Friday 18 January 2013

Tambah 30 Transmusi - 20 Ribu Smart Card



PALEMBANG -- Direktur Operasional PT Sarana Pembangunan Palembang Jaya (SP2J), Yusransyah Ishak mengatakan, pihaknya dalam proses penambahan armada BRT Transmusi sebanyak 30 unit pada tahun ini. Dimana, 20 unit bus besar dan 10 unit bus sedang.

Bus-bus tersebut akan melayani koridor yang membutuhkan tambahan. Tentu saja disesuaikan dengan tingkat permintaan (load factor) dan kapasitas jalan. Diperkirakan, bus ukuran besar beroperasi di koridor I dengan rute Jakabaring - Simpang Tegal Binangun. Sedangkan yang sedang melayani koridor 7 dan 8.


Tambah 30 Transmusi - 20 Ribu Smart Card
Kata Yusransyah, saat ini sudah beroperasi 120 unit, 40 bus besar dengan kapasitas dua kali bus sedang dan 80 unit bus sedang. "Kalau disetarakan, total Transmusi yang operasionalnya ada 160 unit sedang," bebernya. Untuk mengcover semua koridor, dibutuhkan tambahan 250 unit lagi.

Pihaknya juga akan menambah sekitar 20 ribu
smart card lagi pada Februari nanti. Yang sudah tersebar sekarang ada 40 ribu smart card. "Nantinya smart card Transmusi dapat di beli di toko modern seperti Alfa Mart dan Indomaret," jelasnya. Mulai 24 Desember lalu, pada Transmusi diberlakukan sistem transit dua jam.

"Warga yang menggunakan Transmusi dapat turun dulu dan naik lagi tanpa membayar. Tentu saja untuk perhitungannya terekam dalam
smart card," beber Yusransyah. Saat ini semua koridor telah menerapkan smart card. Ia mengatakan, jumlah pengguna Transmusi saat ini terus meningkat. Wali Kota Palembang H Eddy Santana Putra membenarkan akan adanya penambahan armada Transmusi untuk menunjang kebutuhan transportasi publik masyarakat. (yun)

Sumatera Ekspres, Kamis, 17 Januari 2013

Jembatan Ampera Overkapasitas

Jembatan Ampera Overkapasitas
PALEMBANG -- Beberapa ruas jalan utama di Metropolis semakin sering didera kemacetan. Termasuklah macet di atas Jembatan Ampera dan Musi II, dua jembatan utama penghubung Seberang Ulu dan Ilir.

Karena pembangunan Jembatan Musi III dinilai sudah sangat mendesak untuk diwujudkan. "Jembatan Ampera sudah melebihi batas (overkapasitas). Jangan sampai roboh dulu baru mau dibangun," kata Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Sumsel, Prof Dr Ir Hj Erika Buchori Msc usai pengukuhan pengurus MTI Sumsel di Gedung Serbaguna Pascasarjana Unsri, kemarin (16/1).

Dikatakan pakar transportasi itu, wacana pembangunan Musi III sudah lama terbangun harus diwujudkan dalam waktu dekat. Kondisi Ampera sudah riskan. "Kalau dilihat
level of service-nya, dari hasil pembagian volume dengan kapasitas Jembatan Ampera sekarang mencapai 1,70 satuan indeks. Padahal, idealnya untuk jembatan itu 1,00. Bisa dilihat, banyak motor yang bahkan terpaksa melintas di trotoar begitu juga dengan mobil," bebernya.

Pembangunan Jembatan Musi III yang direncanakan di kawasan Pasar Kuto dan Pulau Kemaro terkendala dari aspek sosial. Ada penolakan dari masyarakat yang lokasinya bakal terkena pembangunan Musi III. "Seharusnya ini segera diselesaikan sehingga pembangunan bisa dijalankan," cetus Erika.


Jembatan Ampera Overkapasitas
Untuk meminimalisir padatnya lalu lintas di Jembatan Ampera, perlu dilakukan pengoptimalan angkutan perairan. "Sekarang sudah ada angkutan sungai yang terintegrasi dengan Transmusi. Nah, ini harus dioptimalkan lagi sehingga penggunaan kendaraan pribadi bisa dikurangi," sarannya.

Pengaturan semacam itu pernah dilakukan saat SEA Games 2011 lalu. "Kalau kita lihat, tiap tahun kepadatan terus meningkat tajam. Harus ada upaya pengalihan ke transportasi air dan kereta api," imbuh Erika.

Ketua Forum Transpotasi Laut MTI pusat, Ir Ajiph Razitwan Anwar MM menambahkan, saat ini pihaknya menyoroti Pelabuhan Boom Baru yang kondisinya sudah proporsional lagi. "Kita sedang mengkaji beberapa kawasan untuk dijadikan pelabuhan tambahan di Palembang. Di antaranya di Mariana, Bagus Kuning, dan Tanjung Api-api. Tapi itu masih survei dan perlu kajian lebih dalam," urainya.

MTI juga mendorong upaya meminimalisir penggunaan angkutan truk yang saat ini makin padat hingga memicu kemacetan. "Kita upayakan untuk membuka jalur ganda di Selat Sunda sehingga bisa langsung ke Palembang. Tapi untuk persiapannya memang perlu waktu paling tidak hingga empat tahun," pungkasnya. (mik/ce2)

Sumatera Ekspres, Kamis, 17 Januari 2013

Wednesday 16 January 2013

Pemilih Prabumulih 125.246 Jiwa

Prabumulih -- Jumlah pemilih Kota Prabumulih dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) sebanyak 125.246 jiwa. Angka tersebut sudah diplenokan dalam rapat terbuka KPUD Kota Prabumulih di aula sekretariat KPUD Jl Jend A Yani, Kelurahan Prabujaya, Prabumulih Timur, pukul 14.15 WIB, kemarin (16/1)

Empat komisioner hadir, kecuali ketua KPU Kota Prabumulih yang tengah dirawat di rumah sakit. Ada dari panwas, perwakilan tim sukses dari masing-masing kandidat calon wako dan wawako seta PPK se-Kota Prabumulih. "Berdasarkan hasil pemutakhiran data yang telah dilakukan mulai dari tingkat PPS, PPK hingga KPU Kota Prabumulih kemi menetapkan DPT Kota Prabumulih sebanyak 125.246 wajib pilih," ujar Ketua Devisi Teknik Penyelenggara, Zonial Pajri Djak Umar SH saat memimpin rapat.

Menurut Zonial, dari DPT 125.246 jiwa, laki-laki ada 61.846 dan perempuan 63.400. Mereka tersebar di 37 desa/kelurahan dalam 6 kecamatan se-Kota Prabumulih. "Jika dilihat dari angka yang ada, pemilih perempuan lebih banyak."

Proses penetapan DPT bermula dari DP4 (data penduduk pemilih potensial pemilu)dari dinas kependudukan dan catatan sipil. Dari data lantas Panitia Pemungutan Suara (PPS) dan petugas pemutakhiran data dengan melibatkan ketua RT dan lingkunga setempat. "Hasil pemutakhiran data ini, kita berikan kepada tim sukses tiap pasangan agar mereka ikut mengkroscek apakah masih ada warga yang belum terdata atau sebaliknya ada kesalahan dalam pemutakhiran data," urainya lagi.

Setelah itu, baru ditetapkan menjadi DPT tingkat Kecamatan dan kemudian menjadi DPT tingkat kota yang disahkan melalui rapat pleno oleh KPU Kota Prabumulih. "Prosesnya cukup panjang dan dilakukan secara teliti oleh petugas di lapangan," pungkasnya. (abu/ce3)

Sumatera Ekspres, Kamis, 17 Januari 2013

Monday 14 January 2013

Pasar 16 Ilir.



Oleh: Yudhy Syarofi

Penggusuran pedagang kaki lima di kawasan eks-Pasar 16 Ilir saat ini sungguh miris. Dalam sejarahnya, Belanda (sebagai penjajah) sangat disiplin dalam penataan ruang. Namun, mereka masih memberikan kesempatan kepada rakyat di tanah jajahan untuk mencari nafkah. Hanya, polanya yang diatur. Lebih rapi, bersih, aman, dan nyaman.

Sebelum "campur tangan" Kolonial Belanda terhadap alam di Palembang, sebelum abad ke-20, kawasan Pasar 16 Ilir (saat ini) dahulunya merupakan pemukiman tepian sungai. Di kawasan itu, terdapat Sungai Tengkuruk, yang merupakan salah satu anak Sungai Musi, yang salah satu bagiannya bertemu dengan Sungai Kapuran. Sementara Sungai Kapuran, bertemu pula dengan Sungai Sekanak (Peta Situasi Peperangan Palembang-Belanda; Sejarah Perjuangan Sri Sultan Mahmoed Baderedin Ke II; R.H.M. Akib; 1980).

Sebagaimana sifat orang Melayu Palembang, kawasan tepian sungai --terutama Sungai Musi-- merupakan lokasi "favorit" untuk pemukiman. Pilihan ini juga merupakan "pilihan cerdas" mengingat saat itu jalur transportasi adalah air. Perahu-perahu yang berasal dari pedalaman (hulu) dengan tujuan utama berdagang, menjadikan Sungai Tengkuruk sebagai tempat singgah. Hingga sekitar tahun 1910, Sungai Tengkuruk masih "normal".

Di atas sungai itu, terdapat jembatan dan tangga-tangga yang menghubungkannya dengan daratan. Jika dilihat dari arah pertigaan Jl. Masjid Lama (saat ini), di sepanjang tepian sungai sebelah kiri, berjajar pertokoan. Sedangkan di bagian kanan, tampak rumah-rumah panggung.

Di bagian lain sungai itu, tampaklah tangga raja (hingga kini masih dinamakan demikian meskipun sudah tak ada lagi sungai dan tangganya). Tangga ini berfungsi sebagai tempat naik turunnya para pembesar Kesultanan Palembang Darussalam.

Seperti lazimnya perkembangan pasar saat ini, perdagangan di Pasar 16 Ilir berawal dari "pasar tumbuh", yang terletak di tepian Sungai Musi (sekarang Gedung Pasar 16 Ilir Baru hingga Sungai Rendang, Jl. Kebumen). Pola perdagangan di lokasi itu, setidaknya hingga awal 1900-an, dimulai dari berkumpulnya pedagang cungkukan (hamparan), yang kemudian berkembang dengan pembangunan petak permanen.

Untuk kawasan Pasar Baru (hingga kini masih bernama Jl. Pasar Baru), yang saat itu sudah berderet bangunan bertingkat dua, yang bagian bawahnya menjadi tempat berjualan. Los-los mulai dibangun sekitar tahun 1918 dan dipermanenkan sekitar tahun 1939.

Sementara itu, muara Sungai Rendang, menjadi salah satu "dermaga" pilihan perahu kajang (perahu beratap) berlabuh. Perahu, yang sekaligus menjadi tempat tinggal, ini membawa hasil bumi dari daerah di hulu Sungai Musi untuk diperdagangkan di Pasar 16 Ilir. Ini terjadi setelah pengembangan ekonomi dan kawasan, didahului pembangunan Pasar Sekanak yang masa itu disebut sebagai Pasar Ikan, tidak lama setelah penguasaan Belanda atas Palembang, tahun 1821.

Boulevard Zaman Belanda
Sekiranya tidak terjadi perang Palembang-VOC pada tahun 1658 dan 1659, barangkali "pusat kota" Palembang bukan di 16 Ilir dan sekitarnya. Setelah Keraton Palembang dibakar habis oleh VOC pada 1659, penguasa Palembang kala itu --Sido Ing Rajek—menyingkir ke Inderalaya.

Adik Sido Ing Rajek, Ki Mas Hindi Ario Kesumo Abdurrohim (Candiwalang), kemudian berkuasa setelah terjadi kekosongan pemerintahan akibat Sido Ing Rejek menolak kembali ke Palembang. Selanjutnya, Candiwalang memindahkan pusat pemerintahan ke kawasan Beringin Janggut (saat ini), membangun Kuto Cerancang atau Kuto Tengkuruk. Dia pun menjadi Sultan pertama setelah melepaskan "ikatan' ideologis dengan Mataram. Sultan pertama Kesultanan Palembang Darussalam ini bergelar Sultan Abdurrahman Khalifatul Mukminin Sayidul Iman.

Pada masa inilah, didirikan masjid, semacam alun-alun sebagai tempat beristirahat (kini Jl. Beringin Janggut), segara (kolam) di kawasan yang sekarang masih memakai nama-nama itu sebagai nama jalan. Misalnya, nama Beringin Janggut, diyakini sebagai bagian taman tempat tumbuhnya pohon beringin, yang karena tuanya sampai ber-"janggut" (akar gantung). Jalan Segaran diyakini merupakan bagian kolam (?) atau tempat orang beristirahat sehingga menjadi segar. Dan Jl. Masjid Lama, adalah lokasi berdirinya masjid sebelum Masjid Sulton (sekarang, Masjid Agung Palembang) dodirikan Sultan Mahmud Badaruddin I Jayo Wikramo.

Kotapraja (Gemeente) –kemudian dilafazkan lidah Palembang sebagai Haminte-- melakukan beberapa kebijakan pembangunan. Dibangunlah semacam taman di Talangsemut, pusat perdagangan di 16 Ilir, pelabuhan di Sungai Rendang, serta pusat perkantoran di sekitar Benteng dan Tengkuruk. Kebijakan ini termasuk rencana pembuatan boulevard atau bulevar. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, bulevar berarti jalan raya, yang biasanya ditanam pepohonan di kiri dan kanannya.

Untuk merealisasikan itu, Sungai Tengkuruk ditimbun pada tahun 1928. Di atasnya, dibangunlah jalan dalam dua jalur. Di bagian kiri --jika dilihat dari arah Sungai Musi, tampaklah jajaran pohon dan kanannya, bangunan dua tingkat, yang merupakan perkantoran. Bentuk serupa ini dapat disebut bulevar.

Melihat foto-foto lama yang menunjukkan kondisi Kawasan 16 Ilir tempo doeloe, tampaklah keteraturan. Pendapat ini memang bersifat debatable, misalnya dengan mengatakan, itu saat penduduk Palembang masih sedikit. Namun harus diakui, penataan yang dilakukan Pemerintah (Belanda) saat itu cukup apik. Namun, harus dicatat, bahwa saat itu kawasan ini tetap saja tidak bebas pedagang kaki lima. Artinya, semua berpulang kepada siapa yang mengatur dan bagaimana cara mengaturnya.

Usai penimbunan, Sungai Tengkuruk dijadikan jalan. Hal ini terkait dengan program Pemerintah Kolonial dalam penyediaan sarana “cari angin” bagi warga Eropa (soal sarana hiburan, nanti dibahas tersendiri). Ini merupakan rangkaian dari pembangunan jalan di depan Kuto Besak (kini Jl. SMB II), Staadhuisweg (kini Jl. Merdeka), jalan di tepian Sungai Sekanak samping Kantor Walikota saat ini (sekarang, Jl. Sekanak), dan Jl. Sekitar kawasan Talangsemut.

Sebuah foto bertahun 1930, menampakkan salah satu sudut jalan di Pasar 16 Ilir (dilihat dari arah Musem SMB II saat ini), menampakkan jalan dan trotoar yang bersih. Begitupun pengaturan arus lalu lintasnya. Tampak seseorang yang sedang menarik semacam gerobak penumpang. Dalam film-film kungfu Hongkong, becak serupa ini disebut rigshaw. Penariknya, seorang Cina yang rambutnya dikuncir. Tarif yang diterapkan seragam, yaitu sewang atau 10 sen. Jalan Tengkuruk pun menjadi sarana jalan di samping sebagai sarana ruang publik. Namun, penikmatnya, seperti halnya taman lain --di depan Balai Pertemuan Sekanak, Kambang Iwak, dan beberapa tempat lain-- kebanyakan adalah orang Eropa.

Pola bulevar memungkinkan jalan ini menjadi sangat sedap dipandang. Selain trotoar yang disediakan bagi pejalan kaki, dan dilengkapi pula dengan lampu hias di bagian tengah (median)-nya dan pepohonan rindang di salah satu sisinya. Sisi lain, bangunan pertokoan dan perkantoran (kini di bagian Jl. Tengkuruk Permai) tetap dipertahankan. Perlakuan sama juga atas pertokoan --umumnya dua tingkat-- di Jl Pasar Baru dan blok di Jalur 11 (nama saat ini). Beberapa foto yang diambil antara tahun 1930-1958, menunjukkan, adanya penataan di kawasan itu yang mengarah kepada bentuk pusat perbelanjaan (pertokoan). Selain bangunan toko --ini tampak pula pada foto-foto yang diambil sebelum tahun 1930-an—yang berjajar, juga tampak adanya arkade. Yaitu, lorong yang diperuntukkan bagi pejalan kaki dengan atap-atap di bagian atasnya.

Aktivitas perdagangan internasional, terutama karet (Hevea brasiliensis), tembakau, kopi, kapas (Exbucklandia populnea R. Brown), serta hasil bumi lainnya, menyebabkan kawasan ini pun menjadi “pusat” perbankan. Sepanjang tepian Sungai Musi dari Sekanak hingga 16 Ilir dipenuhi oleh rakit-rakit tumpahan. Rakit ini dimaksudkan untuk menampung hasil bumi, terutama karet, dari kawasan Uluan sebelum transaksi dilakukan. Pada masa ini, bank niaga pertama yang membuka cabangnya di Keresidenan Palembang adalah Nederlandsche Handel Maatschappij (NHM) pada tahun 1900. Sementara De Javasche Bank, sebagai bank sirkulasi untuk bank niaga, membuka cabang di Palembang pada 20 September 1909. Dapat dikatakan, NHM merupakan “pemain tunggal” di Palembang selama dua dasawarsa. Perkembangan perdagangan getah karet yang luar biasa setelah tahun 1910, membuat beberapa manajemen bank membuka cabang di Palembang. Setelah tahun 1920, berdirilah kantor cabang Nederlandsche Indische Escompto Maatschapij, Nederlandsche Indische Handelsbank, dan Hong Ho (perusahaan bank Cina).

Bank-bank yang kesemuanya berkantor di kawasan 16 Ilir ini membiayai hampir semua perdagangan karet dan kopi di Keresidenan Palembang. Sistem yang dipakai kala itu adalah gadai konsinyasi atau kredit yang diterima. Pihak bank membuat daftar dagang berjangka. Semua jenis tanaman yang tecantum di dalam daftar ini dapat dipakai sebagai bahan gadai di bank. Pembelian dan penjualan harus dilakukan melalui pialang yang diakui Kamar Dagang. Para pedagang pun dapat menggadaikan karet atau kopinya kepada bank. Komoditas ini kemudian disimpan di dalam gudang (veem) dan dapat mengambilnya kembali apabila utang sudah lunas. Pedagang juga dapat mengambil kredit di bank apabila memiliki surat tertulis dari pialang yang menyatakan bahwa sang pemohon kredit akan menyerahkan komoditas (misalnya, karet) dalam jangka waktu tertentu.

Bank Sumsel
Dengan kondisi perbankan serupa ini, tidaklah mengherankan apabila kemudian –pada masa kemerdekaan—pemerintah mendirikan bank milik daerah di kawasan ini. Karena situasi dan kondisi politik yang tidak memungkinkan menjelang akhir tahun 1950-an, pemerintah memberlakukan darurat perang. Karenanya, kebijakan pembangunan banyak dipegang oleh militer. Panglima Ketua Penguasa Perang Daerah Tentara dan Territorium (TT) II Sriwidjaja Tingkat I Sumatera Selatan, Letkol Barlian, mengeluarkan Surat Keputusan (SK) No. 132/SEP/’58 pada 10 April 1958. SK mengenai pendirian Bank Pembangunan Sumatera Selatan ini berlaku surut mulai 6 November 1957. Dengan demikian, 6 November 1957 dicatat sebagai hari lahir PT Bank Pembangunan Sumatera Selatan.

Panglima Ketua Penguasa Perang Daerah TT II Sriwidjaja Tingkat I Sumatera Selatan, Letnan Kolonel Harun Sohar, yang menggantikan Letkol Barlian pada 14 Mei 1958, kemudian mendaftarkan pendirian PT Bank Pembangunan Sumatera Selatan ke Notaris Tan Thong Kie, 29 September 1958, sehingga tercatat sebagai Akta Notaris No. 54 (Tambahan Berita-Negara RI 17/7-1959 No. 57).

Pendirian bank ini didaftarkan oleh Mayor TNI Roesnawi, Kepala Staf Harian Penguasa Perang TT II Sriwidjaja, atas kuasa Letnan Kolonel Harun Sohar, Penjabat Panglima Penguasa Perang TT II Sriwidjaja. Pendaftar kedua adalah Mr. H. Makmoen Soelaiman, Penjabat Presiden Direktur Bank Pembangunan Sumatera Selatan. Bank ini, terletak di kawasan Jl. Tengkuruk (kini Jl. Jenderal Sudirman), menempati eks-Gedung Sekolah Misi Methodist. Sejak didirikan awal abad ke-20 hingga tahun 1950-an, masyarakat Palembang menyebutnya sebagai sekolah Inggris dan jalan itu masih disebut sebagai Jalan Sekolah. Ini mengacu kepada nama jalan semasa pemerintah kolonial, yaitu Schoolweg.

Makmur meskipun di tanah jajahan. Begitulah yang dirasakan rakyat Sumatera Selatan, saat harga karet melambung-lambung hingga dua dasawarsa abad ke-20. Kawasan 16 Ilir menjadi saksi atas kemakmuran yang luar biasa itu.

Dengan tingkat kemakmuran yang tinggi ini, rakyat Keresidenan Palembang –terutama kawasan di Sumatera Selatan penghasil getah karet (Hevea Brasiliensis) itu sudah terbiasa mendengarkan piringan hitam yang diputar pada gramafon dari berbagai merek, seperti Edison, Polydor, dan His Masters Voice. Bagi yang senang dengan fotografi, tersedia pula kamera foto. Semua produk “mewah” itu diiklankan di surat kabar lokal, seperti Pertja Selatan, Pewarta Melajoe, atau Kemudi. Bagi warga yang sudah melek huruf dan mampu membaca koran, iklan itu pun memikat hati mereka. Didatangilah pertokoan di Pasar 16 Ilir untuk membeli bermacam barang itu. Tidaklah heran, apabila kemudian, setelah bertransaksi getah karet dengan para penampung, juga bank-bank yang berada di kawasan itu, para toke karet ini mengangkut beragam barang mewah ke kampung mereka. Sebagai catatan, pendirian bank-bank niaga di kawasan ini –seperti diulas pada tulisan terdahulu—dipicu oleh semakin membaiknya perekonomian di keresidenan ini.

Bisnis perkaretan di Palembang, pada masa awal abad ke-20 ini sangat menjanjikan. Apalagi setelah terjadi rubber booms antara tahun 1914-1915. Kondisi ini makin meningkat setelah tahun 1920-an. Tak heran, banyak orang kaya di Keresidenan Palembang berkat bisnis getah dari tanaman yang dibawa dari Singapura oleh jemaah haji asal Palembang itu. Tanaman yang berasal dari Desa Para –nama desa ini kemudian melekat sebagai salah satu sinonim pohon karet—yang berada di Brasil sana. Sebetulnya, bukan hanya bisnis di Keresidenan Palembang yang “meledak” akibat getah karet. Tercatat, beberapa daerah lain di wilayah Hindia Belanda mengalami hal yang sama. Ini pun menarik perhatian Pemerintah Hindia Belanda, yang pada Oktober 1924 mendirikan suatu badan yang dinamai De Native Rubber Investigation Commissie untuk melakukan semacam penelitian mengenai kondisi perkaretan di negeri jajahannya ini. Termasuk pula, berapa besar penghasilan yang didapat perusahaan eksportir. Hal itu terjadi akibat terjadinya lonjakan permintaan getah karet pada masa 1920-an. Hasil penelitian itu kemudian diterbitkan dalam sebuah laporan berjudul De Bevolkingscultuur in Nederlandsch Indie (Pertja Selatan; 7 Oktober 1927). Sebagai gambaran, dapat dilihat pada data ekspor karet pada tahun 1919-1926;

Tahun Ekspor Basah (ton) Ekspor Kering (ton) Harga (juta rupiah)

  • 1919 13.000 - -
  • 1920 10.000 - -
  • 1921 6.000 - -
  • 1922 25.000 20.000 15
  • 1923 53.000 40.000 50
  • 1924 86.000 56.000 70
  • 1925 128.000 83.000 250
  • 1926 128.000 85.000 180

  • Sumber: Pertja Selatan, 7 Oktober 1927

    Catatan: mata uang yang dipakai, rupiah. Surat kabar yang terbit di Palembang ini juga menampilkan data mengenai besaran ekspor karet di Indonesia, berdasarkan Keresidenan, pada tahun 1927 per Januari-September.


    Keresidenan Ekspor Kering (ton) Ekspor Basah (ton)

  • Borneo Barat 21.133 16.906
  • Borneo Selatan dan Timur 26.299 15.780
  • Jambi 30.511 15.256
  • Palembang 17.037 11.951
  • Sumatera Timur dan Aceh 16.648 11.154
  • Riau dan Daerahnya 7.863 6.984
  • Tapanuli 3.528 3.175
  • Bangka 2.163 1.449
  • Bengkulu 953 638

  • Sumber: Pertja Selatan, 7 Oktober 1927


    Palembang Punya “BG”
    Dalam situasi ini, rakyat Keresidenan Palembang yang semula sangat lekat dengan budaya tepian sungai (riverine culture) mulai kenal dengan budaya “daratan”. Sebagian dari mereka yang diuntungkan oleh bisnis getah karet kemudian seolah berlomba membeli mobil. Selain distributor mobil yang menyediakan beragam merek mobil di Jl. Tengkuruk, sebuah perusahaan dagang –istilah sekarang, agen tunggal pemegang merek—mobil Ford, bahkan kemudian mendirikan ruang pamer (show room) di kawasan Sungai Rendang, yang terletak di sebelah hilir 16 Ilir. Dalam tahun 1920, mobil pribadi belum sampai 300 unit. Namun, pada tahun 1927, jumlahnya meningkat sampai 3.475 unit, terdiri atas berbagai merek, yaitu Ford, Albion, Rugby, Chevrolet, dan Whitesteam.

    Saat ini, pasaran mobil demikian pesat. Dua perusahaan mobil Amerika, seperti dimuat dalam iklan di surat kabar Pertja Selatan, yaitu Ford dan Chevrolet berkompetisi merebut konsumen. Pada tahun 1920-an ini, sedan Ford dipatok dengan harga Nlg 2.155, sedangkan Chevrolet seharga Nlg 2.195.

    Sebuah foto berangka tahun 1930, menunjukkan kondisi di kawasan Jl. Pasar (Pasarstraat) 16 Ilir. Pada foto ini, tampak sebuah mobil yang terlihat jelas pelat nomornya. Dari sini, dapatlah diambil kesimpulan bahwa pemakaian hirif BG sebagai identitas nomor polisi kendaraan di Palembang –mungkin juga berlaku bagi kota lain di Indonesia—merupakan adopsi dari zaman Belanda. Ternyata, bukan hanya KUHP yang diadopsi dari negeri penjajah itu.

    Tulisan ini berdasarkan penelitian dari berbagai sumber, baik tertulis maupun wawancara.

    Selanjutnya: Pedagang Cungkukan, Kampung Cina, dan Pertokoan

    SUMBER: BERITA MUSI 03.06.2009 13:51:13 WIB

    Koleksi Photo dari Berbagai Sumber @2008-2011

    Koleksi Photo Palembang Tempo Dulu (Album 1)
    Koleksi Photo Palembang Tempo Dulu (Album 2)
    Koleksi Photo Palembang Tempo Dulu (Album 3)

    Monday 7 January 2013

    Candi Kebayan Perlu Dipugar

    Candi Kebayan Perlu Dipugar
    Tinjau: Wakil Bupati OKU Selatan dr Hj Herawati Gatot SPm saat meninjau situs Candi Batu Kebayan di Desa Jepara, Kecamatan BPRRT, Sabtu lalu

    MUARADUA -- Keberadaan Situs Candi Kebayan di Desa Jepara yang diyakini peninggalan zaman prasejarah tertua, menarik perhatian Wakil Bupati OKU Selatan dr Hj Herawati Gatot SPm. Ditemani Kadis Perikanan Peternakan Soliehien Abuasir dan Camat Buay Pematang Ribu Ranau Tengah (BPRRT) Tarmizi, orang nomor dua di bumi Serasan Seandanan ini meninjau situs Candi Kebayan yang diyakini masyarakat candi sepasang pengantin.

    Wabup nampak terkagum-kagum melihat situs Candi Kebayan meski kondisinya masih berserakan. “Ini peninggalan luar biasa, bentuknya memang seperti candi. Ini cagar budaya yang harus menjadi perhatian serius,” kata Herawati.

    Selain aset kekayaan sejarah OKU Selatan, situs ini potensial dipromosikan sebagai objek wisata. Terlebih letaknya berada satu kompleks dengan kawasan wisata Danau Ranau. “Tolong situs ini dipelihara dengan baik dan dipromosikan sebagai objek wisata OKU Selatan. Buat nomenkelatur biar pengunjung mengetahuinya,” kata Herawati.

    Dikatakanya, aset yang potensial untuk mendatangkan pemasukan bagi daerah khususnya bagi Desa Jepara dan Kecamatan BPRRT dan umumnya OKU Selatan. "Karena tak banyak daerah yang memiliki dan menyimpan aset sejarah peninggalan prasejarah masa lampau. Ke depan untuk menyelamatkan candi ini, harus menjadi perhatian misalnya dibangun akses disertai petunjuk dan lebih pentingnya candi itu kembali dipugar agar diketahui bentuk bangunannya seperti apa,” kata Herawati.

    Riki, warga Jepara mengatakan, pada 2008 sudah dilakukan eskavasi. "Hasilnya kedalaman candi sekitar 2 meter dari permukaan tanah, dengan lebar 7 meter dan panjang 12 meter. Candi berbentuk bangunan segi empat dengan bantuan tersusun rapih penuh profil. Tiap batu ada lubang sebagai pengunci antar batu satu dengan batu yang lainnya,” pejelasan riki. (dwa/ce2)

    Sumatera Ekspres, 7 Januari 2013

    Diputar Perdana 8 Januari

    Film Gending Sriwijaya

    PALEMBANG -- Dalam waktu dekat, masyarakat Sumsel akan dapat menyaksikan film Gending Sriwijaya garapan sutradara Hanung Bramantyo. Film fiksi menceritakan kisah tiga kerajaan yang berebut kekuasaan di abad ke-16 setelah runtuhnya Kerajaan Sriwijaya itu akan diputar di seluruh Indonesia pada 10 Januari nati.

    "Untuk Palembang, tayang perdana pada 8 Januari, selanjutnya baru ditayangkan secara nasional 10 Januari," ungkap Plt Kepala Biro Humas dan Protokol Setda Provinsi Sumsel, Irene Camelyn Sinaga, kemarin (6/1). Dalam pemutaran perdana di Palembang akan hadir seluruh pemeran dalam film tersebut.

    "akan ada nonton bareng bersama Gubernur Sumsel, para aktris dan aktor yang terlibat dalam film Gending Sriwijya ini," bebernya. Pemprov Sumsel berencana akan mengundang seluruh tokoh yang ada di Sumsel, mulai Kapolda Sumsel, Pangdam II Sriwijaya, perwakilan kabupaten/kota, dan lainnya.

    Rencananya, kata Irene, akan ada pembagian tiket nonton gratis kepada masyarakat, teknisnya sedang digodok lebih lanjut. Film yang didanai APBD Sumsel sekitar Rp 9 miliar itu melibatkan sejumlah aktor dan aktris papan atas Tanah Air.

    Di antaranya, Agus Kuncoro (Awang Kencana), Sahrul Gunawan (Purnama Kelana), Slamet Raharjo (Dapunta Hyang Jayanasa), Jajang C Noer (Ratu Kalimanyang), Mathias Muchus (Ki Goblek), Julia Perz (Malini), dan sejumlah pemain lokal asal Sumsel.

    Film Gending Sriwijaya ini sejenis Film epic, hisrorical, adventure, dan juga ada unsure dramanya. Berdurasi 2 jam 30 menit, film yang diproduksi Putar Production ini menjadi salah satu film mahal garapan Hanung setelah Sang Pencerah. Untuk Sumsel, ini film kedua setelah Mengejar Angin yang sukses meraih sejumlah penghargaan nasional.

    Hanung sendiri dalam jumpa pers di Jakarta mengaku cukup terbebani menggarap film dengan biaya sebesar itu. "Ini menjadi beban karena menggunakan dana rakyat. Kita berusaha semaksimal mungkin untuk memberikan yang terbaik. Ini persembahan dari Sumsel untuk Indonesia," jelasnya.

    Inti dari film Gending Sriwijaya menceritakan perebutan kekuasaan antara dua putera mahkota Kedatuan Bukit Jerai, Awang Kencana (Agus Kuntjoro) dan Purnama Kelana (Sahrul gunawan). Raja Dapunta (Slamet Raharjo) lebih memilih Purnama Kencana menjadi penerus tahta karena lebih pintar dan berpengetahuan luas. Hal ini kerena tradisi kerajaan, putra mahkota merupakan anak laki-laki tertua (tha/ce2)

    Sumatera Ekspres, Senin, 7 Januari 2013

    Friday 4 January 2013

    Bukit Siguntang, Hingga Kini Tetap Keramat

    Bukit Siguntang Hingga Kini Tetap Keramat

    Kota Palembang punya banyak tempat bersejarah yang menyimpan sejuta misteri. Bisa jadi tempat bersejarah tersebyt berkali-kali kita lewati setiap hari. Tapi kita tidak tahu kalau tempat itu mempunyai nilai sejarah. Salah satunya Bukit Siguntang yang terletak di Kecamatan Ilir Barat (IB) I.

    Objek wisata arkeologi ini, tampak seperti biasa, diramaikan anak-anak muda dan beberapa pengunjung. Sedikit naik ke puncak bukit, bau kemenyam begitu menyengat dan kita akan melihat sejumlah makam di dalam pondok kecil. Dua orang tampak sedang khusyuk berziarah di pinggir makam Panglima Tuan Djungjunganga, salah satu dari delapan makam di puncak Bukit Siguntang.

    Bukit ini punya sejarah penting, terutama pada masa Kerajaan Sriwijaya. "Dahulu Bukit Siguntang jadi tempat peribadatan agama Buddha saat zaman Kerajaan Sriwijaya," jelas Drs Nurhadi Rangkuti MSi, Kepala Balai Arkeologi Palembang.

    Pada zaman penjajahan Belanda, lanjut Nurhadi, di bukit setinggi 27 meter ini sudah ditemukan beberapa artefak seperti arca Buddha dan prasasti. Selain itu dalam penggalian pada tahun 1950-an juga ditemukan struktur bangunan kuno berupa stupa yang merupakan bangunan umat Buddha.

    Pada tahun 1980-an juga ditemukan sisa bata kuno di sekitar bukit. Lalu apa mungkin masih ada situs, arca, atau artefak yang belum ditemukan di Bukit Siguntang? "Sulit untuk melacaknya karena di atas bukit sudah dibangun banyak bangunan baru, seperti menara pandang dan sebagainya," kata Nurhadi

    Dahulu, bukit ini dikelilingi rawa-rawa. Biasanya rawa-rawa dijadikan tempat pemukiman dengan rumah panggung, sedangkan tanah kering seperti Bukit Siguntang dijadikan kuburan dan tempat peribadatan.

    Selain jadi tempat sakral bagi umat Buddha, menurut legenda, bukit ini juga tempat turunnya raja-raja Melayu. Tidak heran memang, karena kekuasaan Sriwijaya tidak hanya di Nusantara tetapi juga sampai ke Semenanjung Malaya. "Banyak sekali keturunan Melayu di sana. Mereka menganggap raja-raja mereka keturunan Palembang," ujar sarjana Arkeologi Universitas Indonesia ini.

    Lalu, bagaimana dengan makam-makam di atas puncak bukit? "Makam-makam ini belum bisa dibuktikan kebenarannya. Legendanya memang ada, tapi data sejarah seperti piagam atau naskah mengenai makam belum bisa ditemukan," tukas Nurhadi.

    Jadi memang belum bisa dipastikan apakah nama-nama Radja Gentar Alam, Putri Kembang Dadar, Putri Rambut Selako, Panglima Bagus Kuning, Panglima Bagus Karang panglima Tuan Junjungan, Panglima Batu Api, dan Panglima Jago Lawang dahulu memang pernah ada dan dimakamkan di situ. Menurut Nurhadi, legenda itu barangkali saja ada dan dituturkan dari mulut ke mulut secara turun-temurun.

    "Sudah sejak lama pula Bukit Siguntang jadi tempat keramat dan hingga kini tetap dikeramatkan orang," ungkap magister bidang goegrafi yang dulu pernah bertugas di Balai Arkeologi Jogjakarta ini.

    Meski begitu, bukit ini tetap ramai dikunjungi para penziarah, dari yang sekedar mendoakan hingga minta "aneh-aneh". tidak terkecuali muda-mudi yang tetap enjoy berduaan, meskipun tempat ini dikenal angker dan dikeramatkan oleh warga Palembang.

    Saat ini, kata Nurhadi, objek sejarah ini lebih dimanfaatkan untuk wisata ziarah dan rekreasi dan belum maksimal ke wisata sejarah. Ia berharap objek Bukit Siguntang ini bisa lebih dikembangkan untuk kepentingan arkeologi. "Perlu dipublikasikan ke masyarakat bahwa ini tempat keramatnya Sriwijaya. Yang penting harus dipertahankan keberadaan lokasinya," pungkas Nurhadi.

    Sumatera Ekspres, Jumat, 4 Januari 2013


    Makam Radja Gentar Alam

    Makam Putri Rambut Selako

    Kewalahan Tertibkan Miras

    Pemkot Bakal Sidak 20 Usaha Modern



    Kewalahan Tertibkan Miras
    PALEMBANG -- Peredaran minuman keras (miras) berkadar alkohol di atas lima persen di Metropolis, masih marak. Ironinya, pemerintah kota melalui Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) kewalahan melakukan penertiban.

    Nah, fakta tersebut mendorong Satpol PP bekerja sama dengan Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi (Disperindakkop) melakukan sidak terhadap 20 usaha medern yang menjual miras. "Sasaran itu tadi, 20 usaha modern seperti mall, hotel, kafe, minimarket, restoran dan lainnya yang menjual miras berkadar alkohol di atas lima persen," kata Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Palembang kepada koran ini, kemarin.

    Menurut Ibnu, sidak dilakukan karena sepanjang 2012 banyak usaha modern terbuka yang menjual miras. Rencana sidak per triwulan dan berpegang pada Peraturan Daerah (Perda) No 11 Tahun 2006 tentang Pelarangan Peredaran Minuman Beralkohol. "Minuman yang dilarang itu,seperti Anggur Orang Tua, Vodka, Jack Daniel, Smirnof, dan berbagai merk miras lainnya," tukasnya.

    Sejauh ini kawasan yang paling dominan menjual miras yakni Sukarami, Ilir Timur (IT) I, dan Ilir Timur (IT) II. Namun begitu, sambung Ibnu, terdapat pengecualian terhadap usaha modern yang boleh menjual miras yakni hotel berbintang tiga ke atas. Lantaran mereka merupakan destination para turis asing menginap.

    Sedangkan untuk hotel bintang tiga ke bawah, karaoke keluarga dan hotel melati dilarang. Mereka hanya boleh menjual miras berkadar alkohol di bawah toleransi, lima persen. "Soal sanksi kita masih koordinasi dengan Satpol PP. Biasanya berupa pencabutan izin usaha dan sepanjang 2012 belum ada pencabutan."

    Aris Saputra. Kasat Pol PP membenarkan bahwa pihaknya mengalami kesulitan untuk melakukan penertiban terhadap penjual miras, khususnya tuak. Sebab, harganya memang murah dan sanksi yang diberikan hanya berupa pemusnahan atau pencabutan izin usaha.

    "Ini belum mampu memberi efek jera," jelasnya. Terbukti tiap kali razia, petugas selalu mendapati minuman-minuman terlarang di toko-toko kelontong, bahkan juga tersedia di toko-toko waralaba.

    Selain itu, peminat tuak memang sangat banyak. "Kami lakukan penertiban, besok mereka (penjual tuak, red) langsung minta disuplai kembali," bebernya seraya mengatakan para pelaku merupakan pemain lama yang paham terhadap peredaran bisnis ini.

    Parahnya, sambung Aris, suplai tuak (pembuat tuak) tersebut berasal dari luar Kota Palembang seperti Banyuasin, sehingga semakin sulit untuk melakukan penertiban. "April-Desember 2012 telah berhasil menyita 7 ribu botol miras dengan kadar alkohol di atas 5% dan 89 jerigen minuman tuak," tukasnya. (cj4/ce2)

    Sumatera Ekspres, Jumat, 4 Januari 2013