul 09.00 WIB, saya sedang memfotocoy. Tiba-tiba, saya dengar ada yang mengatakan kebakaran. Begitu sampai di rumah, api telah membesar," kata Mouthalib, yang saat itu bekerja di Radar Selatan. Api berasal dari salah satu rumah di Gg Buntu, yaitu bedeng pembuat kasur. Api dengan demikian cepat menjalarnya dengan pola menyebar tak hanya kawasan 24 Ilir yang terkena. Api merambat cepat ke 23 Ilir, 22 Ilir, dan 26 Ilir. Pola rembetan api memanjang di kawasan 26 Ilir membuat repot petugas pemadam kebakaran. Kepanikan warga akibat musibah itu, tak dapat digambarkan lagi. Karena cepatnya api menjalar, Try Sutrisno yang saat itu menjabat Panglima Komando Daerah Militer (Pangdam) IV --- kini Kodam II --- Sriwijaya, membuat "blok" dengan menjatuhkan bom di dua titik kebakaran kawasan 26 Ilir. "Begitu bom dijatuhkan, lokasi kebakaran langsung terpecah dan rembetannya dapat di cegah," kata Mouthalib. Penggunaan bom untuk pemecah api ini, mengingatkan pada penggunaan TNT (2,4,6- trinitron toluena) yang dipakai Polda Sumsel saat membantu memudahkan pemadaman api dalam "tragedi Heppi."

Selain menjatuhkan bom, sebagai upaya mempercepat pemadaman api juga dilakukan dengan membongkar dan merobohkan beberapa rumah. Salah satunya rumah limas yang kini berada di salah satu sisi blok Rusun. Api baru dapat dijinakkan sekitar tengah malam. Saat itu diperkirakan lebih dari 400 unit rumah hangus, meski pun tak ada korban jiwa. Yang jelas empat kampung ludes dari permukaan tanah. Hilanglah empat kampung tradisional Palembang. Sebagian dari kampung itu, kini berubah menjadi "kampung modern" dengan rumah tinggal bersusun-susun.

Yudhy Syarofie
Sripo Sabtu, 13 Juli 2002.

Islamic Wallpaper

1234460002
0002iw201108wp0003
0000040005
00050005iw200108wp
00060007
0000100010
0000120012
00120013
00140015
00160019