Thursday, 20 September 2012

Menyingkap Kebudayaan Palembang

Share on :



Yang Terkikis Zaman, Tekan Pemerintah, Butuh Perda
“Palembang Kota Internasional, Sejahtera dan Berbudaya 2013”. Kalimat tersebut tentu tidak asing lagi terdengar. Ini merupakan visi dan misi Walikota dan Wakil Walikota terpilih Palembang sejak memenangkan Pilkada tahun 2008 lalu. Banyak sudah kebudayaan mendapat perhatian, terpelihara hingga terexpose dan menjadi bagian penting penunjang pariwisata daerah. Di sisi lain, masih banyak juga yang belum mendapat perhatian dari Pemerintah hingga terkesan terabaikan bahkan diambang kepunahan akibat arus globalisasi yang mengalirkan budaya-budaya asing. Apa solusinya?

Kalangan seniman tergabung dalam Dewan Kesenian Palembang (DKP) bersama sejarawan, budayawan serta praktisi hukum belum lama ini membahas seputar kebudayaan di Palembang yang terus terkikis zaman. Banyak sebab diutarakan. Seputar masalah globalisasi, kurangnya perhatian pemerintah serta masyarakat Palembang sendiri membuat masalah kebudayaan Palembang, dikenal sejak zaman kerajaan Sriwijaya, bernuansa religius ketika dibawah kerajaan Palembang Darussalam terus menghilang.

Dari dokumentasi Sumeks Minggu, hadir sejak tahun 2010 lalu dengan rubriknya Hitam Putih, beberapa kebudayaan Palembang jelas kurang mendapat perhatian pemerintah. Dimulai dari Wayang Palembang. Kebudayaan diadopsi dari pulau Jawa ini dulunya booming. Kini, dalangnya tinggal satu, Kgs Wirawan Rusdi, warga Jl Sido Ing Lautan, Rt 10, Rt 10, No 243, Lrg Cik Latah, Kelurahan 36 Ilir, Tangga Buntung. Berbekal beban moral melestarikan budaya lokal, akulturasi Jawa-Palembang yang sempat diembang ayah serta kakeknya, Wirawan berhasil bertahan. Itupun berkat binaan Persatuan Perdalangan Indonesia (Pepadi) Sumsel.

Budaya lain, akulturasi Jawa dan Melayu, menjadi bagian masyarakat sejak zaman kerajaan Palembang Darussalam ialah bebaso. Atau sering disebut bahasa Keraton, bahasa Bari, atau bahasa kulo iki. Hingga pertengahan abad ke-20, bahasa lembut, penuh sopan santun, menunjukan jati diri daerah Palembang masih sering terdengar. Kini, hanya dikuasai segelintir orang tua asli Plembang. Tanpa regenerasi, bahasa inipun diambang punah. Sedangkan rencana Pemkot Palembang menjadikannya sebagai mutan lokal di Sekolah Dasar (SD) agar dikuasai generasi muda tak kunjung terealisasi.

Untuk kesenian seperti Dulmuluk, para seniman merasa terpinggirkan. Keterangan Jonhar Saad, sejak mendalami Dulmuluk tahun 1962, mendirikan sanggar Harapan Jaya tahun 1982, mereka dan seniman lain harus berjuang sendiri agar kesenian ini terus hidup. Tanpa bantuan pemerintah, mereka bertahan dengan undangan masyarakat meski uang didapat sangat minim.

Lembaran sejarah perjuangan Palembang pada pada bungker Jepang di Jl AKPB H Umar, Rt 21, Kelurahan Rimba Kemuning, Kecamatan Kemuning, Km-5, Palembang pun terancam hilang.Meski meninggalkan kenangan pahit, bungker dibangun tahun 1940 an ini sejatinya bisa dijadikan objek wisata. Seperti dilakukan pemerintah Sumatera Barat (Sumbar). Dari keterangan masyarakat setempat, ternyata banyak warga Jepang, keturunan tentara yang pernah bertugas di Palembang, datang beramai-ramai berkunjung.

Belum lagi masyarakat umum yang penasaran dengan isu bungker yang konon kabarnya tembus ke bungker di RSK Charitas. Sang pemilik tanah dibungker tersebut dibuat bingung oleh sikap pemerintah. Pemilik dilarang membangun di kawasan dengan alasan bungker tersebut memiliki nilai sejarah, namun pemerintah samasekali tidak memiliki gerakan nyata. Sedangkan kondisi bungker sudah banyak mengalami kerusakan dan tanahnya terus dikeduk warga.

Nah, cerita suram terjadi pada makam Komplek Pangeran Krama Djaya di Jl Segaran, Lrg Gubah Pangeran, belakang SDN 46, Kecamatan Ilir Timur (IT) I. Makam ini sejak lama dirusak diduga untuk kepentingan bisnis semata. Pengrusakan makam ini diyakini sebagai bentuk penghilangan sejarah. Meski banyak pihak menekan pemerintah membenahi masalah ini, toh sosok Pangeran Krama Djaya dianggap sebagai orang berjasa bagi perjuangan wong Plembang melawan penjajah hingga sempat hendak diusulkan almarhum budayawan/sejarawan Djohan Hanafiah sebagai Pahlawan Nasional tetap terabaikan.

Bahkan, keterangan salah satu zuriatnya, RH Abdullah Roni Azhari kemarin (21/1), kondisi makam, sekarang jauh lebih parah. Makam sudah rata dengan tanah, sekeliling komplek tertutup rapat oleh seng. “Entah jasad makam di komplek itu sekarang dimana?,” ungkap Roni bertanya-tanya. Pangeran Krama Djaya sendiri merupakan menantu SMB II, tercatat sebagai penguasa Palembang tahun 1823 hingga 1825. Akibat bertentangan dengan Belanda, sang pangeran dibuang ke Purbolinggo (Banyumas).

Budaya bersifat religi, ziarah kubra, dilakukan para pecinta ulama serta au’liya, terbukti menyedot belasan ribu umat muslim jelang puasa ramadhan pun belum mendapat perhatian. Panitia ziarah kubra sejak lama menginginkan wisata religi ini masuk dalam agenda tetap pemerintah agar dapat lebih luas terexposes ke berbagai daerah hingga luar negeri. Berulang kali melakukan pertemuan, usaha mereka belum membuahkan hasil.

Butuh Anggaran Serta SDM
Selain masalah diatas, kalangan seniman, seperti Vebri Al Lintani mengungkapkan banyak contoh kebudayaan kecil yang biasa digunakan masyarakat luas menghilang. Seperti “Nenggung” yang merupakan nyanyian berisi dizikir Kyia Merogan digunakan ibu-ibu zaman dulu untuk menidurkan anak tak lagi terdengar. ‘Kebudayaan Palembang sebenarnya identik dengan religi terutama Islam. Tapi ini mulai terkikis,” ungkapnya kepada Sumeks Minggu belum lama ini.

Mempertahankannya tugas banyak pihak. Namun pemerintah, dalam pandangannya harus berada di garis terdepan. Kenyataan di lapangan, Pemkot Palembang melalui kepala daerahnya memiliki visi misi jelas. Membangun kota Palembang sebagai kota Internasional, Berbudaya dan Religius. Hanya saja, sejauh ini dinilainya, porsi untuk kebudayaan bukan prioritas utama. Bisa dilihat minimnya anggaran bagi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Budpar). “Dana di Budpar pun kadang dikelola oleh orang-orang yang tidak berkompeten. Terkadang mereka mengadakan acara kebudayaan, itupun tidak melibatkan kalangan seniman, budayawan hingga hasilnya terkesan apa adanya,” ujar Vebri.

Oleh sebab itu, kini kalangan seniman tergabung dalam DKP bersinergi dengan kalangan budayawan serta sejarawan menggagas Peraturan Daerah (Perda). Mengatur masalah penangangan secara khusus kebudayaan Palembang. Dengan ruang lingkup, bahasa (bahasa Melayu Palembang) dan aksara Palembang (Aksara Arab Melayu, atau aksara Ka-Ga-Nga sebagai alternative). Kesenian yang meliputi seni tari, seni musik, seni sastra, seni teater, seni rupa dan seni film & audio visual yang berakar seni Palembang Darussalam. Kemudian, kepurbakalaan, kesejarahan, nilai-nilai tradisional dan museum. Terakhir, pakaian daerah, upacara perkawinan, ornamen bangunan/ragam hias.

Dengan adanya perda ini, kebudayaan Palembang dapat dijaga dan dioptimalkan. Selain membutuhkan SDM handal dengan melibatkan langsung para seniman, budayawan, sejarawan tidak melulu pegawai dari Dinas Budpar, masalah budaya ini tentu saja membutuhkan dana. “Dalam Perda itu nanti akan dibuat anggaran minimal yang harus dikucurkan Pemerintah mendukung masalah kebudayaan ini. Sekarang kita susun draft. Nanti bisa dari DPRD atau Pemkot yang menjebolkannya,” jelas Vebri.

Sekretaris Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Sumsel, Kemas Ari Panji SPD, MSi saat dimintai tanggapannya langsung mendukung gagasan yang menurutnya sudah cukup lama terdengar. Karena dinilainya memang cukup banyak kebudayaan Palembang yang tidak terpelihara bahkan diambang kepunahan. Perda tersebut dinilainya sebagai payung hukum. Yang nantinya harus ditaa’ti oleh pemerintah. Tanpa payung hukum inilah, selama ini pemerintah dapat terus mengelak mengurusi masalah kebudayaan terdiri dari cipta karya manusia, religi, kesenian, bahasa, sistem mata pencaharian, sosial kekerabatan, sejarah dan ilmu pengetahun dengan alasan minimnya dana.

“Di Lampung Perda ini sudah ada. Berarti, payung hukum membuat Perda pasti sudah ada. Memelihara kebudayaan tentu butuh dana, masalah dana ini kan tidak melulu mesti dari APBD. Bisa dicari dengan meminta bantuan perusahaan, BUMN ataupun dana pusat,” tandasnya.

Sedangkan Advokat Chairil Syah SH, yang juga Ketua Umum Serikat Hijau Indonesia (SHI) menilai kebudayaan merupakan hal universal. Wajib dilindungi dan harus mendapat dukungan kalangan eksekutif serta legislatif. Itupun sesuai dengan visi misi kepala daerah Palembang. Jika melihat jabaran kebudayaan yang begitu luas, adanya gagasan Perda ini paling tidak bisa menekan pemerintah untuk berbuat lebih banyak. “Mana yang bisa dilakukan lakukan dulu. Sekarang kan yang dibutuhkan bukti,” tandasnya. (wwn)

Antara Keinginan dan Keterbatasan
Terkait gagasan Perda Kebudayaan ini, Wakil Walikota Palembang, H Romi Herton SH MH tidak berkomentar banyak. Ditemui koran ini usai menghadiri Ulang Tahun Walikota Ir H Eddy Santana Putra dua hari lalu, Romi hanya mengatakan akan mempelajari gagasan terlebih dulu. “Nanti kita pelajari dulu ya,” ujarnya sembari berlalu masuk ke mobil.

Sementara Kadin Budpar Palembang, Mirza Fansyuri mengaku mendukung gagasan tersebut. Dengan catatan ada payung hukum untuk membuat Perda tersebut. Dikatakan Mirza, Pemkot Palembang memiliki keinginan memajukan kebudayaan Palembang. Namun diakuinya, dibalik keinginan tersebut ada keterbatasan.

Pihaknya sejauh ini telah memiliki rencana kerja serta anggaran. “Masalah makam buyut Silaberanti, Ariodillah itu akan kita teliti. Kalau budaya yang hilang itu budaya mana?. Budaya berkendara, budaya malu, agama, berpakaian, itu tidak semua dihitung dengan duit,” tandasnya.

Sementara Ketua Komisi IV DPRD Palembang, Agus Tridasa mendukung gagasan tersebut. “Kalau ada payung hukumnya tidak masalah. Cuma tidak semua kebudayaan tidak diperhatikan. Banyak yang sudah dapat perhatian. Kalau memang ada yang belum itu karena masalah di pemerintahan tidak hanya budaya. Pendidikan, kesehatan juga perlu,” ujarnya cepat.

Jika memang memungkinkan, Agus menilai eksekutif lebih tepat untuk membuat Perda ini. “Kalau eksekutif lebih simple. Sedangkan legislatif urusannya lebih panjang,” tukasnya. (wwn)

lebih ribet. jika memang ada payun ituJika dikatakan banyak kebudayaan terkikis dan diambang kepunahan Mirza balik bertanya budaya dimaksud kalanganpihaknya kan

Romi Herton, kita akan pelajari dulu. Manfaatnya, baik buruknya,

Agus Tridasa, ini keterkaitan menyikapi isu, karena mereka fokus ke sana, tp pemerintah banyak, anak jalanan, pendidikan, dll.setuju dak budaya dinomor sekian, tidak seperti itu, banyak kebudayaan hilang, mungkin budaya cukup banyak idak terperhati semua

- Dkp, mengungkapkan isu buat Perda Kebudayaan, ibarat, minimal anggaran, untuk memelihara selagi tidak bertentangan dengan aturan, PP, UU Kepres, atau Dinas Pariwisata Pusat atau peraturan menteri, kalau ada pijakan, silahkan,

- Kalau DPRD inisiatif lebih panjang, fraksi setuju, baru paripurn, eksekutif lebih simpel, dia buat diajukan di pansur, sepuluh persen dari anggota dewan untuk pengajuan awal dan itu bebas dari semua fraksi,

- Visi misi, internasional dikerja, kalo saya lihat tidak dihilangkan, acara keislaman ada, budaya jg ada, Cuma bnyak faktor, jd mesti terbagi

Thn ini sdh mengkaji lebh dalam buat buku, kebudayaan palembang, akan dikaji mendalam, roundown wisata Palembang, lawang kidul,

Kadin budpar, ada tujuh macam bahasa, religi, ekonomi, seni,,,, bla bla, apa budaya yg hilang budaya berkendara, malu, budaya agama, tidak semua dihitung dengan duit, orang-orang juga ngidupin, sekarang budaya berpakaian, apakah celana, ketat, budaya luas,

Perda ada dua, pemkot atau dprd, mereka pengen kita garap, kita setuju, kalau disetujui dewan jd produk, kalau memang ada aturan, sejauh ini ada dak PP UU, UU kepariwisataan, budaya salah satu bagian pariwisata,

Anggaran budpar, tidak ada dana minus, tahun lalu hampir 7 m sama gaji, naik 30 persen, belum toron DPRD, rancangan ke depan, seperti apa? Dak hapal, kita ada rencana kerja, yg ada anggaran kita sudah siapkan, misalnya buyut silaberanti, kita coba teliti, ariodillah, potensi banyak perlu pendanaan tp pemkot ada keterbatasaan.

POKOK-POKOK RANCANGAN PERATURAN DAERAH
KOTA PALEMBANG TENTANG PEMELIHARAAN
KEBUDAYAAN PALEMBANG



Latar Belakang
1. Kebudayaan suatu bangsa merupakan indikator dan mencirikan tinggi atau rendahnya martabat dan peradaban suatu bangsa.

2. Situasi globalisasi yang juga mengalirkan nilai-nilai budaya asing, turut mengubah prilaku bangsa untuk menjauhi kebudayaan local. Saat ini keberadaan kebudayaan local sudah pada tahap mengkhawatirkan.

3. Sejalan dengan pembangunan kota Palembang yang menuju kota Internasional dengan prioritas pembangunan ekonomi pertumbuhan, di mana ruang publik lebih banyak di dominasi ikon ekonomi, sedangkan infra sturuktur kebudayaan nyaris tidak mendapat tempat. Hal ini pun dapat membuat semakin termarjinalnya budaya lokal. Padahal, dalam visi pemerintah kota Palembang, selain mencantumkan kata Internasional dan Sejahtera, juga menaruh kata “Berbudaya”. Sehakikinya, sejahtera dan berbudaya harus didukung dengan kondisi budaya yang baik pula.

4. Keluhuruan budaya Palembang merupakan warisan budaya dari dari situasi sejarah yang besar. Sudah sejak lama, Palembang yang sekarang menjadi ibukota Provinsi Sumatera Selatan telah menjadi pusat kekuasaan. Menurut catatan prasasti kedukan bukit sejak tahun 682 M. Begitu juga pada masa kerajaan Palembang yang dilanjutkan pada masa kekuasaan kesultanan Palembang Darussalam (1552-1824) Palembang pun menjadi pusat kekuasaan. Saat ini, Palembang sedang bergiat menuju kota yang besar dengan visi kota Internasional, sejahtera dan berbudaya.

5. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, kiranya perlu ada payung hukum untuk memberikan kepastian dalam membangun budaya di Kota Palembang yang tercinta ini.

Ruang lingkup
Ruang Lingkup Pemeliharaan Kebudayaan Palembang mencakup aspek-aspek sebagai berikut :

a. Bahasa (bahasa Melayu Palembang) dan aksara Palembang (Aksara Arab Melayu, atau aksara Ka-Ga-Nga sebagai alternative).

b. Kesenian meliputi seni tari, seni musik, seni sastra, seni teater, seni rupa dan seni film & audio visual yang berakar seni Palembang Darussalam.

c. Kepurbakalaan, kesejarahan, nilai-nilai tradisional dan museum.

d. Pakaian daerah, upacara perkawinan, ornamen bangunan/ragam hias.



TUJUAN DAN SASARAN
Tujuan :

a. Mendayagunakan secara optimal nilai-nilai budaya Palembang yaitu nilai-nilai dan norma yang berlaku dan berkembang dalam tatanan kehidupan serta adat istiadat masyarakat Palembang;

b. Melindungi, melestarikan dan mengembangkan nilai-nilai dan keberadaan kebudayaan daerah.

Sasaran:

a. Meningkatkan kepedulian, kesadaran dan peran serta masyarakat dalam melindungi, melestarikan dan mengembangkan kebudayaan daerah;

b. Terwujudnya pemahaman dan penghargaan masyarakat pada budaya Palembang ;

c. Meningkatkan ketahanan sosial dan budaya masyarakat.

PELAKSANAAN PEMELIHARAAN DAN PENGEMBANGAN KEBUDAYAAN

Cara Pemeliharaan Bahasa
Pelestarian bahasa (bahasa Melayu Palembang) dan atau aksara Palembang (aksara arab Melayu atau aksara Ka-Ga-Nga sebagai alternatif) dilakukan melalui cara-cara antara lain sebagai berikut:

a. Penggunaan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar dalam kegiatan pendidikan/belajar mengajar, forum pertemuan resmi pemerintahan daerah dan dalam kegiatan lembaga/badan usaha swasta serta organisasi kemasyarakatan di daerah;

b. Penggunaan bahasa dan aksara Palembang pada dan atau sebagai nama bangunan/gedung, nama jalan/penunjuk jalan, iklan, nama kompleks permukiman, perkantoran, perdagangan, termasuk papan nama instansi/lembaga/badan usaha/badan sosial dan sejenisnya, kecuali untuk merek dagang, nama perusahaan, lembaga asing dan tempat ibadah;

c. Sosialisasi Pemberdayaan dan pemanfaatan media massa daerah, baik cetak maupun elektronik, maupun media lain untuk membuat rubrik/siaran yang berisi tentang bahasa dan aksara Palembang;

d. Penyediaan bahan-bahan pengajaran untuk sekolah dan luar sekolah serta bahan-bahan bacaan untuk perpustakaan dan penyediaan fasilitas bagi kelompok-kelompok studi bahasa dan aksara Palembang;

e. Pengenalan dan pengajaran bahasa dan aksara Palembang mulai jenjang kanak-kanak, sekolah dasar dan sekolah menengah yang pelaksanaannya disesuaikan dengan ketentuan yang diberlakukan di daerah, kondisi dan keperluan;

f. Keharusan penggunaan bahasa Palembang sebagai :

1. Bahasa komunikasi sehari-hari baik di lingkungan keluarga atau pergaulan dalam masyarakat, maupun di kantor-kantor atau sekolah-sekolah pada hari-hari tertentu sesuai dialek bahasa daerah masing-masing;

2. Bahasa pembuka dalam penyampaian sambutan, baik oleh tokoh adat, tokoh masyarakat maupun pejabat pada acara-acara tertentu;
3. Pembinaan, pengkajian dan pengembangan.

Pemeliharaan dan Pengawasan Kesenian

1. Kesenian tradisional Palembang, wajib diajarkan di sekolah pada jenjang taman kanak-kanak, sekolah dasar, dan sekolah menengah yang pelaksanaannya disesuaikan dengan ketentuan dan peraturan yang diberlakukan di daerah.

2. Kesenian Palembang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajarkan dalam bentuk:

3. Mata pelajaran kesenian (untuk seni rupa, seni tari, seni musik) serta mata pelajaran bahasa Palembang (seni sastra), dan teater; atau;

<>4. Kegiatan lain sesuai dengan keperluan.

5. Pemeliharaan Kesenian Palembang dapat dilakukan melalui cara-cara antara lain:

a. Pesta Kesenian yang diselenggarakan secara periodik;

b. Pagelaran kesenian yang dilaksanakan pada acara-acara tertentu;

c. Pertunjukan seni tradisional Palembang pada hotel dan restoran, tempat pusat-pusat hiburan, media elektronika audio dan visual.

d. Kegiatan lain yang berfungsi sebagai sarana media apresiasi.

e. Pengaturan lebih lanjut mengenai hal-hal yang berkenaan dengan pelaksanaan pemeliharaan kesenian Palembang ditetapkan dengan Peraturan Walikota.

Pengawasan

(1) Pengawasan terhadap arus budaya dan seni modern dilakukan dengan cara, antara lain:

a) Melakukan kontrol terhadap segala bentuk pertunjukan, pagelaran, perlombaan dan hiburan baik ditempat tertutup maupun terbuka yang dinilai dapat menggoyahkan norma kesusilaan dan martabat seni dan budaya bangsa.

b) Memberikan fatwa dan/atau rekomendasi kepada Pemerintah Kota Palembang terhadap aktifitas seni, budaya dan hiburan yang diselenggarakan dalam wilayah administratif kota Palembang khususnya yang bisa berdampak dan menimbulkan isu SARA.

Lembaga Pengawas
Pelimpahan fungsi, tugas, wewenang dan tanggung jawab kepada lembaga Dewan Kesenian Palembang untuk melaksanakan fungsi dan tugas penggalian, pemeliharaan, pengembangan serta pengawasan terhadap semua aktifitas dan kreatifitas seni yang berlangsung di dalam wilayah administratif kota Palembang.

Pemeliharaan Kepurbakalaan, Kesejarahan

Pemiiharaan
Pemeliharaan kebudayaan Palembang yang berkenaan dengan kepurbakalaan, kesejarahan, nilai-nilai tradisional dan museum dilakukan melalui cara-cara sebagai berikut:

a. Pengumpulan, pencatatan dan pendokumentasian serta penyelamatan peninggalan budaya Palembang yang tersebar di diwilayah kota Palembang termasuk yang dikuasai oleh masyarakat;

a. Pemeliharaan, perlindungan dan pengkajian sumber-sumber sejarah dan pemanfaatan hasil penulisan sejarah dengan mensosialisasikannya melalui jalur pendidikan, media massa dan sarana publikasi lainnya;

a. Pengkajian dan pengembangan nilai-nilai tradisional Palembang yang meliputi antara lain aspek ungkapan, pribahasa, naskah kuno, sistem pengetahuan, sistem kemasyarakatan dan nilai-nilai tradisional lainnya yang tumbuh dan berkembang di masyakakat Palembang serta mensosialisasikan nilai-nilai tradisional tersebut kepada masyarakat;

a. Pengumpulan, pengkajian, perawatan, pengamanan, pemanfaatan benda-benda hasil budaya alam dan lingkungannya.

Kesejarahan

(1). Benda bergerak yang merupakan hasil penemuan tinggalan budaya disimpan di museum.

(2). Peninggalan budaya yang berupa benda tidak bergerak yang ditemukan pada tanah milik perorangan, perlu dibebaskan dengan cara pemberian penggantian sesuai ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(3). Dalam hal masyarakat menemukan dan atau menyimpan benda tinggalan budaya wajib mendaftarkan benda dimaksud kepada instansi yang berwenang.

(4). Pengaturan lebih lanjut mengenai hal-hal yang berkenaan dengan pemeliharaan/pengelolaan kepurbakalaan, kesejarahan, nilai-nilai tradisonal dan museum ditetapkan dengan Peraturan Walikota.

Pemeliharaan Pakaian Daerah, Ornamen Bangunan, Upacara Perkawinan

(1). Agar pakaian daerah, ornamen khas Palembang Darussalam pada bangunan dan hal-hal yang berkenaan dengan upacara perkawinan adat Palembang keberadaannya dapat terpelihara dan lestari, dilakukan upaya-upaya untuk terwujudnya pemeliharaan terhadap adat dan budaya tersebut.

Pakaian

(1). Keberadaan pakaian kebesaran adat, wajib dipelihara, dilestarikan dan dikembangkan oleh masyarakat adat yang bersangkutan.

(2). Sebagai upaya dalam rangka pelestarian dan pengembangan pakaian daerah Palembang , ditetapkan jenis pakaian resmi Palembang yaitu:

a) Pakaian adat Palembang;

b) Pakaian resmi lengkap;

c) Pakaian motif khas Palembang.

Ornamen

(1). Ornamen yang bercirikan khas Palembang keberadaan dan pemakaiannya harus dipelihara dan dikembangkan.

(2). Pemeliharaan dan pengembangan ornamen khas Palembang dilakukan melalui cara antara lain:

a) Mewajibkan pemakaian ornamen khas Palembang pada bangunan publik, gedung yang sudah ada/berdiri maupun yang akan dibangun;

b) Menempatkan ornamen khas Palembang pada gapura, tugu atau petunjuk lainnya yang berfungsi sebagai batas daerah/wilayah, baik antar kecamatan dan kelurahan.

Adat Istiadat

(1). Adat istiadat Palembang yang berkenaan dengan perkawinan adat, keberadaannya wajib dijaga, dipelihara dan dikembangkan.

(2). Seni Palembang yang berkenaan dengan aktifitas dan kreatifitas baik yang bersifat tradisional maupun kreasi modern yang tetap mencerminkan akar kesenian Palembang Darussalam.

HAK, KEWAJIBAN DAN PERAN SERTA MASYARAKAT



(1). Masyarakat berhak:

a) Menggunakan seluruh aspek kebudayaan Palembang sesuai fungsinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3;

b) Memberikan masukan kepada Pemerintah Daerah dalam upaya pemeliharan. pembinaan, pengembangan dan penentuan kebijakan yang berkenaan dengan kebudayaan Palembang;

c) Memilih aspek kebudayaan tertentu untuk kepentingan pengungkapan pengalaman dan estetisnya.

(2). Masyarakat wajib untuk turut serta memelihara, membina, dan mengembangkan seluruh aspek kebudayaan Palembang.

(3). Peran serta masyarakat dalam pemeliharaan kebudayaan Palembang diutamakan pada:

a) Inventarisasi aktivitas adat, seni dan budaya daerah;

b) Inventarisasi asset kekayaan budaya dan penggalian sejarah daerah;

c) Peningkatan kegiatan kebudayaan daerah;

d) Sosialisasi dan publikasi nilai-nilai budaya daerah kepada masyarakatnya;

e) Fasilitasi pengembangan kualitas sumber daya manusia.

LEMBAGA ADAT



(1). Pemeliharaan kebudayaan Palembang juga dilakukan oleh dan atau melalui lembaga adat yang merupakan organisasi kemasyarakatan, baik yang sengaja dibentuk maupun yang secara wajar telah tumbuh dan berkembang di dalam sejarah masyarakat yangbersangkutan dan berhak serta berwenang mengatur, mengurus dan menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan yang berkaitan dengan dan mengacu pada adat istiadat dan hukum adat yang berlaku.

(2). Lembaga adat sebagai wadah organisasi permusyawaratan/ permufakatan kepala adat/pemangku adat/tetua-tetua adat/pemuka-pemuka adat lainnya merupa-kan/berkedudukan diluar organisasi Pemerintahan Kota, Kecamatan, Kelurahan dan lingkungan.

Tugas Lembaga Adat antara lain sebagai berikut:

a. Menampung dan menyalurkan aspifasi/pendapat masyarakat kepada Pemerintah;

b. Menyelesaikan berbagai permasalahan yang timbul dalam masyarakat yang berkenaan dengan hukum adat dan adat istiadat.

c. Melestarikan, mengembangkan dan memberdayakan Kebudayaan Palembang pada umumnya dan khususnya hal-hal yang berkenaan dengan adat istiadat Palembang;

d. Memberdayakan masyarakat dalam rangka menunjang peningkatan penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan kesejahteraan masyarakat kota Palembang;

e. Menciptakan hubungan yang demokratis dan harmonis serta objektif antara kepala adat/pemangku adat/tetua-tetua adat/pemuka-pemuka adat lainnya dengan aparatur pemerintahan di kota Palembang.

Hak, Wewenang dan Kewajiban

(1). Lembaga adat berhak dan berwenang untuk:

a) Mewakili masyarakat adat keluar apabila menyangkut hal-hal yang berkenaan dengan kepentingan masyarakat adat;

b) Mengelola hak-hak adat dan atau harta kekayaan adat untuk meningkatkan kemajuan dan kesejahteraan masyarakat yang bersangkutan;

c) Menyelesaikan berbagai perselisihan yang menyangkut perkara-perkara adat istiadat sepanjang penyelesaian dimaksud tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2). Lembaga adat berkewajiban untuk:

a) Menunjang pemerintah daerah dalam peningkatan penyelenggaraan pemerintahan daerah. pembangunan dan kesejahteraan masyarakat serta pemeliharaan kebudayaan Palembang;

b) Meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya adat istiadat dan kemajemukan adat istiadat serta kebudayaan daerah;

c) Menegaskan makna dan hakekat adat dan budaya sebagai kekuatan lokal yang hidup secara dinamis dan menciptakan kondisi yang dapat menjamin tetap terpeliharanya kebhinekaan masyarakat adat dalam memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa.

Written by: samuji Selasa, 24 Januari 2012 12:46 | Sumeks Minggu

1 comments:

  1. yang jadi masalah adalah kesadaran masyarakat itu sendiri (wong palembang) ...
    " tau deweklah wong palembang tuh sebagian besak BANYAK gaya "
    contoh kasus... setiap kali ada hajatan " selo dak selo OT (orgen tunggal) " dan lebih parah nya lagi yang MABOK / ON para orang tua. secara tidak langsung mereka mencontohkan yang tidak baik bagi anak ... " kalu di omongi nak NGAPAK " payah ....
    sikap pemko dan aparat harus tegas memberantas praktek pembodohan generasi masa depan ( orgen tunggal, judi mabok Dll )

    ReplyDelete

Terima Kasih Kunjungannya Saudara-saudaraku