Friday, 12 October 2012

Ungkap Sejarah Dibalik Rumah Tua

Share on :



Di Padang Selasa, Ditempati Empat Keluarga, Dijuluki Rumah Kapiten Tionghoa
Sebutan Kapiten merupakan gelar militer diberikan penguasa Belanda bagi pemimpin etnis China. Salah satu Kapitan terkenal di wilayah Palembang berada di Kelurahan 7 Ulu, Kecamatan Seberang Ulu (SU) 1, kini lebih dikenal dengan sebutan Kampung Kapitan. Namun, masyarakat jalan Padang Selasa, Kelurahan Bukit Lama, Ilir Barat (IB) 1 mengetahui di kawasan mereka terdapat seorang kapiten. Sebuah rumah panggung tua dengan dua pohon Munggur tinggi besar diketahui masarakat merupakan rumah sang Kapiten. Benarkah? Lantas apa hubungan sang Kapiten dengan Kampung Kapitan? Berikut liputan Sumeks Minggu.

Dilihat sepintas, rumah panggung tua depan sasana bulutangkis di jalan Padang Selasa sangat berbeda dengan rumah lain. Dengan halaman luas, dua pohon munggur tinggi besar menghiasi. Cerita masyarakat sekitar dari mulut ke mulut, rumah panggung ini menjadi kediaman mantan Kapiten Tionghoa.

Membuktikan masalah ini pun cukup sulit. Ketika Sumeks Minggu mencoba mengkonfirmasi kepada penunggu rumah yang kini tinggal dibawah, mereka malah menggelengkan kepala. Yang diketahui penunggu rumah tersebut, jika panjang rumah tersebut dulunya mencapai 20 meter lebih. Sekarang, rumah tua tersebut telah dipotong. Dibagian belakang, dibangun dua rumah beton baru.

“Cerita orang-orang tua kami, rumah ini sampai ditinggali empat keluarga sekaligus,” ujar penunggu rumah tua tersebut, dibincangi Rabu (23/5).

Namun, dari keterangan beberapa sanak keluarga, juga dari garis keturunan si empunya rumah, mereka sempat membenarkan jika kakek (pemilik rumah,red) dulunya seorang Kapiten.

“Tapi bukannya kakek kami langsung. Tapi adiknya kakek kami,” ungkap salah seorang keturunan Chinese, di kawasan tersebut. Cerita seputar sang Kapiten baru menemui titik terang ketika koran ini menemui Ir Karnadi Gozali, Dosen Pertanian Unsri, yang juga tinggal di kawasan Padang Selasa.

Dari penuturan pria berkacamata ini, kakeknya bernama Kwee Gan Beng memiliki dua saudara. Salah seorang saudara kakeknya bernama Kwee Gan Kheng inilah diketahui sebagai Kapiten pada masa Belanda. Dilihat dari masa hidup kakeknya, Kwee Gan Beng (1891-1967), Kwee Gan Kheng menjadi Kapiten diperkirakan awal abad ke-20 hingga masa kemerdekaan.

Sayangnya, tak banyak informasi tambahan diketahui Karnadi seputar sosok Kwee Gan Kheng. Pasalnya, usai kemerdekaan, Gan Kheng meninggalkan Palembang dan menetap bersama keluarga di Jakarta.

“Keturunan yang ada di Palembang, khususnya yang tinggal di Padang Selasa sekarang, merupakan keturunan Gan Beng, kakek kami. Keturunan Gan Kheng sudah di Jakarta semua,” ungkap Karnadi.

Ditegaskan Karnadi, jika rumah panggung tua, depan sasana bulutangkis, banyak disebut masyarakat sebagai Kapiten Tionghoa, Kwee Gan Kheng tidak benar. Rumah tersebut milik kakeknya Kwee Gan Beng.

Mengapa bisa disebut masyarakat sekitar sebagai rumah Kapiten Tionghoa, Karnadi mengatakan kemungkinan kakeknya Kwee Gan Beng tinggal serumah dengan adiknya Kwee Gan Kheng.

“Karena rumah tersebut termasuk sangat besar. Rumahnya memanjang ke belakang. Sekarang memang sudah dipotong, di bagian belakang dibangun rumah baru oleh keturunan Gan Beng,” jelas Karnadi.

Alasan lain, Kwee Gan Beng serta Kwee Gan Kheng memiliki tanah luas di kawasan Padang Selasa. Luasnya sekitar lima hektar. Dari luas tanah tersebut, terdapat tanah milik Kwee Gan Beng serta Kwee Gan Kheng.

“Tapi tanah itu lebih banyak dimiliki oleh Gan Beng. Sedikit milik Gan Kheng. Sekarang banyak tanah mereka sudah terjual,” ungkap Karnadi.

Kwee Gan Kheng sendiri dikatakan Karnadi memiliki rumah sendiri, dekat rumah kakeknya Gan Beng. Namun, rumah Gan Kheng tak terlihat lagi bentuk aslinya sudah direhap habis. “Gan Kheng sempat pindah ke Puncak Sekuning, baru hijrah ke Jakarta,” jelas Karnadi.

Lantas apa hubungan Kwee Gan Kheng sebagai seorang Kapiten dengan Kampung Kapitan di Kelurahan 7 Ulu? Karnadi tidak mengetahui pasti. Dia hanya memperkirakan, jika Belanda pada masa pemerintahannya, menunjuk para pemimpin etnis Tionghoa pada kawasan tertentu.

Sehingga, diperkirakannya, Kapiten di Kelurahan 7 Ulu Kampung Kapiten berbeda orang dengan Kwee Gan Kheng adik kakeknya. “Karena di Seberang Ulu ada pemukiman China. Di Seberang Ilir, juga ada pemukiman China. Jadi, Belanda butuh pemimpin yang diberi gelar Kapiten untuk memimpin masyarakat China di Seberang Ulu dan Seberang Ilir,” jelasnya.

Gelar Mayor Hingga Letnan
Sementara itu, Kemas Aripanji SPd, MSi Sekretaris Masyarakat Sejarawan Indonesia cabang Sumsel menyatakan, pimpinan etnis Tionghoa pada masa Belanda sangat dibutuhkan. Pada masa kolonial, para pimpinan tersebut sengaja dibentuk.

Jika di Palembang pemberian gelar militer hanya terdengar pada pangkat Kapten (Kapiten de Chinezen), di nusantara ada beberapa pemimpin Tionghoa diberikan gelar Mayor (Majoor de Chinezen) serta Letnan (Luitnant de Chinezen). Para pemimpin ini pun diberikan pakaian seragam, diapakai pada upacara-ucapa tertentu, menunjang fungsinya sebagai pimpinan.

Para pimpinan China (Hoofd de Chinezen) lanjut Aripanji tidak dipilih Belanda. Mereka dipilih secara demokrasi, dari rakyatnya sendiri. Beberapa kriteria para pimpinan China kala itu, kepercayaan masyarakat, kekayaan dimiliki calon pimpinan serta pengaruh besar pimpinan tersebut pada masyarakatnya.

Setelah dipilih, tugas pimpinan etnis ini cukup banyak. Pertama, sebagai perantara atau penghubung. Antara masyarakat Tionghoa yang ingin mengurus sesuatu kepada pemerintah Belanda. Misalnya, pengurusan surat kelahiran, surat kematian, surat nikah, surat cerai, surat jalan, wasiat dan warisan, cacat jiwa, sensus dan lainnya.

Para pimpinan ini juga memiliki tugas menjaga ketertiban, keamaan dalam lingkungan yang mereka pimpin. Termasuk mengadili semua perkara yang terjadi pada masyarakatnya. Selain itu, dalam struktur pemerintahan Belanda, para pemimpin ini menjadi penasehat pemerintah. Terutama mengenai masalah penarikan pajak serta sebagai sarana informasi tentang ketentuan hukum dikeluarkan pemerintah Belanda.

“Jadi, para pemimpin etnis China ini memang dibutuhkan Belanda. Ada masalah, Belanda tidak perlu langsung turun ke masyarakat China. Ibaratnya cukup dengan memangil pemimpinnya saja,” urai Aripanji.

Hanya saja, sejauh ini Aripanji hanya mengetahui para pemimpin etnis China di Palembang berdomisili di Kelurahan 7 Ulu, yakni Kampung Kapitan. Aripanji belum mendengar adanya pemipin etnis berada dari Seberang Ilir, tepatnya di kawasan jalan Padang Selasa. Karena pada abad ke-19, perkampungan China berdasarkan peta Belanda berada di kawasan Seberang Ulu.

“Bisa saja pada perkembangannya, dimana masyarakat China mulai menyebar, mereka mengangkat pimpinan baru. Karena di daerah Ilir Barat 1, ada pemukiman China yang bercocok tanam,” jelasnya.

Sehingga, sosok Kwee Gan Kheng dikatakan masyarakat Padang Selasa merupakan pimpinan etnis Tionghoa di Seberang Ilir, Aripanji memperkirakan bisa saja terjadi. “Cuma masalah itu perlu pembuktian. Paling tidak diceritakan dari keturunan langsung orang disebut Kapiten itu,” tandasnya.

Sekedar Staf Kapiten
Sementara Fauzi Thamrin, tokoh masyarakat Tionghoa dikonfirmasi koran ini menyatakan, jika para pemimpin etnis China di Palembang hanya berasal dari Kampung Kapitan, Kelurahan 7 Ulu. Nah, sosok i pemimpin etnis China di Padang Selasa diketahuinya masyarakat sekitar dikatakan Fauzi hanya sekedar staf Kapiten di Kampung Kapitan.

Meski sekedar staf, Fauzi melihat hal itu sudah membawa pengaruh besar, membuat seseorang terkenal. “Berpengaruh juga jabatan itu pada zaman Belanda,” ungkap mantan ketua Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) Sumsel ini kepada Sumeks Minggu via Short Message Service (SMS), Jum’at (25/5). (wwn)

Written by: Samuji Rabu, 30 Mei 2012 | Sumeks Minggu

0 comments:

Post a Comment

Terima Kasih Kunjungannya Saudara-saudaraku