Oleh: DJOHAN HANAFIAH
Sultan Agung dari Mataram adalah tokoh sejarah yang terbesar dalam abadnya. Dia berkuasa pada tahun 1613-1646. Sultan Agung adalah raja Jawa yang berani mengepung Batavia sampai dua kali, yaitu tahun 1628 dan 1629. Meskipun pengepungan itu sendiri gagal, paling tidak sejarah telah mencatat keperkasaan tentara Mataram yang terlalu banyak menjadi korban.
Untuk mempertanggung jawabkan kegagalan pengepungan ini, maka babad yang dibuat oleh penulis istana, yaitu Serat Kendha dan Babad Balai Pustaka menuliskan suatu maaf yang dikemas dengan cerita: Panembahan Purbaya(kakak kandung Sultan Agung) setelah ikut bertempur di Batavia, kembali ke Mataram, melaporkan kepada raja dan menasihatkan agar perang diakhiri saja, “karena orang-orang Belanda hanya datang kemari untuk berdagang.”
Raja memutuskan untuk mengakhiri pengepungan dan disamping itu meramalkan bahwa Belanda kelak akan menolong salah seorang keturunannya yang menderita kekalahan. Selanjutnya menurut babad: Belanda akan menjadi sahabat dan sekutu dan menjaga istana.
Gaya tulisan babad-babad paling tidak itulah isinya. Sangat menarik adalah cerita dari Babad Pagedhogan(Dr.Purwadi Hidup, Mistik dan Kematian Sultan Agung, Tugu Publ.Yogya 2005). Menurut Dr.Purwadi dalam bukunya bagaimana bijak dan penuh falsafah kehidupan Sultan Agung. Salah satu sikap hidupnya adalah bagimana “menang tanpa ngasorake”, “nungkul tanpa pinukul” dan seterusnya. Akan tetapi sayangnya contoh-contoh yang diberikan akan tindakan itu, justeru mengecilkan kalau tidak melecehkan orang lain, dan membenarkan diri sendiri. Di sini kembali lagi Palembang menjadi sasaran seperti didalam Hikayat Patani.
Diceritakan oleh babad itu, pada masa Sultan Agung bertahta, tindakannya sangat arif dan bijaksana, meskipun dia raja besar. Pada masa itu Sultan Palembang juga adalah raja besar, dan tentunya raja Palembang ingin melihat kemampuan Mataram. Sultan Palembang bertekad dan berniat untuk menyerang dan menghancurkan Mataram. Dia mempersiapkan segala senjata, pasukan dan barisan yang dilatih tata cara serta taktik dalam berbandayuda. Senjata yang dibuat adalah sakti.
Mataram kemudian mendengar berita ini, untuk itu Kanjeng Panembahan Purbaya, kakak Sultan Agung dengan menyamar pergi ke Palembang. Dia menyaksikan bahwa memang benar Palembang telah siap untuk menyerang Mataram. Panembahan Purbaya dalam samarannya memperingatkan Palembang, bahwa orang Mataram adalah sakti. Panembahan Purbaya setelah mengaku orang biasa dari Mataram, dia memdemonstrasikan kesaktiannya luar biasa, seperti dia melumat dan menginjak meriam-meriam menjadi seperti pisang yang terinjak-injak. Kemudian karena kemarahan orang Palembang, meriam itu dikembalikannya lagi seperti bentuk sediakala. Meskipun kagum akan tetapi juga membuat orang ketakutan. Namun tekad Palembang untuk menyerang Mataram tidak dapat dibatalkan.
Dengan adanya perbuatan Purbaya tersebut, orang Palembang membawa semacam taruhan, yaitu sebuah pusaka Batu Intan. Batu itu hanya sebesar tumpeng, akan tetapi harus digotong oleh 32 orang. Batu ini sangat keras. Orang Palembang menawarkan kepada Sultan Agung, apabila dia berhasil memecah dua pusaka tersebut maka Palembang akan tunduk mengabdi ke Mataram. Sebaliknya jika Sultan Agung tidak sanggup memecah batu tersebut, maka Palembang akan menghancurkan Mataram. Pasukan Palembang berangkat ke Mataram, selain membawa batu Pusaka Intan, juga segala perlengkapan dan hadiah bagi Sultan Agung apabila nanti menang dalam sayembara tersebut. Sebelum sampai diibukota Mataram, Purbaya yang membuka samarannya kembali, tidak dikenali oleh orang Palembang. Dia memperkenalkan dirinya sebagai Panglima Mataram, dan menanyakan segala sesuatunya dengan pasukan Palembang. Pasukan tersebut menyampaikan maksud tujuan dari raja Palembang, untuk bertaruh dengan batu pusaka kepada Sultan Agung. Purbaya menanyakan apakah dia boleh mencoba untuk membelah batu pusaka tersebut. Dengan senang hati pasukan Palembang mengizinkannya untuk membelah batu pusaka tersebut, dan ternyata batu itu dengan mudahnya dibelah dua sama besar oleh Purbaya.
Pasukan Palembang sangat terkejut dan juga ketakutan. Akhirnya pasukan ini sebagian kembali ke Palembang, membawa belahan batu pusaka tersebut dan melaporkan kepada Sultan Palembang. Atas peristiwa ini Sultan Palembang berangkat ke Mataram membawa sejumlah hadiah dan persembahan kepada Sultan Agung, untuk bukti penundukkan Palembang dibawah Mataram, apabila Palembang kalah dalam taruhan. Persembahan itu berupa gajah emas, rusa emas, katai emas dan barang-barang lain yang juga terbuat dari emas.
Cerita babad ini tentunya tidaklah benar sama sekali dalam fakta sejarah. Palembang belum pernah sama sekali hendak menyerang Mataram, karena dalam kenyataan sejarah Palembang secara sukarela menjadikan dirinya sebagai vazal Mataram, karena hubungan kutural, secara ekonomis dalam hubungan dagang, secara politis sebagai negara yang diharapkan menjadi pelindung menghadapi Banten dan VOC. Demikian pula belum pernah tercatat upeti yang diberikan dalam bentuk emas, biasanya hadiahnya berupa hewan langkah dan pakaian mewah.
Jadi dapat diperkirakan, bagaimana hebatnya Mataram, nyatanya Palembang masih dianggap lebih hebat lagi oleh Mataram. Dalam kenyataan sejarah, Mataram mengklaim Palembang adalah “kawula”nya, akan tetapi pada saat menghancurkan VOC menghancurkan Palembang, tidak ada bantuan apapun yang dilakukan oleh Mataram. Malahan sebaliknya Palembanglah yang berkali-kali membantu Mataram sewaktu mereka berperang dengan musuh-musuhnya.
Kesimpulan: bahwa Palembang masih menjadi ilham dan panutan, berkat sejarah besarnya pada masa-masa Sriwijaya, sehingga dua kebudayaan yaitu Melayu dan Jawa perlu menempatkan Palembang sebagai peran utama dalam ilham budaya dan politik di wilayah Nusantara bahagian Barat. Babad Tanah Jawa melahirkan Raden Fatah di Palembang, sebagai tokoh sentral dalam menurunkan kekuasaan raja-raja di Jawa yang mempunyai aliran darah Mojopahit. Sejarah Melayu adalah juga babad, yang melahirkan Sri Tribuana, Demang Lebar Daun dan Hang Tuah di Bukit Seguntang, dimana anak cucunya menajdi raja-raja di Singapura, Melaka dan daerah Semenanjung lainnya.
Palembang adalah melting pot budaya Melayu dan Jawa.
Sultan Agung dari Mataram adalah tokoh sejarah yang terbesar dalam abadnya. Dia berkuasa pada tahun 1613-1646. Sultan Agung adalah raja Jawa yang berani mengepung Batavia sampai dua kali, yaitu tahun 1628 dan 1629. Meskipun pengepungan itu sendiri gagal, paling tidak sejarah telah mencatat keperkasaan tentara Mataram yang terlalu banyak menjadi korban.
Untuk mempertanggung jawabkan kegagalan pengepungan ini, maka babad yang dibuat oleh penulis istana, yaitu Serat Kendha dan Babad Balai Pustaka menuliskan suatu maaf yang dikemas dengan cerita: Panembahan Purbaya(kakak kandung Sultan Agung) setelah ikut bertempur di Batavia, kembali ke Mataram, melaporkan kepada raja dan menasihatkan agar perang diakhiri saja, “karena orang-orang Belanda hanya datang kemari untuk berdagang.”
Raja memutuskan untuk mengakhiri pengepungan dan disamping itu meramalkan bahwa Belanda kelak akan menolong salah seorang keturunannya yang menderita kekalahan. Selanjutnya menurut babad: Belanda akan menjadi sahabat dan sekutu dan menjaga istana.
Gaya tulisan babad-babad paling tidak itulah isinya. Sangat menarik adalah cerita dari Babad Pagedhogan(Dr.Purwadi Hidup, Mistik dan Kematian Sultan Agung, Tugu Publ.Yogya 2005). Menurut Dr.Purwadi dalam bukunya bagaimana bijak dan penuh falsafah kehidupan Sultan Agung. Salah satu sikap hidupnya adalah bagimana “menang tanpa ngasorake”, “nungkul tanpa pinukul” dan seterusnya. Akan tetapi sayangnya contoh-contoh yang diberikan akan tindakan itu, justeru mengecilkan kalau tidak melecehkan orang lain, dan membenarkan diri sendiri. Di sini kembali lagi Palembang menjadi sasaran seperti didalam Hikayat Patani.
Diceritakan oleh babad itu, pada masa Sultan Agung bertahta, tindakannya sangat arif dan bijaksana, meskipun dia raja besar. Pada masa itu Sultan Palembang juga adalah raja besar, dan tentunya raja Palembang ingin melihat kemampuan Mataram. Sultan Palembang bertekad dan berniat untuk menyerang dan menghancurkan Mataram. Dia mempersiapkan segala senjata, pasukan dan barisan yang dilatih tata cara serta taktik dalam berbandayuda. Senjata yang dibuat adalah sakti.
Mataram kemudian mendengar berita ini, untuk itu Kanjeng Panembahan Purbaya, kakak Sultan Agung dengan menyamar pergi ke Palembang. Dia menyaksikan bahwa memang benar Palembang telah siap untuk menyerang Mataram. Panembahan Purbaya dalam samarannya memperingatkan Palembang, bahwa orang Mataram adalah sakti. Panembahan Purbaya setelah mengaku orang biasa dari Mataram, dia memdemonstrasikan kesaktiannya luar biasa, seperti dia melumat dan menginjak meriam-meriam menjadi seperti pisang yang terinjak-injak. Kemudian karena kemarahan orang Palembang, meriam itu dikembalikannya lagi seperti bentuk sediakala. Meskipun kagum akan tetapi juga membuat orang ketakutan. Namun tekad Palembang untuk menyerang Mataram tidak dapat dibatalkan.
Dengan adanya perbuatan Purbaya tersebut, orang Palembang membawa semacam taruhan, yaitu sebuah pusaka Batu Intan. Batu itu hanya sebesar tumpeng, akan tetapi harus digotong oleh 32 orang. Batu ini sangat keras. Orang Palembang menawarkan kepada Sultan Agung, apabila dia berhasil memecah dua pusaka tersebut maka Palembang akan tunduk mengabdi ke Mataram. Sebaliknya jika Sultan Agung tidak sanggup memecah batu tersebut, maka Palembang akan menghancurkan Mataram. Pasukan Palembang berangkat ke Mataram, selain membawa batu Pusaka Intan, juga segala perlengkapan dan hadiah bagi Sultan Agung apabila nanti menang dalam sayembara tersebut. Sebelum sampai diibukota Mataram, Purbaya yang membuka samarannya kembali, tidak dikenali oleh orang Palembang. Dia memperkenalkan dirinya sebagai Panglima Mataram, dan menanyakan segala sesuatunya dengan pasukan Palembang. Pasukan tersebut menyampaikan maksud tujuan dari raja Palembang, untuk bertaruh dengan batu pusaka kepada Sultan Agung. Purbaya menanyakan apakah dia boleh mencoba untuk membelah batu pusaka tersebut. Dengan senang hati pasukan Palembang mengizinkannya untuk membelah batu pusaka tersebut, dan ternyata batu itu dengan mudahnya dibelah dua sama besar oleh Purbaya.
Pasukan Palembang sangat terkejut dan juga ketakutan. Akhirnya pasukan ini sebagian kembali ke Palembang, membawa belahan batu pusaka tersebut dan melaporkan kepada Sultan Palembang. Atas peristiwa ini Sultan Palembang berangkat ke Mataram membawa sejumlah hadiah dan persembahan kepada Sultan Agung, untuk bukti penundukkan Palembang dibawah Mataram, apabila Palembang kalah dalam taruhan. Persembahan itu berupa gajah emas, rusa emas, katai emas dan barang-barang lain yang juga terbuat dari emas.
Cerita babad ini tentunya tidaklah benar sama sekali dalam fakta sejarah. Palembang belum pernah sama sekali hendak menyerang Mataram, karena dalam kenyataan sejarah Palembang secara sukarela menjadikan dirinya sebagai vazal Mataram, karena hubungan kutural, secara ekonomis dalam hubungan dagang, secara politis sebagai negara yang diharapkan menjadi pelindung menghadapi Banten dan VOC. Demikian pula belum pernah tercatat upeti yang diberikan dalam bentuk emas, biasanya hadiahnya berupa hewan langkah dan pakaian mewah.
Jadi dapat diperkirakan, bagaimana hebatnya Mataram, nyatanya Palembang masih dianggap lebih hebat lagi oleh Mataram. Dalam kenyataan sejarah, Mataram mengklaim Palembang adalah “kawula”nya, akan tetapi pada saat menghancurkan VOC menghancurkan Palembang, tidak ada bantuan apapun yang dilakukan oleh Mataram. Malahan sebaliknya Palembanglah yang berkali-kali membantu Mataram sewaktu mereka berperang dengan musuh-musuhnya.
Kesimpulan: bahwa Palembang masih menjadi ilham dan panutan, berkat sejarah besarnya pada masa-masa Sriwijaya, sehingga dua kebudayaan yaitu Melayu dan Jawa perlu menempatkan Palembang sebagai peran utama dalam ilham budaya dan politik di wilayah Nusantara bahagian Barat. Babad Tanah Jawa melahirkan Raden Fatah di Palembang, sebagai tokoh sentral dalam menurunkan kekuasaan raja-raja di Jawa yang mempunyai aliran darah Mojopahit. Sejarah Melayu adalah juga babad, yang melahirkan Sri Tribuana, Demang Lebar Daun dan Hang Tuah di Bukit Seguntang, dimana anak cucunya menajdi raja-raja di Singapura, Melaka dan daerah Semenanjung lainnya.
Palembang adalah melting pot budaya Melayu dan Jawa.
SUMBER: BERITA MUSI -- 25.10.2009 15:40:25 WIB