Monday 31 December 2012

Legenda Dewi Kwan Im

Dewi Kwan Im Seribu Tangan

Legenda Dewi Kwan Im

Jauh sebelum diperkenalkannya agama Buddha pada akhir Dinasti Han (tahun 25 - 228), Koan Im Pho Sat telah dikenal di Tiongkok purba dengan sebutanPek Ie Tai Su yaitu Dewi berjubah putih yang welas asih. Kemudian Beliau diketahui sebagai perwujudan dari Buddha Avalokitesvara.

Dalam perwujudannya sebagai pria, Beliau disebut Koan Sie Im Pho Sat. Didalam Sutra Suddharma Pundarika Sutra (Biauw Hoat Lien Hoa Keng) disebutkan ada 33 perwujudan atau penjelmaan Koan Im Pho Sat. Sedangkan dalam Maha Karuna Dharani (Tay Pi Ciu) ada 84 rupa yang berbeda sebagai pengejawantahan Koan Im Pho Sat sebagai Bodhisatva yang mempunyai kekuasaan besar. Altar utama di kuil Pho Jee Sie (Pho To San) di persembahkan kepada Koan Im Pho Sat dengan perwujudannya sebagai Buddha Vairocana, dan di sisi kiri/kanan berderet masing ke-16 perujudan Beliau lainnya.

Dikenal secara luas sebagai Dewi Welas Asih, yang dipuja tidak hanya terbatas di kalangan Budhis saja, tetapi juga di kalangan Tao dan semua lapisan masyarakat awam di pelbagai negara terutama di benua Asia.

Perwujudan Beliau di altar utama Kim Tek Ie adalah sebagai King Cee Koan Im (Koan Im membawa Sutra memberi pelajaran Buddha Dharma kepada umat manusia).

Disamping itu terdapat wujud Koan Im Pho Sat dalam Chien Chiu Koan Im (Koan Im Bertangan Seribu) sebagai perwujudan Beliau yang selalu bersedia mengabulkan permohonan perlindungan yang tulus dari umat-Nya. Memang pada awalnya pada tahun 1650, kelenteng ini didirikan oleh Luitnant Tiongkoa Kwee Hoen untuk Koan Im Pho Sat dengan nama Koan Im Teng (Paviliun Koan Im).

Pendampingnya yang setia adalah Kim Tong (Jejaka Emas) dan Giok Li(Gadis Kumala), atau yang biasa disebut Sian Cay & Liong Nio. Sebutan kepada Beliau yang lengkap adalah Tay Cu Tay Pi, Kiu Kho Kiu Lan, Kong Tay Ling Kam, Koan Im Sie Im Pho Sat.

Chien Chiu Koan Im (Koan Im Bertangan Seribu) atau kadang disebut juga Chien Shou Chien Yen Koan Im (Koan Im Bertangan Seribu & Bermata Seribu) merupakan salah satu bentuk Koan Im yang terkenal. Masing-masing tangan menggenggam benda pusaka keagamaan, antara lain bunga dan senjata penakluk iblis.

Dalam legenda dikisahkan, pada waktu beliau sedang dalam meditasi dan merenungkan tugasnya untuk menyelamatkan umat manusia, kepalanya tiba-tiba terbelah menjadi seribu keping, tepat pada saat beliau menyadari betapa berat dan besarnya hal yang dilakukan itu. Buddha Amitabha sebagai pembimbingnya cepat datang untuk menolong dan menghidupkan kembali Koan Im, serta memberikan kesaktian untuk berubah menjadi bentuk kepala seribu, mata seribu dan tangan seribu.

Di Kelenteng Pu Ning Si, Cheng De, Tiongkok Utara, yang terletak di dalam komplek Istana Kekaisaran untuk persinggahan musim panas, terdapat sebuah pratima Koan Im bertangan seribu yang terbuat dari pahatan kayu, yang merupakan pratima kayu terbesar di dunia. Patung ini tingginya 22 meter dan dibuat pada tahun 1755.

Saturday 8 December 2012

Kegaiban di Makam Keramat Bukit Siguntang

Kegaiban di Makam Keramat Bukit Siguntang

Siguntang adalah tempat bersejarah di Kota Palembang di zaman Sriwijaya menjadi tempat bersejarah penganut Agama Budha. Daerah ini terletak 4 KM dari Kota Palembang dengan ketinggian 27 meter dari permukaan laut, yang bertempat di Kelurahan Bukit Lama. Tempat ini sampai sekarang masih tetap dikeramatkan.

Pengalaman dari anggota Paguyuban Olah Spiritual dan Kebatinan Kusuma Sejati, Sebut saja namanya Arieo, yang suka dengan kegaiban, sebelum masuk atau menjadi keanggotaan Paguyuban, rasa penasaran Arieo terhadap mahluk gaib atau alam gaib sangat kuat, karena sering kali merasakan sesuatu keganjilan yg sering dia hadapi.

Setelah bergabung Arieo semakin giat belajar dan terus berusaha bagaimana mata ketiganya harus terbuka atau sering kali disebut dengan indera keenam. Setelah beberapa hari, Arieo melatih indera keenam, kepekaannyapun semakin kuat.

Dari hasil bincang-bincang Palembang Pos bersama Arieo, dirinya sudah lama mendalami dunia supranatural. Dan menurut dia, tempat yang enak untuk bermeditasi yakni di Bukit Siguntang.

“Di Bukit Siguntang tempatnya masih asri dan keangkerannya sangat kuat, sangat cocok untuk menguji mental,” ujar Arieo. Dari hasil meditasi Arieo, Bukit Siguntang sangat baik untuk melatih kepekaan indera keenamnya.

Awalnya Arieo merasakan ketakutan untuk meditasi di Bukit Siguntang, akan tetapi dorongan hatinya sangat kuat untuk mengetahui apa saja yang ada di Bukit Siguntang. Dengan khusyu’nya Arieo pun bermeditasi di sebelah Makam Radja Sigentar Alam.

Setelah mencapai ketenangan batinnya, Arieo melihat sesosok makhluk besar dan tampan serta gagah menggunakan mahkota yang berkilau keemasan dan baju kebesaran. Dalam batinnya ingin bertanya kepadanya, tuan siapa? akan tetapi dia hanya menjawab dengan khas senyumannya yang penuh dengan kasih dan sayang seorang radja.

“Dalam batin apakah ini namanya Radja kami seorang pemimpin besar yang mempimpin Kerajaan Sriwijaya yang besar ini. Setelah beberapa menit berlalu, secara bergantian saya didatangi punggawa-punggawa Kerajaan Sriwijaya. Wah, ini benar-benar sebuah pengalaman yang mengesankan di Bukit Siguntang,” terangnya.

Selain itu, masih banyak lagi pengalaman yang dirasakannya pada saat melatih indera keenam di Bukit Siguntang. Bahkan, kata dia, seandainya ada kesempatan lagi dirinya akan melakukan meditasi kembali disana untuk mendalami supranatural yang lain.

Nah, apakah pengalaman Arieo ini membuat anda tertarik untuk mengaktifkan indera keenam yang ada pada diri anda? Agar dapat membantu diri anda pribadi dan orang lain, syaratnya tidak susah hanya mendaftarkan diri anda serta membawa fotocopy KTP dan pas foto untuk keanggotaan dan data-data serta membayar administrasi. (*)

Palembang Post, 07 Agustus 2012

Kegaiban di Makam Keramat Bukit SiguntangKegaiban di Makam Keramat Bukit Siguntang

Saturday 1 December 2012

Peta Prasasti dan Arca Sriwijaya

Oleh : Syamsul Noor Al-Sajidi

Prasasti merupakan sumber sejarah tulisan berupa benda atau artefak yang berbentuk tiga dimensional, seperti batu, logam, kayu, dan lain-lain. Berita mengenai kerajaan Sriwijaya mulai dikenal dan semakin populer sejak ditemukannya beberapa prasasti yang umumnya berasal dari abad ke-7 Masehi.

Menurut arkeolog Bambang Budi Utomo, prasasti-prasasti yang ditemukan di wilayah Sumatra bagian selatan/tenggara berkisar 31 prasasti yang sebagian besar berasal dari masa Sriwijaya. Prasasti yang berasal dari abad k-7 Masehi berjumlah 25 buah. Isinya berkenaan dengan persumpahan dan siddhayatra (perjalanan suci). Sebagian besar prasasti tersebut ditemukan di wilayah Palembang saat ini, yakni 23 buah prasasti, termasuk Prasasti Kedukan Bukit, Talang Tuwo, Telaga Batu, dan Boom Baru. Beberapa prasasti itu, antara lain

Prasasti Kedukan Bukit Prasasti Kedukan Bukit ditemukan pada akhir 29 November 1920 di kebun pak H. Jahri, tepi sungai Tatang, desa Kedukan Bukit di kaki Bukit Siguntang yang letaknya di sebelah barat daya Palembang, Sumatra Selatan saat ini. Prasasti itu dikenali oleh seorang kontrolir Belanda yang penggemar sejarah, Batenburg, yang kemudian melaporkan penemuan itu ke Dinas Purbakala (Oudheidkundigen Dienst).

Prasasti yang berbentuk bulat-telur tersebut merupakan prasasti tertua dari masa Sriwijaya dengan angka tahun 604 Saka atau 682 M (tahun Saka dikonversi dengan tahun Masehi ditambah 78 tahun), terbuat dari batu andesit dengan ukuran panjang batu lebih-kurang 42 cm dan kelilingnya 80 cm. Sekarang, prasasti yang terdiri dari sepuluh baris, ditulis dengan huruf Pallawa, dan berbahasa Melayu Kuno ini disimpan di Museum Nasional Jakarta.

Prasasti Talang Tuwo
Prasasti Talang Tuwo ditemukan di sekitar muara sungai Lambidaro dan ujung sungai Sekanak, desa Talang Tuwo (sekarang masuk Kecamatan Talang Kelapa) pada 17 November 1920 oleh L.C. Westenenk, pejabat Belanda yang bertugas di Palembang. Desa ini termasuk dalam kawasan Gandus, di sebelah barat Palembang. Prasasti yang terdiri dari 14 baris ini berhuruf Pallawa, berbahasa Melayu Kuno, dan berangka tahun 606 Saka (684 M). Prasasti yang berbentuk persegi empat (jajaran genjang) ini sekarang disimpan juga di Museum Nasional Jakarta.

Prasasti Telaga Batu
Prasasti Telaga Batu ditemukan pada tahun 1935 di sekitar Danau Telaga Biru, dekat Sabokingking 2 Ilir, Palembang tidak berangka tahun. Prasasti yang dihiasi gambar kepala ular kobra berkepala tujuh ini tediri dari 28 baris. Menurut F.M Schnitger prasasti ini berasal dari abad ke-9 Masehi atau ke-10 Masehi, tetapi menurut J.G. de Casparis prasasti ini berasal dari pertengahan abad ke-7 Masehi.

Bentuk (rupa) prasasti ini dibandingkan dengan prasasti lain dinilai paling artistik dan indah, berbentuk telapak kaki, menunjukkan masyarakat Sriwijaya telah memiliki seniman patung yang mumpuni. Di lokasi situs ini juga ditemukan batu yang bertuliskan sidhayatra (perjalanan kemenangan atau suci). Diperkirakan tempat ini merupakan suatu tempat berziarah yang penting ketika itu.

Dilihat dari perupaan Prasasti Telaga Batu ini, yang tampak adalah tujuh kepala ular kobra dan pada bagian bawah prasasti terdapat bentuk rel atau saluran yang simetris antara kiri dengan kanan dan bertemu di bagian tengahnya seperti pancuran air. Dari bentuk dan perupaan pancuran itu menggambarkan dua alat kelamin sekaligus (hermaprodit), yang bila dihubungkan dengan kosmologi mistis merupakan simbol kesuburan. Prasasti ini adalah satu-satunya prasasti Sriwijaya yang bukan hanya berisi tulisan, tetapi juga terdapat bentuk atau image. Ketujuh kepala ular kobra yang ada pada bagian atas prasasti dapat diinterpretasikan sebagai upaya raja Sriwijaya untuk menjaga agar isi atau teks prasasti yang dipahatkan itu tetap dipatuhi. Sekarang ini, prasasti yang berbahasa Melayu Kuno dan berhuruf Pallawa ini, disimpan di Museum Nasional, Jakarta.

Prasasti Kota Kapur
Prasasti ini ditemukan pada Desember 1892 di lahan yang dikelilingi benteng tanah di tepi sungai Mendo, desa Kota Kapur, sebelum desa Penagan, Kecamatan Mendo Barat, Kabupaten Bangka. Prasasti Sriwijaya yang berangka tahun 686 M ini, tingginya 150 cm. Berisi teks yang terdiri dari 10 baris, berhuruf Pallawa, dan berbahasa Melayu Kuno. Sekarang prasasti ini disimpan di Museum Nasional, Jakarta.

Prasasti Kota Kapur ini bila dilihat secara perupaan sangat berbeda dengan prasasti-prasasti Sriwijaya lainnya, karena bentuk prasasti ini vertikal menyerupai menhir pada masa tradisi megalitik.

Prasasti Palas Pasemah
Prasasti ini ditemukan di tepi Way Pisang, Kabupaten Lampung Selatan pada tahun 1957. Sampai sekarang, prasasti ini masih terletak di daerah ini (in situ). Prasasti berbentuk setengah bulat-lonjong ini berhuruf Pallawa dan berbahasa Jawa Kuno, tidak memuat angka tahun. Berdasarkan palaeografi (ilmu tentang tulisan kuno), prasasti ini diduga berasal dari sekitar abad ke-7 Masehi. Prasasti Palas Pasemah terdiri dari 13 baris hampir sama dengan Prasasti Karang Brahi dan Kota Kapur, memuat kutukan bagi mereka yang tidak taat kepada raja Sriwijaya.

Prasasti Boom Baru
Prasasti ini ditemukan pada bulan April 1992 oleh penggali pasir yang bernama Rizal di pinggir sungai Musi, depan Pemakaman Kawah Tekurep (pemakaman Kesultanan Palembang), Jalan Blabak, 3 Ilir, kawasan Pelabuhan Boom Baru, Palembang. Rizal adalah teman Aminta, pegawai Museum Balaputra Dewa, yang melaporkan penemuan benda bersejarah itu kepada Kepala Museum Balaputra Dewa, Syamsir Alam, sehingga prasasti itu dapat diselamatkan. Diduga situs Kawah Tekurep sebelum dijadikan pemakaman keluarga Kesultanan Palembang, merupakan situs kerajaan Sriwijaya.

Prasasti itu, waktu ditemukan kondisinya dalam keadaan pecah dua, merupakan sebongkah batu kali yang berbentuk bulat-lonjong berwarna kemerah-merahan dengan tinggi 47 cm dan lebar 32,5 cm. Berdasarkan palaeografinya, prasasti ini diperkirakan berasal dari sekitar abad ke-7 Masehi, berhuruf Pallawa, dan berbahasa Melayu Kuno. Prasasti ini disimpan di Museum Negeri Balaputra Dewa, Provinsi Sumatra Selatan.

Prasasi Karang Berahi
Prasasti yang ditemukan tahun 1904 oleh Berkhout ini tidak berangka tahun dan merupakan satu-satunya Prasasti Sriwijaya yang ditemukan di Provinsi Jambi, tepatnya di tepi Sungai Merangin.

Seperti prasasti Sriwijaya lain, prasasti berbentuk setengah bulat-lonjong ini juga berhuruf Palllawa dan berbahasa Melayu Kuno. Prasasti yang berasal dari kira-kira abad ke-7 Masehi ini, terdiri dari 16 baris, mirip dengan Prasasti Kota Kapur, tetapi tidak memuat tentang penyerangan oleh tentara Sriwijaya.

Prasasti Ligor
Di daerah Ligor di Semenanjung Tanah Melayu, ditemukan sebuah prasasti berangka tahun 775 M yang ditulis pada dua belah sisi. Tulisan pada sisi A disebut Prasasti Ligor A memuat keterangan raja Sriwijaya.. Tulisan pada sisi B disebut Prasasti Ligor B menyebut seorang raja bernama Wisnu yang bergelar Sarwarimadawimathana.. Baik Prasasti Ligor A maupun Prasasti Ligor B ditulis dalam bahasa Sanskerta. Prasasti ini menyebutkan tentang ibukota Ligor sebagai wilayah kekuasaan Sriwijaya untuk mengawasi pelayaran perdagangan di Selat Malaka.

Prasasti Nalanda
Prasati ini ditemukan di Nalanda, India bagian timur (Negara Bagian Bihar). Prasasti ini tidak berangka tahun, namun diduga berasal dari abad ke-9 Masehi dan berbahasa Sanskerta. Isinya tentang pendirian bangunan biara di Nalanda oleh raja Balaputra Dewa, raja Sriwijaya yang beragama Budha. Selain itu disebutkan juga kakek raja Balaputra Dewa yang dikenal sebagai raja Jawa yang bergelar Syailendrawamsatilaka Sri Wirawairimathana (Permata Syailendra Pembunuh Musuh-musuh yang Gagah Perwira).

Selain itu, disebutkan juga bahwa raja Nalanda yang bernama Dewapaladewa, berkenan membebaskan 5 desa dari pajak untuk membiayai para pelajar Sriwijaya yang belajar di Nalanda.

Prasasti Bungkuk (Jabung)
Prasasti ini ditemukan pada tahun 1985 di desa Bungkuk, Kecamatan Jabung, Kabupaten Lampung Tengah. Prasasti ini tidak berangka tahun, berdasarkan palaeografi, diperkirakan prasasti ini satu zaman dengan prasasti Sriwijaya lainnya. Isi teksnya juga memuat kutukan atau sumpah dan menggunakan bahasa yang berbeda dari bahasa Melayu Kuno biasa.

Prasasti Kambang Unglen 1
Sebuah pecahan atau fragmen prasasti batu berwarna kuning keputihan, panjang 36 cm, lebar 22 cm dan tebal 9,5 cm. Ditemukan pada 22 September 1987 di Kambang Unglen, Kota Palembang (dekat Bukit Siguntang). Fragmen Prasasti batu itu dipahat dengan beberapa baris tulisan, sebuah di antaranya berukuran panjang 27 cm dan tinggi huruf 3 cm. Sayang sekali tulisan tipe Sriwijaya itu sudah aus. Tulisan yang masih dapat dibaca berbunyi ... jaya siddhayatra sarwastwa (... perjalanan suci (ziarah) yang menang dan sukses bagi semua mahluk). Kalimat itu dapat dibandingkan dengan kalimat terakhir Prasasti Kedukan Bukit (682 M) yang berbunyi ... Sriwijaya jaya siddayatra subhiksa ni (t) yakala (... Sriwijaya yang menang dalam perjalanan suci yang berhasil, makmur melimpah senantiasa). Prasasti ini disimpan di ruang pameran Museum Balaputra Dewa, Palembang.

Prasasti Kambang Unglen 2
Fragmen prasasti yang ditemukan di halaman sekolah SMP PGRI VII, Kambang Unglen, Ilir Barat I, Palembang, Sumatra Selatan. Fragmen ini berukuran 12 x 13 cm, dengan huruf berukuran 1,5 x 2 cm. Dari keempat baris prasasti yang masih terlihat, yang masih mungkin terbaca, hanya tiga baris saja walaupun agak sulit.

Prasasti yang terbuat dari batu berwarna merah kekuningan ini, berdasarkan bentuk-bentuk hurufnya, diperkirakan berasal dari masa Sriwijaya (abad ke-7 Masehi), berbahasa Melayu Kuno. Isi prasasti ini sendiri masih sulit untuk diketahui, dikarenakan huruf-hurufnya yang sudah tidak jelas. Prasasti Kambang Unglen 2 juga disimpan di ruang pameran Museum Balaputra Dewa, Palembang.

Secara umum, dapat dikatakan bahwa prasasti-prasasti Sriwijaya adalah prasasti kutukan, karena dari prasasti-prasasti Sriwijaya yang telah disebutkan, lima di antaranya merupakan prasasti kutukan.

Prasasti-prasasti Sriwijaya di atas, seperti Prasasti Kedukan Bukit cenderung membulat, Prasasti Talang Tuwo cenderung segi empat miring (trapesium), Prasasti Telaga Batu berbentuk tapal kuda, Prasasti Boom Baru cenderung berbentuk bulat telur (elips), serta Prasasti Palas Pasemah dan Prasasti Karang Berahi cenderung berbentuk setengah lingkaran (tapal kuda). Bentuk prasasti yang beragam tersebut, karena bongkah-bongkah batu yang dijadikan prasasti tersebut diperkirakan media batunya tidak didatangkan dari tempat lain, tetapi memang sudah tersedia di lokasinya masing-masing (nonmobile art).

Selain prasasti, artefak sumber sejarah Sriwijaya adalah arca. Arca adalah sarana yang penting bagi kehidupan keagamaan Hindu-Budha, karena merupakan salah satu media dalam pemujaan kepada dewa.

Menurut Bambang Budi Utomo, berdasarkan data inventarisasi arca logam dan batu yang ditemukan di Sumatra jumlahnya 116 buah arca, sebagian besar ditemukan di wilayah Sumatra bagian selatan, yakni sekitar 65 buah arca. Sedangkan arca yang ditemukan di Sumatra bagian tengah berjumlah 29 buah arca, ditemukan di Sumatra bagian utara berjumlah 17 buah arca, dan ditemukan di Kota Kapur, Bangka berjumlah 4 buah arca. Arca-arca ini ada yang sudah selesai dikerjakan dan ada yang belum selesai, namun pada bagian tertentu sudah mencirikan gaya seninya. Arca-arca yang berlanggam Syailendra (abad ke-8 dan ke-9 Masehi) sebagian besar ditemukan di wilayah Sumatra bagian selatan berjumlah 21 buah arca dan ditemukan di Sumatra bagian tengah berjumlah 12 buah arca. Data tersebut menunjukkan kejayaan pengaruh kejayaan seni Syailendra ketika Sriwijaya sedang mencapai puncak kejayaannya.

Arca yang ditemukan di sekitar Palembang tidak hanya meliputi arca-arca Budha saja, tetapi juga arca Hindu. Ini membuktikan bahwa meskipun Sriwijaya merupakan salah satu dari pusat studi agama Budha, tetapi tetap ada kerukunan dalam kehidupan beragama. Beberapa arca-arca Sriwijaya itu di antaranya adalah sebagai berikut:

Arca Budha, dari Bukit Siguntang, Palembang
Arca ini merupakan arca terbesar yang berasal dari masa Sriwijaya, tingginya sekitar 3 meter. Arca bersikap berdiri ini digambarkan memakai jubah transparan yang menutupi kedua bahunya. Ciri-cirinya menunjukkan gaya Amarawati, yang berkembang di India Selatan pada abad ke-2 sampai ke-5 Masehi, tetapi masih berkembang di Srilanka sampai abad ke-8 Masehi. Jadi, diperkirakan arca Budha Bukit Siguntang ini berasal dari sekitar abad ke-7 sampai ke-8 Masehi. Arca ini sekarang diletakkan di halaman Museum Sultan Mahmud Badaruddin II, Palembang.

Arca Ganesha, dari Jalan Mayor Ruslan (Pagaralam), Palembang Arca ini ditemukan di area Jalan Mayor Ruslan, Palembang. Jalan yang sebelumnya bernama Lorong Pagaralam di dekat sungai Bendungan yang bermuara ke sungai Musi.

Arca ini mempunyai hiasan-hiasan yang mirip arca Jawa Tengah, tetapi cara duduknya (kaki kanan dilipat ke atas) seperti arca-arca India Selatan. Tampaknya banyak pengaruh India Selatan pada arca Sriwijaya yang satu ini. Arca ini sekarang diletakkan di halaman.

Arca Budha, dari Tingkip, Musirawas
Arca yang ditemukan di Tingkip, Musirawas pada tahun 1980, berdiri di atas padmasana (lapik yang berbentuk bunga teratai), kedua tangan diangkat ke atas dengan sikap witarkamudra (sikap Budha mengajarkan dharma atau ajaran agama). Jubahnya yang transparan menutup kedua bahu. Tampaknya arca ini termasuk ke dalam kelompok gaya pra-Angkor yang berkembang pada sekitar abad ke-6 dan ke-7 Masehi, atau gaya Dwarawati (Thailand) yang berkembang pada sekitar abad ke-6 sampai ke-9 Masehi. Arca ini disimpan di Museum Balaputra Dewa, Palembang.

Arca Awalokiteswara, dari Bingin, Musirawas
Ditemukan di Bingin, Kabupaten Musirawas ini merupakan contoh arca Budha yang berasal dari sekitar abad ke-8 Masehi. Cirinya yang menarik adalah tampak pada arca Amithaba dan mahkotanya, kainnya ditutup dengan kulit rusa pada bagian pinggulnya. Pada bagian belakang arca terdapat inskripsi yang berbunyi dang acaryya syuta (gelar pendeta Budha).

Arca Wisnu, dari Kota Kapur, Bangka
Di Kota Kapur, Bangka, ditemukan struktur bangunan dari batu putih. Di antara runtuhan fondasi candi terdapat fragmen beberapa arca Wisnu. Diperkirakan fragmen tersebut berasal dari setidak-tidaknya 3 buah arca Wisnu. Diduga arca-arca ini berasal dari sekitar abad ke-6 sampai ke-7 Masehi.

Semua arca Wisnu ini mempunyai ciri yang sama, yaitu bentuk mahkota seperti silinder, seperti pada arca Wisnu di Khmer dari masa pra-Angkor. Hiasannya sederhana, kain panjangnya sampai di bawah lutut, berhias pola garis lengkung, bertangan empat, hanya sayang sudah patah. Pada beberapa fragmen tangan tampak ada yang memegang padma (bunga teratai). Di belakang kepala ada sandaran melengkung yang sudah patah, rambut ikal terurai tampak menutup leher belakang, di atas bahu. Semua temuan arca Kota Kapur disimpan di Balai Arkeologi Palembang.

Arca Awalokiteswara, dari Sarang Waty, Lemahabang (Lemabang), Palembang
Arca ini ditemukan tahun 1959 tepatnya di halaman belakang rumah yang bertuliskan Sarang Waty (Rumah Waty) milik Basaruddin Itjo yang terletak di pertemuan Jalan Bambang Utoyo No. 1A dengan Jalan Pendawa, Lemabang, Palembang. Saat ini (2008), arca yang pernah dicuri sampai ke Jambi tapi telah dikembalikan lagi, telah dipindahkan dari halaman belakang rumah ke samping rumah itu.

Bersama dengan arca ini juga ditemukan ratusan stupika tanah liat yang berwarna putih. Tampaknya arca ini belum selesai dibuat, karena belum memakai perhiasan, hanya pada mahkotanya terdapat arca amithaba. Arca ini diduga berasal dari sekitar abad ke-8 dan ke-9 Masehi.

Arca Perunggu Maitreya, Budha, dan Awalokiteswara dari Komering Ketiga arca ini ditemukan di Sungai Komering. Berasal dari sekitar abad ke-9 Masehi. Ketiga arca menunjukkan gaya seni Jawa Tengah. Arca ini disimpan di Museum Nasional, Jakarta.

Arca Siwa Mahadewa, Perunggu, dari Palembang
Arca ini ditemukan di Palembang. Pahatannya menunjukkan gaya seni Jawa Tengah pada abad ke-8 sampai ke-9 Masehi. Arca ini masih lengkap, memiliki 4 tangan, kedua tangan belakang memegang sebuah tasbih dan camara (alat untuk menghalau lalat), sedangkan tangan kanan depan dalam sikap witarka mudra, tangan kiri depan memegang sebuah kendi.

Arca memakai upawita (selempang yang melintang dari bahu kiri ke kanan) ular, gelang bahu, gelang tangan, sebuah kalung, dan hiasan telinga. Pada mahkotanya terdapat tengkorak dan bulan sabit (di sisi kiri) dan kainnya berhias lipatan-lipatan halus. Sehelai kain harimau menutupinya hingga ke atas pinggangnya. Arca ini disimpan di Museum Nasional, Jakarta.

Arca Siwa Mahadewa, dari Tanah Abang, Muaraenim
Arca yang sudah pecah pada bagian kepala dan sandaran atas ini mungkin menggambarkan Siwa Mahadewa. Badan arca ini sama dengan semua arca dari Candi I Tanah Abang, yaitu dari batu putih (batu kapur).

Arca ini digambarkan duduk bersila di atas padmasana, bertangan 4, tangan kanan belakangnya memegang pisau bertangan panjang, tangan kiri belakang memegang tasbih. Semua arca Candi I Tanah Abang, memakai perhiasan berupa jamang, hiasan telinga, kalung, gelang lengan, gelang, dan gelang kaki. Gaya pahatan dan cirinya menunjukkan masa Jawa Timur awal sekitar abad ke-12 Masehi.

Arca Siwa Mahaguru, dari Muaraenim
Temuan dari Candi I Tanah Abang yang lain adalah arca Siwa Mahayana yang mukanya sudah aus dan sandaran bagian kanan telah hilang. Tapi masih lengkap bagian badannya. Bertangan dua, tangan kanan memegang tasbih, tangan kiri memegang kendi (komandalu). Kainnya polos, transparan, panjangnya sampai betis, sampurnya memakai simpul pita yang indah.

Arca berdiri di atas padmasana yang permukaannya dihias dengan pola biji teratai. Perhiasannya seperti arca yang lain, terdiri dari jamang, hiasan telinga, kalung, gelang lengan, gelang, dan gelang kaki. Memakai selempang dada dan uncal yang panjangnya sampai lutut.

Arca Leluhur I, dari Muaraenim
Arca laki-laki ini digolongkan ke dalam kelompok arca leluhur atau arca yang merupakan perwujudan seseorang, jadi bukan menggambarkan dewa. Ini didasarkan atas tidak adanya atribut tertentu yang dapat menjadikan penentu sebagai arca dewa.

Arca ini digambarkan duduk bersila di atas padmasana, bertangan dua, kedua tangan terletak di atas pangkuan, di telapak tangannya terdapat bunga padma mekar. Rambut ikal di kedua bahunya memperkuat dugaan arca ini mempunyai gaya Jawa Timur. Di sekeliling tepi sandaran terdapat hiasan lidah api.

Arca Leluhur II, dari Muaraenim
Seperti juga arca Leluhur I, arca Leluhur II tidak mempunyai atribut tertentu yang menunjukkan identitas kedewaannya. Arca ini duduk bersila di atas lapik polos, kedua tangannya di atas pangkuan, di telapak tangannya terdapat benda bundar, mungkin menggambarkan bunga mekar. Berbeda dengan arca Leluhur I, arca ini digambarkan berbadan gemuk, terutama pada bagian perut, seperti pada perut Agastya atau Ganesha. Arca ini juga termasuk arca dengan gaya Jawa Timur.

Arca Nandi, dari Muaraenim
Selain 4 arca tokoh dewa dan leluhur, di Candi I Tanah Abang juga ditemukan arca nandi, yaitu wahana (hewan sapi tunggangan dewa Siwa). Arca nandi ini digambarkan duduk dengan kedua kaki depan dilipat ke belakang, memakai kalung dengan bandul genta-genta kecil dan hiasan untaian manik-manik mengikat moncongnya. Gaya seninya mirip dengan gaya seni kerajaan Singasari dari abad ke-13 Masehi.

Stambha, dari Palembang
Artefak ini disebut stambha, sejenis tiang, karena bentuknya mirip demikian, hanya terdiri dari beberapa mahluk, yang saling menunggangi. Yang paling bawah adalah gajah, kemudian raksasa atau ghana, dan paling atas singa.

Berbeda dengan arca-arca yang lain yang dibuat dari batu kapur, stambha ini dibuat dari andesit. Pola gajah dan singa ini merupakan pola yang populer, terutama di daerah India Timur pada abad ke-10 sampai ke-12 Masehi. Semua arca dari Candi I Tanah Abang masih in situ.

Selain artefak dalam bentuk arca-arca, artefak Sriwijaya lain, ditemukan dalam bentuk keramik, porselin, dan manik-manik yang juga banyak ditemukan di daerah Palembang.

* * * * * * * * * * * * * * * * * * * *



Dikutip dan disarikan dari buku Kerajaan Sriwijaya yang disusun oleh Erwan Suryanegara bin Asnawi Jayanegara, diterbitkan kali pertama oleh Dinas Pendidikan Nasional Provinsi Sumatra Selatan




--------------------

Berita Musi

Pesona Bumi Pasemah

Oleh: FLORENCIA MARCELINA RAMADHONA

Kota Pagaralam, Sumatra Selatan menyimpan sejuta panorama yang memanjakan mata. Tak pernah merasa cukup waktu untuk mengunjungi setiap tempat wisata dikota ini. Tak begitu besar memang kota ini, namun begitu banyak tempat wisata yang asik untuk dikunjungi.

Untuk wisatawan dari Palembang, bisa melaju ke Pagaralam dengan menggunakan jasa angkutan bus atau travel. Dengan mengeluarkan kocek 35 ribu anda sudah bisa sampai di Pagaralam dengan menggunakan bus yang berangkat dari terminal Karyajaya. Atau dengan menggunakan travel, anda harus mengeluarkan kocek berkisar 70-90 ribu. Setelah sampai di Pagaralam anda bisa menginap di villa yang terletak di kawasan pegunungan villa yang disewakan berkisar 200-450 ribu sesuai fasilitas yang ada.

Sebagai kota yang memiliki wisata air terjun terbanyak di Indonesia yang mencapai 30an air terjun, bisa dibilang sudah menjadi kewajiban bagi anda untuk mengunjungi salah satu air terjun nya bila berwisata disini.

Wednesday 28 November 2012

Upaya Menghadapi Serangan Belanda Pada Pertempuran 5 Hari 5 Malam di Palembang

Upaya Menghadapi Serangan Belanda Pada Pertempuran 5 Hari 5 Malam di Palembang

Pengantar

Palembang merupakan kota yang strategis di Sumatera Selatan. Sebagai kota tua, Palembang banyak menyimpan sejarah perjuangan rakyat. Keberadaan Palembang yang dibagi oleh Sungai Musi menambah eksotismenya. Ciri khas Kota Palembang sebagai kota yang sangat didominasi oleh air, bahkan oleh Belanda sebelum Perang Dunia II, pernah dipromosikan sebagai "Venetie van het Verre Oasten" atau "Venesia dari Timur Jauh." Kekayaan alam Sumatera Selatan menjadi kebanggaan sekaligus ancaman dari bangsa asing.

Setelah Perang Dunia II, Sekutu membonceng NICA ke Indonesia dengan maksud agar Belanda dapat kembali menguasai Indonesia. Konflik RI dan Belanda semakin menimbulkan ketegangan. Para pasukan RI, laskar dan rakyat berusaha mempertahankan Kemerdekaan yang telah dicapai pada 17 Agustus 1945. Usaha untuk mencapai kepentingan Belanda berlanjut dengan pertempuran besar. Pertempuran besar yang menentukan antara lain Bandung Lautan Api, Pertempuran Ambarawa, Medan Area, Puputan Margarana dan lain-lain. Di Sumatera Selatan pun terjadi pertempuran besar yang dikenal dengan Pertempuran Lima Hari Lima Malam di Palembang. Pertempuran ini terjadi pada tanggal 1 hingga 5 Januari 1947.

Pertempuran Lima Hari Lima Malam di Palembang merupakan perang tiga matra yang pertama kali kita alami, begitu pula pihak Belanda. Perang tersebut terjadi melibatkan kekuatan darat, laut, dan udara. Belanda sangat berkepentingan untuk menguasai Palembang secara total karena tinjauan Belanda terhadap Palembang dari aspek politik. ekonomi dan militer. Dalam aspek politik, Belanda berusaha untuk menguasai Palembang karena ingin membuktikan kepada dunia internasional bahwa mereka benar-benar telah menguasai Jawa dan Sumatera. Ditinjau dari aspek ekonomi berarti jika Kota Palembang dikuasai sepenuhnya maka berarti juga dapat menguasai tempat penyulingan minyak di Plaju dan Sei Gerong. Selain itu, dapat pula perdagangan karet dan hasil bumi lainnya untuk tujuan ekspor. Sedangkan jika ditinjau dari segi militer, sebenarnya Paskan TRI dan pejuang yang dikonsentrasikan di Kota Palembang merupakan pasukan yang relatif mempunyai persenjataan yang terkuat, jika dibandingkan dengan pasukan-pasukan di luar kota. Oleh karena itu, jika Belanda berhasil menguasai Kota Palembang secara total, maka akan mempermudah gerakan operasi militer mereka ke daerah-daerah pedalaman.

Peranan rakyat sangat besar dalam Pertempuran Lima Hari Lima Malam. Motivasinya perjuangan rakyat Indonesia umumnya dan khususnya para pejuang di daerah Sumatera Selatan yakni adanya "sense to be a nation," rasa harga diri sebagai suatu bangsa yang telah merdeka. Semboyan "Merdeka atau Mati" yang berkumandang semasa periode Perang Kemerdekaan adalah wujud usaha untuk menjaga agar tetap berdirinya Negara Republik Indonesia.

Provokasi Belanda


Daerah Keresidenan Palembang pada masa-masa menjelang Pertempuran Lima Hari Lima Malam memiliki keunikan tersendiri, bila dibandingkan dengan daerah-daerah Indonesia lainnya yang telah diduduki oleh Sekutu (NICA), seperti Medan, Padang, Jakarta, Bandung, dan lain-lainnya, yang masih terdapat pemerintahan RI lengkap dengan pasukan, karena keberhasilan diplomasi yang dilakukan oleh kepala pemerintah setempat. Setelah Belanda menggantikan Inggris di Palembang pada 24 Oktober 1946, Kolonel Mollinger menjadi Komandan territorial Belanda untuk Sumatera Selatan (Palembang, Lampung, Bangka, dan jambi). Penyerahan pendudukan Inggris kepada Belanda berlangsung pada 7 November 1946. Setelah menggantikan Inggris, Belanda menuntut garis demarkasi yang lebih jauh. Untuk mencegah timbulnya insiden dilakukanlah perundingan antara pihak Belanda dan RI pada November 1946.

Hal terpenting dari perundingan itu antara lain tentara Belanda tidak akan memperluas atau melewati batas daerah yang diserahkan kepadanya oleh Inggris dan akan memelihara status quo. Sementara itu di Palembang mulai dilakukan pengembangan kekuatan militer oleh Pasukan TRI, sedangkan pihak Belanda giat menyusun posisi dan memperkuat pasukannya di Palembang.

Pada bulan Desember 1946, pihak Belanda telah menyusun pasukan-pasukannya di Kota Palembang dan sekitarnya. Kapal-kapal perang Belanda mulai melakukan pencegahan terhadap lalu lintas pelayaran antara Palembang - Lampung - Jambi - Singapura, yang bertujuan untuk mengadakan blokade ekonomi dan militer. Blokade bertujuan agar hubungan timbal balik antara Jambi, Lampung, Palembang dan Singapura terputus sehingga hasil bumi, barang kebutuhan hidup dan senjata tidak dapat diimpor dan diseludupkan dari Singapura. Dr. A.K. Gani melakukan kegiatan menembus blokade tersebut untuk memperkuat perjuangan sehingga dia dijuluki "The biggest smuggler of South East."

Panglima Komando Sumatera, Jendral Mayor Suharjo Harjowardoyo mengeluarkan Perintah Harian lewat corong Radio Republik Indonesia di Palembang pada akhir Desember 1946 yang ditujukan kepada pasukan-pasukan RI di daerah pendudukan Belanda di Medan, Padang dan terutama yang di Palembang untuk selalu siap siaga dan waspada menunggu instruksi dari pemerintah pusat.

Pada tanggal 28 Desember 1946, seorang anggota Lasykar Napindo bernama Nungcik ditembak mati karena melewati pos pasukan Belanda di Benteng. Malam harinya Belanda melanggar garis demargasi yang telah ditentukan. Dua buah jeep yang dikendarai oleh pasukan Belanda dari Talang Semut melewati Jalan Merdeka, Jalan Tengkuruk (sekarang jalan Sudirman). Rumah Sakit Charitas sambil melepaskan tembakan-tembakan yang membabibuta. Pancingan itu mendapatkan jawaban dari pasukan RI. Meletuslah pertempuran yang berlangsung sekitar 13 jam lamanya. situasi Palembang dalam kondisi cease fir. Insiden ini menunjukkan akan meletusnya perang yang lebih besar, karena Belanda berusaha meningkatkan pertahanannya.

Upaya Menghadapi Serangan Belanda Pada Pertempuran 5 Hari 5 Malam di Palembang Penghentian tembakan-tembakan tersebut tidaklah berlangsung lama, Belanda kembali melanggar kesepakatan pada 29 Desember 1946, berupa terjadi penembakan terhadap Letnan Satu A. Riva'i, Komandan Divisi Dua, yang mengendarai sepeda motor Harley Davidson saat sedang melakukan inspeksi kepada pasukan-pasukan dan pos-pos pertahanan TRI-Subkoss/Lasykar. Ketika melintas di depan Charitas, ia ditembak dengan senjata otomatis oleh pasukan Belanda yang berada di Charitas. Letnan Satu A. Riva'i berhasil menyelamatkan diri walaupun tembakan itu tepat mengenai perutnya.

Provokasi Belanda terus terjadi pada tanggal 31 Desember 1946 menyebabkan insiden dengan pihak TRI yang sifatnya sporadis. Belanda melakukan konvoi dari Talang Semut menuju arah Jalan Jendral Sudirman. Mobil tersebut melaju dengan kencang dan melepaskan tembakan-tembakan. Kontak senjata tidak terelakkan di depan Masjid Agung dan sekitar rumah penjara Jalan Merdeka. Pasukan TRI melakukan pengepungan dan serangan terhadap kekuatan Belanda di Charitas sehingga tidak mungkin Belanda untuk keluar dan menerima bantuan dari luar. Akhirnya Belanda meminta bantuan Panglima Divisi II (Kol Hasan Kasim) dan Gubernur Sumatera Selatan (dr. M. Isa) untuk menghentikan tembak-menembak (cease fire)

Tujuan dilakukan penghentian tembak-menembak bagi Belanda adalah untuk menyusun kembali kekuatan tempurnya. Sebelum Belanda melakukan serangan udara itu memakan waktu yang relatif singkat, yaitu beberapa jam sebelum matahari terbenam menjelang malam. Belanda melakukan penembakan dengan mortir ketempat dimana Pasukan TRI/Lasykar berada yaitu di Gedung Perjuangan (sekarang pusat perbelanjaan Bandung), di daerah dekat Sungai Jeruju, daerah Tangga Buntung, dan sebagainya. Dengan demikian telah berakhir kesepakatan penghentian tembak-menembak oleh Belanda. Insiden-insiden yang terjadi pada akhir tahun 1946 tersebut menjadikan situasi di Kota Palembang dan sekitarnya menjadi panas (Perwiranegar, 1987: 58). Insiden yang terjadi sesungguhnya adalah cara Belanda untuk memicu keributan dengan tujuan agar terjadi pertempuran yang lebih besar.

Pada hari Rabu, tanggal 1 Januari 1947, sekitar pukul 05.30 pagi, sebuah kendaraan Jeep yang berisi pasukan Belanda keluar dari Benteng dengan kecepatan tinggi. Mereka melampaui daerah garis demarkasi yang sudah disepakati. Ternyata mereka mabuk setelah pesta semalam suntuk merayakan datangnya tahun baru. Kendaraan Jeep itu melintasi Jalan Tengkuruk membelok dari Jalan Kepandean (sekarang Jalan TP. Rustam Effendi) lalu menuju Sayangan, kemudian melintasi ke arah Jalan Segaran di 15 Ilir, yang banyak terdapat markas Pasukan RI/Lasykar seperti Markas Napindo, Markas TRI di Sekolah Methodist, rumah kediaman A.K. Gani, Markas Divisi 17 Agustus, Markas Resimen 15, dan Markas Polisi Tentara.

Pada kesempatan yang sama para pemimpin militer dan Lasykar mengadakan rapat komando untuk menentukan sikap dalam menghadapi provokasi Belanda. Rapat dihadiri pimpinan pemerintah sipil Gubernur Muda M. Isa. Dalam rapat tersebut, Panglima Divisi II Kolonel Bambang Utoyo, Gubernur Muda M. Isa, maupun Panglima Lasykar 17 Agustus, Kolonel Husin Achmad menyatakan bahwa dalam menghadapi provokasi Belanda, pihak RI bertindak tidak lagi sekedar membalas serangan, melainkan harus berinisiatif untuk menggempur semua kedudukan dan posisi pertahanan Belanda di seluruh sektor. Kepala staf Devisi II, Kapten Alamsyah, mengeluarkan perintah "Siap dan Maju" untuk bertempur menghadapi Belanda.

Front Pertempuran Lima Hari Lima Malam


Upaya Menghadapi Serangan Belanda Pada Pertempuran 5 Hari 5 Malam di Palembang 1. Front Seberang Ilir Timur
Front Seberang Ilir Timur meliputi kawasan mulai dari Tengkuruk sampai RS Charitas - Lorong Pagar Alam - Jalan Talang Betutu - 16 Ilir - Kepandean - Sungai Jeruju - Boom Baru - Kenten. Pertempuran pertama terjadi pada hari Rabu 1 Januari 1947. Belanda melancarkan serangan dan tembakan yang terus menerus diarahkan ke lokasi pasukan RI yang ada di sekitar RS Charitas. RS Charitas berada di tempat yang strategis karena berada di atas bukit sehingga menjadi basis pertahanan yang baik bagi Belanda. Daerah Front Seberang Ilir (RS Charitas) menjadi tanggung jawab dari Komandan Resimen Mayor Dani Effendi. Basis strategi pertahan di Front Seberang Ilir Timur terutama berlokasi di depan Masjid Agung, simpang tiga Candi Walang, Pasar Lingkis (sekarang Pasar Cinde), Lorong Candi Angsoko dan di Jalan Ophir (sekarang Lapangan Hatta).

Dibawah pimpinan Mayor Dani Effendi, Pasukan TRI melancarkan serangan ke Rumah Sakit Charitas dan daerah di Talang Betutu. Serangan ini dilakukan bersama dengan satu kompi dan Batalyon Kapten Animan Akhyat yang bertahan di simpang Jalan Talang Betutu (Perwiranegara, 1987: 67). Tujuan serangan ini adalah untuk memblokir bantuan Belanda yang datang dari arah Lapangan Udara Talang Betutu menuju arah Palembang dan menghalangi hubungan antara pusat pertahanan Belanda di RS Charitas dengan Benteng.

Pada sore harinya, pihak Belanda telah mengerahkan pasukan tank dan panser untuk menerobos pertahanan dan barikade Pasukan TRI di sepanjang Jalan Tengkuruk. Mereka kemudian berhasil menduduki Kantor Pos dan Kantor Telepon melalui perlawanan yang seru dari Pasukan TRI. Dengan berhasilnya Belanda menduduki Kantor Telepon, maka hubungan melalui alat komunikasi menjadi terputus secara total. Setelah itu, belanda memperluas gerakannya hingga menduduki Kantor Residen dan Kantor Walikota. Pasukan TRI yang berada di daerah tersebut mengundurkan diri ke Jalan Kebon Duku dan Jalan Kepandean sedangkan di RS Charitas, kekuatan Belanda semakin terdesak karena serangan dari Pasukan TRI.

Upaya Menghadapi Serangan Belanda Pada Pertempuran 5 Hari 5 Malam di PalembangPada pertempuran hari kedua, konsentrasi pasukan terutama diarahkan terhadap pasukan dan pertahan Belanda di RS Charitas. Namun, Belanda berhasil menerobos lini Talang Betutu setelah terlebih dahulu berhadapan dengan Lettu Wahid Uddin bersama Kapten Anima Achyat. Belanda telah memperkuat tempat-tempat yang telah mereka kuasai, terutama di depan Masjid Agung. Sementara itu, kapal-kapal perang (korvet) Belanda mulai hilir mudik di Sungai Musi sambil menembakan peluru mortirnya kesegala arah. Secara spontanitas, rakyat dan pemuda di dalam kota dan luar kota turut serta bertempur melawan Belanda. Mobilisasi umum di kalangan masyarakat agraris-tradisional terus berlangsung untuk menghadapi Belanda. Melihat kemajuan-kemajuan dipihak kita, Belanda pun segera mengadakan pengintaian, bahkan melakukan tembakan dari udara terhadap kereta api yang membawa bahan makanan, bantuan dari Baturaja, Lubuk Linggau, dan Lahat. Rakyat yang berada di Front Seberang Ilir menjadi sangat menderita karena keterbatasan kesediaan pangan akibat Sungai Musi dikuasai Belanda dan penembakan kereta api.

Oleh karena lokasi Markas Besar Staf Komando Divisi II tidak lagi aman, maka dipindahkan dari Sungai Jeruju ke daerah Kenten, tepatnya di Jalan Duku. Hal ini disebabkan karena Belanda terus-menerus melakukan pengintaian dan pengeboman terhadap markas-markas Pasukan TRI/Lasykar. Keberhasilan pengeboman jarak jauh yang dilakukan Belanda tidak terlepas dari peranan para pengintai atau mata-mata.

Ternyata dalam pemeriksaan dan interogerasi yang dilaksanakan, memberi banyak petunjuk bahwa pihak Belanda secara licik menggunakan warga kota keturunan Tionghoa sebagai informan mereka, disamping sebagai pelayan kegiatan ekonomi bagi kepentingan Belanda. Kapten Alamsyah Ratu Perwiranegara menilai bahwa kasus mata-mata ini sangat sensitif, ia segera memerintahkan Letnan Dua Asmuni Nas untuk merazia dan menyita semua telepon yang digunakan oleh keturunan Tionghoa di sepanjang Pasar 16 Ilir.

Pertempuran hari ketiga berlangsung pada hari Jum'at, tanggal 3 Januari 1947. Saat itu, Kolonel Mollinger memerintahkan angkatan perangnya (Darat, Laut, dan Udara) untuk menghancurkan semua garis pertahanan Pasukan TRI/Lasykar. Ini menunjukan terjadinya konsep perang tiga matra yang dilakukan Belanda di Palembang.

Berdasarkan perintah tersebut, maka konvoi kendaraan berlapis baja keluar dari Benteng menuju RS Charitas menerobos Jalan Tengkuruk, melepaskan tembakan di sekitar Masjid Agung dan Markas BPRI. Gerakan penerobosan Belanda ke Charitas itu dihambat oleh pasukan kita yang berada di Pasar Cinde dengan ranjau-ranjau, manun gagal karena ranjau-ranjau tersebut gagal meledak. Akibatnya Pasar Lingkis (Cinde) dapat dikuasai oleh musuh. Tapi, sore harinya pasar itu dapat dikuasai kembali oleh pasukan kita (Resimen XVII). Senjata dan amunisi yang dimiliki pasukan RI jumlahnya terbatas, dan sebagian besar senjata yang digunakan oleh pasukan kita banyak yang telah tua (out of date) sebagai hasil rampasan dari serdadu Jepang (Abdullah, 1996: 43). Sampai hari ketiga, keadaaan Palembang sebenarnya sudah parah. Hampir seperlima kota telah hancur terkena serangan bom dan peluru mortir Belanda.

Upaya Menghadapi Serangan Belanda Pada Pertempuran 5 Hari 5 Malam di PalembangUpaya Menghadapi Serangan Belanda Pada Pertempuran 5 Hari 5 Malam di Palembang

SUMBER PHOTO : palembangtempodulu.multiply.com

Kehancuran Kota Palembang karena bom-bom Belanda tersebut ditambah lagi dengan adanya aksi bumi hangus, seperti jembatan kayu di 24 Ilir, atas perintah Kepala Pertahanan Divisi II, Kapten Alamsyah. Pembongkaran ini dimaksudkan agar jembatan tidak digunakan oleh Belanda untuk menerobos dari arah Bukit Kecil menuju Charitas. Bahka, perintah yang benar-benar ditakuti Belanda adalah "aksi bumi hangus Plaju dan Sungai Gerong."

Pada pertempuran hari keempat (4 Januari 1947), Belanda menfokuskan pertahanan di Plaju. Sehingga pasukan Mayor Dani Effendi berhasil memanfaatkan situasi tersebut untuk menguasai Charitas dan sekitarnya. Akibatnya pasukan Belanda mulai terdesak. Pasukan TRI berhasil mendekati gudang amunisi di RS Charitas dan menembak serdadu Belanda yang berusaha mendekati gudang tersebut.

Pada 5 Januari 1947, pihak Belanda dapat menguasai beberapa tempat dengan bantuan kapal-kapal perang yang hilir mudik di Sungai Musi dan pesawat terbang yang menjatuhkan bom-bom ke arah posisi Pasukan TRI. Namun demikian pasukan Belanda mengalami hal yang sama dengan Pasukan TRI yaitu letih, kurang tidur dan merasa stress, sedangkan Pasukan TRI telah banyak menderita kerugian baik dari materi ataupun yang gugur dan luka-luka

2. Front Seberang Ilir Barat


Front Seberang Ilir Barat meliputi kawasan mulai dari 36 Ilir yaitu meliputi Tangga Buntung - Talang - Bukit Besar - Talang Semut - Talang Kerangga - Emma Laan - Sungai Tawar - Sekanak - Benteng.

Markas Batalyon 32 Resimen XV Divisi II dipimpin Makmun Murod yang berda di Front Seberang Ilir Barat, yaitu di Sekanak. Komandan Resimen XV dan Komandan Batalyon 32/XV beserta para perwira yang berada di markas, sibuk mengatur pertahanan dan merencanakan untuk menyerang benteng-benteng pertahanan Belanda. Suara tembakan yang saling bersahutan sudah semakin gencar diselingi oleh dentuman senjata-senjata berat yang ditembakan dari pos-pos dan gedung-gedung pertahanan Belanda ke arah kubu pertahana Pasukan TRI dan barisan pertahanan rakyat.

Pada pertempuran yang terjadi pada tanggal 1 Januari 1947, pasukan-pasukan disekitar belakang Benteng mulai terdesak lalu mengundurkaan diri ke sekitar Jalan Kelurahan Madu dan Jalan Kebon Duku. TRI/Lasykar yang berlokasi di Bukit terpaksa mengubah taktik yaitu memencarkan diri masuk ke kampung-kampung di sekitar Bukit Siguntang dan sekitarnya. Tindakan ini dilakukan untuk mencegah pasukan Belanda yang akan menerobos ke 35 Ilir. Karena apabila pasukan Belanda yang akan beroperasi di 36 Ilir, Suro, 29 Ilir dan Sekanak akan terkepung. Usaha pasukan TRI dibawah pimpinan Mayor Surbi Bustam dilakukan untuk menyerang Gedung BPM Handelszaken. Serangan ini dibantu oleh Kapten Makmun Murod, Letnan Satu Asnawi Mangkualam dan Kapten Riyacudu. Dalam pertempuran tersebut, seorang prajurit yang diketahui pemuda keturunan Tionghoa, Sing, tertembak dan gugur. Belanda dengan menggunakan kendaraan berlapis baja dan persenjataan modern berhasil menguasai Kantor Pos, Kantor Telegraf, Kantor Residen, Kantor Walikota dan di sekitar Jalan Guru-guru di 19 Ilir.

Secara keseluruhan, pertempuran pada hari pertama tersebut, inisiatif sepenuhnya berada di tangan Pasukan TRI dan pejuang. Belanda dengan segala kemampuannya berusaha mempertahankan pos-pos pertahanan dan kedudukannya sambil terus malancarkan tembakan-tembakan ke arah pasukan yang menyerang. Pasukan Belanda boleh dikatakan tidak berani keluar dari kubu pertahannya, terutama yang berkududkan di Seberang Ilir, karena gencarnya serangan Pasukan TRI dan Lasykar. Pasukan Belanda hanya membalas tembakan dari tempat perlindungan, dengan memuntahkan peluru mortir dan dengan tembakan howitzer untuk sasaran jarak jauh.

Belanda menerapkan sistem pertahanan saling dukung antar pos-pos mereka. Jika satu tempat pertahanan terkepung oleh Pasukan TRI, maka dalam waktu singkat mendapat bantuan dari kubu pertahanan Belanda lainnya. Bantuan sering berupa tembakan, mortir atau howitzer atau dukungan tembakan dari kapal perang De Ruiter. Kapal perang Belanda memang hilir mudik di Sungai Musi, khususnya jenis korvet.

Pada pertempuran hari kedua, Belanda menembakan mortirnya dengan membabibuta ke arah Sekanak sampai ke Tangga Buntung. Tujuan utama adalah menembaki markas batalyon dan pos-pos pertahanan TRI dan rakyat yang terdapat antara Sekanak sampai Tangga Buntung. Tidak dapat dihindari lagi peluru tersebut telah mengenai daerah pemukiman penduduk. Gencarnya tembakan yang dilakukan Belanda dari benteng pertahanan dan dan pesawat udara pada 2 Januari 1947 menyebabkan Staf Komando Batalyon 32/XV oleh Mayor Zurbi Bustam bersama Kapten Makmun Murod dipindahkan ke Talang. Daerah Suro dan Talang Kerangga pada saat itu tidak luput dari serangan musuh.

Dengan dorongan semangat dan do'a, Pasukan TRI tetap berusaha untuk mempertahankan diri. Penambahan pasukan terjadi melalui Batalyon Ismail Husin dari Lampung yang berhasil menyeberang melalui Tangga Buntung. Rakyat atau penduduk sipil pun ikut serta memberikan bantuan tenaga. Keterbatasan senjata tidak membuat pasukan kita menyerah. "molotov" adalah bensin yang dimasukan ke dalam botol dicampur dengan karet untuk kemudian diberi sumbu memjadi alat yang sangat efisien. Kapten Alamsyah memerintahkan Sersan Mayor M. Amin Suhud untuk mencuri persediaan bensin Belanda yang akan digunakan untuk membuat bom molotov. Sersan Mayor M. Amin Suhud mendapatkan bensin. Kesulitan bahan makanan dialami oleh Front Seberang Ilir Barat karena blokade yang dilakukan oleh Belanda. Dalam kondisi demikian, bantuan bahan makanan dari dapur umum di garis belakang yang dikirim ibu-ibu dan remaja puteri sangat berarti. Begitu pula peran anggota Palang Merah Indonesia (PMI) dan PPI (Pemuda Puteri Indonesia) yang mengurus korban pertempuran dan mengurus bahan makanan.

Pada hari ketiga, pertempuran tiga matra yang dilakukan oleh Belanda semakin aktif, setelah dikeluarkan perintah oleh Kolonel Mollinger untuk menghancurkan garis pertahanan RI di Emma Laan (Jalan Kartini) dan Sekolah MULO Talang Semut. Pasukan TRI yang dibawah pimpinan Letda Ali Usman berhasil menghancuran sekitar 3 regu Pasukan Belanda yaitu Pasukan Gajah Merah (Perwiranegara, 1987: 75). Belanda tidak tinggal diam, segera membalas serangan di Emma Laan. Sehingga pada pertempuran hari keempat, Sabtu tanggal 4 Januari 1947, Pasukan TRI/Lasykar terdesak sehingga mundur ke arah Kebon Gede,Talang dan Tangga Buntung.

Sebagai resiko perjuangan dari bangsa yang baru merdeka, maka setiap gerakan pasukan musuh berakibat pada pemindahan dislokasi pasukan. Walaupun situasi pertempuran selalu dilaporkan kepada komando pertempuran. Namun laporan tersebut mengalami keterlambatan akibat sulitnya hubungan komunikasi.

Pada hari kelima pertempuran di Front Seberang Ilir Barat terus berlangsung, walaupun Pasukan TRI/Lasykar dan rakyat mulai menampakkan keletihan dan pengiriman makanan dari dapur umum mulai tidak teratur lagi akibat blokade Belanda. Sebenarnya blokade ini juga berdampak pada pihak Belanda juga karena bahan makanan dari luar kota sulit masuk ke Kota Palembang.

3. Front Seberang Ulu


Front Seberang Ulu meliputi kawasan mulai dari 1 Ulu Kertapati sampai Bagus Kuning, selanjutnya meliputi kawasan Plaju - Kayu Agung - Sungai Gerong. Untuk tanggung jawab pertahanan dan keamanan di daerah Palembang Ulu dibebankan kepada Batalyon 34 Resimen XV dengan Komandan Batalyon Kapten Raden Mas yang bermarkas si sekolah Cina 7 Ulu (sekarang SHD), yang melakukan perlawanan di Kertapati sampai Plaju.

Pada awal pertempuran tanggal 1 Januari 1947, tembakan mortir dari pasukan Belanda yang dberada di Bagus Kuning, Plaju dan Sungai Gerongterus ditujukan ke markas batalyon yang dipimpin Kapten Raden Mas. Namun demikian, kapal perang Belanda yang berada di Boom Plaju atau Sungai Gerong belum dapat bergerak leluasa, karena dihambat oleh pasukan ALRI di Boom Baru.

Upaya Menghadapi Serangan Belanda Pada Pertempuran 5 Hari 5 Malam di Palembang
SUMBER PHOTO : palembangtempodulu.multiply.com

Lokasi di perairan Sungai Musi sebelum pertempuran merupakan salah satu tempat berlangsungnya aktivitas perekonomian. Namun ini berbeda pada hari pertama pertempuran. Motorboat milik Belanda melaju dari arah Plaju menuju Boom Yetty yang diduga membawa bahan persenjataan pasukan Belanda, Pasukan TRI berusaha menyerang namun tidak berhasil.

Kompi I yang berkedudukan di Jalan Bakaran Plaju, dipimpin Lettu Abdullah di Jalan Kayu Agung dan Sungai Bakung diberi tugas untuk menghadapi Belanda. Begitu juga Kompi II yang dipimpin Letda Sumaji bertugas menghadapi Belanda di Bagus Kuning dan Sriguna, sedangkan Kompi II dibawah pimpinan Letda Z. Anwar Lizano bertugas menghadapi Belanda di pinggir Sungai Musi yang letaknya sejajar dengan Boom Yetty sampai Pasar 16 Ilir. Pertempuran yang telah terjadi menimbulkan semangat patriotisme di kalangan pasukan TRI. Bantuan pasukan segara menuju Palembang. Letkol Harun Sohar telah melepaskan pemberangkatan pasukan menuju Kertapati dan Lahat dengan menggunakan kereta api.

Kelelahan pasukan Belanda dimanfaatkan oleh Letnan Dua S. Sumaji yang merencanakan serbuan dini hari, pada tanggal 2 Januari 1947. Pasukannya dibantu dari Lasykar Pesindo, Napindo dan Hizbullah. penyerbuan tersebut membuahkan hasil. Pasukan TRI/Lasykar dapat menguasai gudang-gudang persenjataan musuh, sedangkan pasukan Belanda mengundurkan diri ke kapal-kapal perang mereka. Bendera Belanda si tiga warna yang terpancang di depan asrama telah diturunkan, kemudian dirobek warna birunya dan dinaikkan kembali dengan keadaan si Dwiwarna, Sang Saka Merah Putih. Namun kemenangan ini tidak berlangsung lama pasukan Belanda kemudian melepaskan tembakan-tembakan mortir ke arah kedudukan Pasukan TRI/Lasykar.

Setelah Komandan Mollinger mengeluarkan perintah kepada seluruh unsur kekuatan darat, laut dan udara. Belanda untuk meningkatkan gempuran dan berusaha menerobos setiap garis pertahanan TRI dan badan-badan perjuangan rakyat. Pewasat-pesawat terbang dan kapal-kapal perang Belanda semakin menggiatkan aksinya, terutama di daerah-daerah yang menjadi tempat bertahan pasukan-pasukan TRI yang berada di Seberang Ulu dan Ilir. Kapal perang jenis korvet menembakan mesin kesepanjang Sungai Musi terutama di pos-pos pertahanan RI, terutama yang berlokasi di sekitar 7 Ulu.

Upaya Menghadapi Serangan Belanda Pada Pertempuran 5 Hari 5 Malam di Palembang
SUMBER PHOTO : palembangtempodulu.multiply.com

Akibatnya Pasukan TRI dan Lasykar terpaksa membalas dengan menggunakan senjata bekas persenjataan Jepang, yaitu meriam pantai milik kompi III Batalyon 34 di 7 Ulu di tepi Sungai Musi. Dengan menggunakan senjata seperti itu, pasukan Hizbullah dibawah pimpinan Letkol (Lasykar) M. Ali Thoyib berhasil menembak sebuah motorboat Belanda yang sedang mengangkat amunisi milik Belanda dari Plaju menuju ke Benteng. Serangan terhadap motorboat Belanda mengakibatkan kemarahan pasukan Belanda. Mereka membalas dengan mengirim pesawat Mustang dan secara terus-menerus menhujani basis pasukan di 7 Ulu dengan tembakan bertubi-tubi selama dua jam. Hal ini menimbulkan korban yang besar di kalangan Pasukan TRI/Lasykar dan rakyat. Bantuan terhadap pasukan Front Seberang Ulu datang dari Lahat dan Baturaja dikirim ke Bagus Kuning.

Pada tanggal 4 Januari 1947 di Front Seberang Ulu pasukan Belanda semakin memperhebat tekannya terhadap pasukan RI sehingga pasukan TRI yang berada di Bagus Kuning mengundurkan diri ke 16 Ulu. Kapal-kapal perang Belanda melakukan patroli mulai dari perairan Sungai Gerong di bagian Hilir sampai ke perairan Kertapati, Keramasan di bagian Hulu. Pada hari kelima, tanggal 5 Januari 1947, pasukan kita dalam keadaan lelah, sekalipun hal itu tidak mengendorkan semangat perjuangan.

Upaya Perundingan dan Pengakhiran Pertempuran
Sejak tanggal 4 Januari 1947 di Kota Palembang telah menerima kedatangan Kapten A.M. Thalib, utusan Panglima Divisi II Bambang Utoyo, yang mengabarkan tentang keinginan Mollinger untuk berunding. Ternyata Gubernur Muda telah menerima berita dari Jakarta lewat telegram yang diterima oleh pemancar darurat dibawah pimpinan Herry Salim, bahwa akan datang ke Palembang secepatnya Dokter Adnan Kapau Gani sebagai utusan pemerintah pusat untuk melakukan perundingan gencatan senjata dengan pihak Belanda.

Perundingan ini dilakukan oleh pihak RI dikarenakan ada kepentingan strategis dengan alasan:
  • pertama, mencegah korban lebih banyak

  • kedua, kita perlu mengadakan konsolidasi kekuatan kembali

  • ketiga, dari segi politis akan memberikan gambaran kepada dunia internasional bahwa RI cinta perdamaian, sekaligus menegaskan bahwa pemerintah pusatnya dipatuhi oleh daerah-daerahnya.

    Perhitungan yang melandasi berunding dari pihak RI adalah berdasarkan:
  • Pertama, perjuangan kemerdekaan akan memakan waktu cukup lama, mungkin bertahun-tahun.

  • Kedua, hampir 60% pasukan RI di Sumatera Selatan berada di Kota Palembang, bila sampai bertempur habis-habisan akan memperlemah kekuatan pada masa selanjutnya.


  • Setelah itu, ditetapkan tiga orang delegasi yang melakukan pejajakan perundingan. Mereka adalah dr. M. Isa, Gubernur Muda yang mewakili Pemerintah Sipil; Mayor M. Rasyad Nawawi, Kepala Staf Divisi Garuda II yang mewakili pasukan-pasukan dari Komando Pertempuran dan Komisaris Besar Polisi, Mursoda, yang mewakili Kepolisian (Perikesit, 1995: 69)

    Perundingan antara RI - Belanda dilaksanakan pada tanggal 5 Januari 1947, di Rumah Sakit Charitas. Formasi delegasi pun ditambah dengan Kolonel Bambang Utoyo, Komandan Divisi Garuda II, yang ditunjuk sebagai Ketua dan Mayor Laut A.R. Saroingsong. Pertemuan dengan pihak Belanda sebenarnya telah mereka nanti-nantikan, sebab posisi Belanda benar-benar terjepit dan belum bisa mengadakan link up. Mereka masih terkurung dalam kubu per kubu yang terpisah satu sama lainnya.

    Dalam perundingan tersebut pihak Belanda menuntut Kota Palembang dikosongkan dari seluruh pasukan TRI. Namun hal itu ditolak oleh delegasi RI. Pihak RI bersedia menarik TRI dan Lasykar dari kota, tapi ALRI, Kepolisian dan Pemerintahan Sipil tetap berada di dalam kota. Dengan alasan bahwa ALRI tidak mempunyai hubungan dengan Angkatan Darat. Adapun maksud tersembunyi adalah Pasukan ALRI yang tinggal di Kota Palembang akan menjadi penghubung dan mata-mata, disamping Polisi dan Pemerintahan Sipil, guna mengawasi kegiatan Belanda.

    Upaya Menghadapi Serangan Belanda Pada Pertempuran 5 Hari 5 Malam di Palembang
    SUMBER PHOTO : palembangtempodulu.multiply.com

    Akhirnya Pertempuran Lima Hari Lima Malam diakhiri dengan gencatan senjata (cease fire) antara kedua belah pihak, dimana TRI/Lasykar harus kelur dari Kota Palembang sejauh 20 Kilometer kecuali Pemerintah Sipil RI dan ALRI masih tetap berada di dalam kota. Sedangkan pos-pos Belanda hanya boleh sejauh 14 Km dari pusat kota. Jalan raya di dalam kota dijaga pasukan Belanda dengan rentang wilayah 3 Km ke kiri dan kanan jalan. Hasil perundingan ini selanjutnya segera disampaikan ke markas besar TRI di Yogyakarta.

    Kesimpulan


    Pertempuran Lima Hari Lima Malam merupakan upaya yang dilakukan Pasukan TRI, Lasykar dan Rakyat untuk mempertahankan kemerdekaan di Kota Palembang. Dalam pertempuran itu, pihak lawan menguasai udara dan perairan (air and sea superioritary). Karena superioritas itulah mereka dapat bertahan dan disinilah pula terletak kelemahan kita serta tidak mempunyai perhubungan yang modern.

    Pertempuran Lima Hari Lima Malam di Palembang merupakan pertempuran tiga matra dan perang terbesar dan terlengkap yang pertama kali kita alami. Namun pihak kita hingga akhir pertempuran masih dapat bertahan berkat semangat pengorbanan jiwa, jihad dan patriotisme yang besar dari para pejuang dan rakyat.

    Boom-Baroe-Palembang-Kota-Baroe-legt-aan-mrt-47er-werd-gebedeld
    maar-het-leven-hernam-zijn-gewone-gangMen-had-honger-
    palembansumatra-palembang-verwoestingen-januari-1947

    Ziekenwagen

    SUMBER PHOTO : palembangtempodulu.multiply.com



    By: Sri Purwanti
    dodinp.multiply.com

    Di-support Konsorsium Korea

    Biaya Monorel RP 5 T , MoU 6 Desember



    Biaya Monorel RP 5 T , MoU 6 Desember
    PALEMBANG -- Rencana pembangunan monorel Palembang tampaknya akan segera terwujud. Pasalnya, 6 Desember mendatang, Pemprov Sumsel direncanakan akan menandatangani nota kesepahaman kerja sama alias momerandum of understanding (MoU) dengan calon investor Indonesia PT True North Bridge.

    REncana ini diungkapkan Kepala Bapedda Sumsel Ir Yoohanes H Toruan melalui Kabid Sarana dan Prasarana, Ir Basyaruddin Akhmad MSc, kemarin (27/11). "Calon investor tersebut merupakan konsorsium perusahaan Korea. MoU rencananya akan dilaksanakan di Hotel Aryaduta Palembang. Pola kerja sama, public private partnership atau kemitraan pemerintah dan swasta," beber Basyaruddin.

    Dijelaskannya, monorel tersebut dibangun sepanjang 25 km. Dimulai dari Bandara Sultan Mahmud Badaruddin (SMB) II menuju kawasan Jakabaring. Jika dirincikan, jarak ruas/koridor pertama dari SMB II ke Masjid Agung sepanjang 15 km dan ruas/koridor dua dari Masjid Agung menuju Jakabaring sepanjang 10 km.

    Biaya pembangunan monorel tersebut sebesar US$ 20 juta (Rp 225,4 miliar) per km. "Jika ditotal dengan panjangnya monorel tersebut, maka dibutuhkan dana Rp 5 triliun," tuturnya.

    Dalam perencanaan, jumlah kereta yang akan dioperasionalkan pada monorel tersebut ada empat set. Dalam satu ruas/koridor ada dua set kereta. Satu setnya terdiri ari enam gerbong.

    "Diperkirakan, durasi operasional kereta tersebut selama 20 jam sehari. Dimulai pukul 05.00 WIB hingga 24.00 WIB," ujar Basyaruddin. Kapasitas angkut penuh kereta mencapai 780 orang. Sehingga total penumpang yang dapat diangkut per hari diperkirakan 191.309 orang.

    Kata Basyaruddin, pembangunan monorel tersebut akan segera terwujud pada akhir 2013 mendatang. "Masa tender pembangunan monorel ditargetkan selesai pada pertengahan 2013," ucapnya.

    Sejauh ini, Pemprov Sumsel telah menyelesaikan feasibility study (FS) untuk proyek monorel ini. "Barulah pada awal 2013, kita melakukan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) dan basic desainnya," imbuhnya.

    Untuk diketahui, saat ini ada enam kota yang berencana membangun monorel, yaitu Bali, Bandung, Makassar, Palembang, Jakarta dan Medan. "Jika memang semua berjalan dengan rencana yang sudah ditetapkan, maka kita akan menjadi kota pertama yang membangun monorel," ujar Basyaruddin.

    Adapun rute dari monorel tersebut, Bandara, Simpang Polda, Jalan Demang Lebar Daun, Angkatan 45, Jalan Kapten A Rivai, Jalan Jenderal Sudirman, Jembatan Ampera, dan berakhir Jakabaring. "Monorel tersebut diharapkan tidak hanya mampu mengatasi kemacetan, tapi juga memperluas akses dan memberikan dampak positif bagi pariwisata," pungkasnya.

    Secara finansial, proyek monorel Palembang layak untuk dibangun dengan kondisi besaran investasi harus di bawah US$ 23 juta (Rp 225,4 miliar) per Km. Volume penumpang per hari harus di atas 90 ribu orang, sedangkan tarif penumpang harus di atas Rp 15 ribu. (cj18/ce2)

    Sumatera Ekspres, Rabu, 28 November 2012

    Sunday 18 November 2012

    Lebih Tua Dari Ampera

    Lebih Tua Dari Ampera

    Keunikan Jembatan Ogan Kertapati Lebih Kokoh Dibanding Musi II
    Dibangun tahun 1939 lalu, jembatan Ogan Kertapati dinamakan dengan nama Ratu Belanda, Wilhelmina. Kala itu, jembatan tersebut termasuk bangunan fenomenal di Sumsel. Seiring perkembangan zaman, jembatan ini kurang mendapat perhatian masyarakat meski umurnya lebih tua dibanding ikon Palembang, Jembatan Ampera. Padahal, sebagai bagian dari sejarah panjang Palembang, seorang sesepuh Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Sumsel menilai, jembatan ini lebih kokoh dibanding Jembatan Musi II.

    Catatan sejarah jembatan Ogan di Kertapati ibarat misteri. Banyak memperkirakan, catatan dibangun penjajah itu, dibawa sang penjajah ke negerinya, Belanda. Para pelaku sejarah pun banyak sudah meninggal.

    Ada juga orang-orang tua asli Palembang, berumur 70 tahun keatas tak mengetahui kapan dibangunnya jembatan tersebut. Ketika koran ini menyambangi kawasan jembatan, beberapa orang tua yang sudah berumur 70 tahun keatas mengaku ketika mereka kecil menginjak umur 10 tahun, jembatan tersebut telah terbangun.

    Keterangan didapat koran ini dari masyarakat sekitar jika jembatan tersebut merupakan kawasan vital, tempat lewatnya tentara serta kendaraan perang ketika terjadinya pertempuran. Mulai dari pertempuran Belanda melawan Jepang hingga perang lima hari lima malam.

    Bahkan, saat Jepang masuk, Belanda dikabarkan menghancurkan jembatan untuk menghambat pergerakan tentara Jepang. Sempat menggunakan kayu sebagai penyangga, tahun 1956, jembatan tersebut akhirnya kembali dipugar.

    Dibangun Dari Pajak Petani Karet
    Dari Badan Arsip Perpustakaan dan Dokumentasi Kota Palembang, catatan terkait jembatan Ogan Kertapati hanya didapati koran ini dari sebuah buku. Berjudul “Palembang Zaman Bari” karangan sejarawan serta budayawan, almarhum Djohan Hanafiah.

    Data diuraikan pun tak begitu banyak. Hanya dikatakan jika jembatan tersebut dibangun tahun 1939 lalu dan diresmikan dengan nama Wilhelmina Brug (Jembatan Wilhelmina, Red). Pembangunan jembatan dikatakan berasal dari sumbangan dari para petani-petani karet. Dimana setiap kati getah karet dikenakan satu sen.

    Meski ada beberapa masyarakat mengungkapkan jika pembangunan menggunakan tenaga romusha, sesepuh Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) cabang Sumsel, Ir H Anwar Arifai membenarkan jika dana pembangunan jembatan berasal dari sumbangan petani karet di Sumsel. “Bukan sumbangan sih, tapi semacam pajak. Dipilih petani karet karena karet pada masa itu dan sampai sekarang memang tingkat ekonominya bagus,” ungkap Anwar.

    Anwar yang lahir tahun 1935 lalu saja, dan asli kelahiran Palembang tak mengingat kapan jembatan tersebut dibangun. Seingatnya sejak kecil, jembatan itu sudah ada. Jembatan itu pun termasuk bangunan fenomenal pada masanya. Termasuk jembatan terbesar di Sumsel, sebelum dibangunnya jembatan Ampera tahun 1965 lalu.

    Secara stuktur, Anwar Arifai menilai jika jembatan Ogan Kertapati termasuk kokoh. Blak-blakan, ia mengatakan jembatan dibangun Belanda tersebut lebih kuat dibanding Jembatan Musi II yang umurnya lebih muda karena dibangun tahun 1992.

    Alasannya, dengan stuktur beton bertulang, bentang jembatan lebih pendek serta tidak begitu beratnya beban diatas, jembatan Ogan diperkirakannya akan lebih bertahan lama. Bisa jadi. Karena saat ini, hanya kendaraan beban tak begitu berat dapat melintas di jembatan Ogan.

    Saat inipun, jalurnya hanya diarahkan satu arah. Dari Simpang Jakabaring menuju Terminal Karya Jaya. Truk hingga tronton dengan beban berat diwajibkan melintas melalui jembatan Musi II yang kini dilewati kendaraan dua arah.

    Terbantu Jembatan Ogan II
    Penilaian Anwar Arifai tak sepenuhnya mendapat dukungan. Pejabat Pembuat Komitmen dari Perencanaan dan Pengawasan Jalan Nasional Metropolis, Azwar Edie mengakui jika jembatan Ogan yang panjangnya 205,2 meter, lebar enam meter dengan enam bentang termasuk kokoh. Karena umumnya jembatan dibangun paling tidak untuk bertahan selama 50 tahun kedepan. Sedangkan jembatan Ogan umurnya sudah mencapai 71 tahun.

    Hanya saja, jika dikatakan lebih kokoh dari jembatan Musi II, Azwar tampaknya kurang sreg. Alasannya, kokohnya jembatan Ogan karena hingga kini bebannya dibantu oleh jembatan disebelahnya, disebut dengan nama Jembatan Ogan II, dibangun tahun 1994 lalu dengan kontruksi baja Australia. Dengan panjang 231,6 meter, lebar tujuh meter dengan lima bentang, jembatan Ogan II menahan beban kendaraan melaju dari arah terminal Karya Jaya menuju simpang Jakabaring.

    Berbeda dengan jembatan Musi II yang panjangnya 534,6 meter dengan lebar tujuh meter. Jembatan dibangun tahun 1992 dengan kontruksi baja Australia ini harus menahan beban dari dua arah sekaligus.

    “Yang lewat di Musi dua saja kendaraan berat. Dan dua arah sekaligus. Seharusnya Musi dua ini sudah dibangun jembatan pendamping seperti Ogan dua biar lebih bertahan lama,” tandas Azwar.

    Tinggal Masalah Perawatan
    Kokohnya jembatan Ogan juga ditegaskan Kasatker Pelaksanaan Pembangunan Jalan Metropolitan Palembang, Ir H Aidil Fiqri MT. Dalam pandangannya jembatan tersebut bisa bertahan dalam jangka waktu yang lama. Apalagi, jembatan ini sudah dibantu dengan hadirnya jembatan Ogan II dibangun tahun 1992 lalu. Membuat beban terhadap kendaraan tidak terlalu berat.

    Yang masih dibutuhkan tinggal perawatan. Baru-baru ini, dikatakan Aidil pihaknya melakukan penggerukan aspal. Pasalnya, aspa diatas jembatan pernah mencapai 20 cm. Sehingga, kendaraan besar seperti truk pernah masuk hingga trotoar jalan.

    “Aspal diatas jembatan itu tidak boleh tebal. Kalau tebal, nanti kendaraan, terutama truk naik ke trotoar. Sedangkan trotoar jembatan itu tidak boleh dinaiki mobil apalagi truk. Bebannya tidak seimbang dan bisa merusak jembatan. Jadi aspal mesti tipis sekitar lima centimeter. Kalau sekedar motor naik ke trotoar seperti di Ampera tidak masalah,” tegasnya.

    Selain masalah aspal dan trotoar, pihaknya terus memantau jika terjadinya penggeroposan tiang beton penyangga jembatan. Arus air sungai dapat membuat keropos tulang beton serta karat pada besi. “Masalah ini akan terus kita awasi dan kita perbaiki. Agar jembatan bisa bertahan lama,” tandasnya.

    Mirip Dengan Jembatan Ogan di Baturaja
    Di Baturaja ada juga jembatan tua namun kokoh yang menjadi jalur lalu lintas melewati Sungai Ogan I, namanya juga sama yakni Jembatan Ogan. Meskipun usianya sudah 62 tahun,namun jembatan Ogan I,yang menghubungkan pusat kota Baturaja dengan area pasar atas, kondisinya kokoh.

    "Keberadaan jembatan yang berbentuk lengkung yang telah beberapa kali dicat dan berubah warna pink ini, menjadi salah satu ciri khas dan land mark Kota Baturaja dan Kabupaten OKU," jelas Muzaim Aliansya ST Msi, Kabid Pemeliharaan jalan Jembatan PU Bina Marga OKU.

    Diceritakan Muzaim, sejak berdiri dan dibangun jembatan Ogan I pada tahun 1948 lalu oleh Belanda, jembatan ini memang sempat mendapatkan perawatan khusus dari Dinas PU Bina Marga Kabupaten OKU. Pada tahun 2001 lalu bagian lantai jembatan ada yang jebol,yaitu tepatnya bagian join antara jembatan. Kerusakan tersebut sudah diperbaiki dengan dicor kembali,selain itu aspal permukaan jembatan ini juga pernah di angkat dan diganti dengan material baru. Pada saat itu material aspal lama gunakan ATB (Asphalt Trade Base) diganti dengan aspal ACBC, aspal konkrit untuk perata permukaan.

    Keunikan yang terlihat pada jembatan Ogan I yang berbentuk melengkung setengah lingkaran ini,sebetulnya menunjukkan bahwa pada masa itu seni arsitektur mengedepankan nilai estetika yang juga tidak mengeyampingkan nilai kekuatanya.

    Model jembatan ini yang bentuknya serupa menurut Muzaim, yakni Jembatan setengah lingkar dapat ditemukan juga di Kota Martapura Kabupaten OKU Timur, Jembatan Gunung Batu Kabupaten OKUT, di Kabupaten Musi Banyuasi, serta Jembatan Ogan Kertapati Palembang. (wwn/bn)

    Written by: Samuji, Selasa, 27 Desember 2011, Sumeks Minggu

    Malaysia Berani Bayar Mahal

    Malaysia Berani Bayar MahalKoleksi Songket — Jamalia Anggraini, pemilik rumah Songket 7 Saudara memperlihatkan koleksi songket benang emas jantung yang usianya ratusan tahun, Rabu (14/11)

    PALEMBANG — Kolektor asal negeri Jiran Malaysia, hingga saat ini terus bergerilya mencari tahu keberadaan songket benang emas. Mereka berani membayar ratusan juta rupiah untuk mendapatkan songket yang telah langka tersebut.

    Songket berbahan dasar benang sutera berbalut emas berumur ratusan tahun menjadi incaran pihak asing. Menurut beberapa sumber yang ditemui Sripo menyebutkan, orang-orang dari negara jiran Malaysia paling getol mengincar benda bersejarah tersebut.

    Menurut salah seorang pegawai di toko Songket Yusuf Effendi, Kelurahan 30 Ilir, Kecamatan IB II, Palembang, pihaknya pernah kedatangan orang dari Malaysia yang mencari songket benang emas jantung yang seharga ratusan juta. Mereka kerap datang perorangan dan bergantian secara berkala.

    Dijelaskan oleh Husaini, pengelola Zainal Songket saat dihubungi Sripo kemarin mengatakan, pihaknya sering mengirim songket ke luar negeri. Pesanan terbanyak datang dari Malaysia. Motifnya beragam, namun yang paling banyak adalah kalangan kerajaan.

    “Mereka suka motif bunga-bunga dan menolak motif hewan. Dan, mereka lebih menyukai warna yang sedikit gelap. Kalau bewarna kuning pada songket emas jantung disukai oleh orang-orang dari lingkungan kerajaan,” bebernya.

    Pegawai di toko songket Asmi Astari juga mengungkapkan, pihaknya pernah menjual songket benang emas pada orang asing. Tapi, ia tak mampu mencirikan asal orang tersebut.

    Dikatakan seorang pengrajin songket di daerah tersebut, dirinya juga pernah mendengar jika orang Malaysia khusus mencari songket benang emas jantung di kawasan 30 Ilir. Tetapi kebanyakan orang asal Malaysia katanya, lebih banyak lagi membeli di Jakarta ataupun Medan.

    “Memang yang datang langsung ke saya belum pernah ada. Tapi, saya cuma diceritakan oleh penjual songket di toko-toko kalau banya orang Malaysia yang cari itu. Lebih banyak juga di Jakarta dan Medan. Kan, songket itu juga banyak dijual di sana. Mereka lebih mudah beli di Jakarta atau Medan dari pada ke Palembang,” katanya tak mau menyebutkan nama, Rabu (14/11) kemarin.

    Menurut budayawan Palembang, Yudhy Sarofie kepada Sripo, Senin (12/11) lalu, songket emas jantung memiliki kualitas tinggi. Ciri benang emas jantung tetap berkilau meski berumur puluhan maupun ratusan tahun. Songket benang emas jantung menjadi langka karena terakhir diproduksi pada tahun 1950-an.

    “Makanya, sulit menemukan songket benang emas jantung. Hingga saat ini banyak yang memburunya, mulai dari pengusaha, kolektor, hingga pihak asing dari Malaysia. Mereka memburu songket itu secara diam-diam,” katanya.

    Ada hal yang membuat songket benang jantung jadi incaran, tak hanya dari bahan melainkan nilai sejarah. Songket tersebut memiliki nilai sejarah yang sangat tinggi karena usianya.

    Menurut Kepala Unit Pelaksana Tehnis Daerah (UPTD) Museum, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Palembang, Ali Hanafiah, perburuan songket emas dilakukan pihak asing bak pencarian harta karun. Hal ini tak terlepas dari nilai historis benang sutera berbalut emas tersebut.

    “Iya, benar kalau diburu semua orang. Malaysia juga gemar mencarinya tak hanya karena songket benang emas jantung yang bernilai dan berharga, tapi barang tersebut langka. Mereka mau mencaplok itu untuk disimpan di daerah mereka,” katanya. (mg5)

    Sriwijaya Post, Jumat, 16 November 2012

    Monday 22 October 2012

    Dewan Sumsel Ajak Diskusi Gending Sriwijaya

    Terkait kontroversi Film Gending Sriwijaya yang menuai kontroversi karena budayawan dan peneliti sejarah menilai telah terjadi pembaisan sejarah, Ketua Komisi V DPRD Sumsel, MF Ridho, mengatakan, pihaknya tidak menemukan adanya anggaran yang dialokasikan untuk pembuatan film tersebut pada kegiatan mitra kerja Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumsel.

    "Saya tidak tahu menggunakan anggaran Satuan Kerja Pelaksana Daerah (SKPD) mana, silakan cek saja," katanya.

    Pembuatan film Gending Sriwijaya merupakan bagian kegiatan seni dan budaya. Tujuannya sangat positif sebagai media promosi seni dan budaya Sumsel. Tinggal bagaimana kita meluruskan perbedaan pendapat diantara budayawan, sejarawan dan produser film.

    Untuk menciptakan persamaan pendapat, perlu dilakukan diskusi yang melibatkan semua unsur yang mengerti sejarah dan film.
    <"Kita semua bukan pelaku sejarah, jadi jangan sampai menganalisa dan memberikan pendapat itu di waktu yang berbeda. Mungkin dengan melibatkan orang-orang tua kita yang mengerti sejarah bisa membantu meluruskan perbedaan yang ada," ujar Ridho.



    Selain meluruskan pendapat, diskusi juga sangat bermanfaat untuk mencari data faktual mengenai sejarah di Sumsel. Sutradara juga belum bisa dinilai salah atau benar. Mungkin ia memiliki alasan dan referensi yang berbeda dalam merumuskan jalan cerita film.

    "Sebenarnya saya juga belum membaca dan melihat bagaimana jalannya cerita film dibuat itu. Dengan demikian belum bisa memberikan penilaian tentang film itu," kata dia.

    Budayawan seharusnya juga bersikap pro aktif untuk menciptakan pertemuan agar tidak terjadi silang pendapat dengan jarak yang jauh. Bisa membuat surat ke legislatif atau pemerintah provinsi. Setahu saya, belum ada surat yang masuk ke kami untuk membicarakan perbedaan pendapat mengenai sejarah Sriwijaya yang difilmkan itu.

    Secara terpisah, Ketua DKSS Sumsel, dr Zulkhair Ali, mengatakan, kita harus lihat dari sisi positif, film ini akan membangkitkan kembali semangat Kerajaan Sriwijaya ke dalam jiwa pemuda. Persoalan yang diperdebatkan oleh budayawan benar adanya, akan tetapi ide membuat film ini juga perlu diapresisasi karena mengangkat kebesaran nama Kerajaan Sriwijaya.

    "Film ini karya seni hiburan tanpa mengedepankan sisi alur sejarah yang sebenarnya. Saya hadir dalam acara gelar budaya dan silaturahim budayawan, seniman, serta tokoh masyarakat Sumsel bersama pemeran film Gending Sriwijaya 5 Agustus lalu di Griya Agung. Di sana sutradara sudah menyatakan film ini bukanlah film sejarah," katanya.

    "Saya dan DKSS baru mengetahui pembuatan film ini ketika diundang dalam acara tersebut. Kami memang tidak pernah dihubungi untuk berdiskusi. Kemudian hari saya baru mengetahui jika film ini karya seni yang tidak dilandasi riwayat sejarah, karena bukan film sejarah Kerajaan Sriwijaya," ujar Zulkhair.

    Diskusi dan dialog baru dapat dilakukan jika karya seni ini mengisahkan cerita sejarah yang sebenarnya dalam konsep film dokumenter. Di luar konsep itu karya film bisa dijadikan karya fiksi.

    Kalau film dokumenter memang harus dilakukan riset, karena tidak boleh ada unsur fiksinya. Apa yang disampaikan oleh para seniman dan budayawan benar, tetapi film ini juga tidak salah, karena bukan film sejarah dan konsepnya juga ada unsur fiksi.

    Menurut dia, dalam konteks promosi suatu daerah, konsep film dokumenter kurang bisa mencapai target karena sulit dijual dan penontonnya juga kalah bersaing dengan film hiburan. Film ini bukan berada dalam konteks film dokumenter.

    Perbedaan inilah yang harus disampaikan kepada publik secara terang-terangan, sebelum film tersebut ditayangkan. Dengan adanya keterangan unsur fiksi di dalam film ini nantinya diharapkan penonton tidak terjebak pada alur cerita yang sesuai dengan sejarah yang sebenarnya.

    Sebelum dimulai, seharusnya sutradara menyampaikan pesan terlebih dulu, yang menyatakan film ini merupakan karya fiksi, sehingga tidak ada yang salah menilainya. Budayawan tidak ingin kontroversi film ini dikedepankan ketimbang sisi positifnya. Persoalan tersebut bisa diatasi dengan dialog. Peluang dialog dan komunikasi itu masih terbuka.

    "Saya sependapat dengan pak Nurhadi Rangkuti, selagi bisa dialog ya lakukan, jangan kita lihat dari sisi kontroversinya". (iam/wan)

    Editor : Aang Hamdani
    Tribun Sumsel

    Gending Sriwijaya Undang Kontroversi

    PALEMBANG - Film Gending Sriwijaya yang disutradarai Hanung Bramantyo menuai kontroversi. Sejumlah budayawan dan peneliti sejarah di Sumsel protes karena menilai alur cerita (plot) film menyimpang dari sejarah Kerajaan Sriwijaya. Pakaian songket dan kemben yang dikenakan bintang film itu juga dianggap keliru.

    "Harus direvisi sebelum ditayangkan karena bisa jadi pembiasan sejarah," tegas Kepala Balai Arkeologi Palembang, Nurhadi Rangkuti, Minggu (21/10).

    Film Gending Sriwijaya digarap Hanung Bramantyo bekerjasama dengan Pemprov Sumsel menggunakan dana APBD senilai Rp 11 miliar. Dalam anggaran disebutkan film yang akan dibuat berjenis film dokumenter. Setelah selsai film ini dikelola Badan Aset Daerah. Tender film dimenangi Putar Production pada April 2012. Ini kerjasama kedua setelah film Mengejar Angin.

    Nurhadi menilai kelemahan film Gending Sriwijaya terletak pada cerita pertentangan dan perebutan tahta oleh dua anak raja (dalam film disebut Raja Dapunta Hyang Srijayanasaa. Nama Dapunta Hyang terukir di Prasasti Kedukan Bukit, 864 Masehi).

    Menurut Nurhadi, dalam sejarah Kerajaan Sriwijaya tidak pernah terjadi pertentangan. Kehancuran Sriwijaya yang pernah menjadi kerajaan maritim terbesar di Nusantara disebabkan faktor eksternal, tidak ada sejarah yang mengisahkan perebutan tampuk kekuasaan di antara keturunan raja.

    "Pertentangan dan kehancuran kerajaan diriwayatkan terjadi karena ada serangan dari luar kerajaan," tegas Nurhadi.

    Ketua Yayasan Kebudayaan Tandipulau, Erwan Suryanegara, protes lebih keras. "Saya berani pasang leher untuk menentang film ini," katanya. Budayawan yang mendapat Magister Seni Rupa dan Desain dari Institut Teknologi Bandung ini mengatakan, kisah yang diceritakan terkesan mengada-ada karena menggabungkan Gending Sriwijaya dengan cerita Kerajaan Sriwijaya.

    Dua hal ini merupakan objek yang berbeda. Gending Sriwijaya merupakan nama tarian yang diciptakan pada tahun 1943 ketika zaman penjajahan Jepang sebagai tarian penyambut petinggi Jepang ketika itu. Tari ini diciptakan Sukainah Arozak, syair diciptakan A Muhibat. Sementara Kerajaan Sriwijaya dikisahkan dalam sejarah mengalami kejayaan pada abad ke-7 hingga ke-13 masehi.

    "Dua hal ini merupakan kisah yang berbeda, tidak dapat disatukan. Selisih waktu diantara keduanya jauh, berabad-abad," jelasnya.

    Erwin mempermasalahkan riset yang dilakukan sutradara dan penulis skenario film karena menurutnya film ini tidak didukung riset yang cukup akan latarbelakang sejarah Sriwijaya. Kekeliruan riset juga ditunjukkan dengan kostum yang dikenakan para pemain tidak sesuai pada masanya. Para pemain mengenakan pakaian yang tidak bercirikan pakaian melayu ketika itu.

    "Kemben yang digunakan itu bukan pakaian sehari-hari masyarakat ketika itu. Bagi kami, pakaian itu merupakan pakaian khusus untuk ke sungai jika hendak mandi," ungkap budayawan yang juga menjadi pengajar Palembang ini.

    Sama seperti Nurhadi, perebutan kekuasaan antara kedua anak raja kerajaan yang diceritakan dalam film ini juga dipertanyakan Erwin. Sinopsis film Gending Sriwijaya mengisahkan perebutan tahta kerajaan antara dua orang anak Raja Dapunta Hyang Sri Jayanasa (dipesankan Slamet Rahardjo), yakni Awang Kencana (Agus Kuntjoro) dan Purnama Kelana (Syahrul Gunawan).

    "Tidak ada sejarah yang mengisahkan perebutan kekuasaan oleh dua anak raja Kerajaan Sriwijaya," tegasnya.

    Masyarakat Awam
    Revisi yang dimaksud Nurhadi terkait tujuan awal pembuatan film dan alur cerita. Jika memang ditujukan hiburan, tanpa mengambil tema sejarah, memang dapat dibenarkan. Akan film ini tidak sekedar film hiburan yang fiktif belaka.

    "Di dalam sinopsis dan judulnya, sudah jelas film ini mengangkat cerita sejarah Kerajaan Sriwijaya dan karya seni tari dan musik, Gending Sriwijaya," katanya. Nurhadi khawatir penonton film Gending Sriwijaya bisa terjebak dalam alur cerita yang ditampilkan. Ini akan membiaskan sejarah Kerajaan Sriwijaya. Pemilihan judul menjadi persoalan mendasar karena tidak dapat digabungkan dengan pemahaman cerita sejarah kerajaan.

    "Kalau yang menonton itu masyarakat awam, dikhawatirkan akan terjadi pembiasan sejarah, karena mereka tidak mengerti benar dengan sejarah Kerajaan Sriwijaya. Lain halnya jika yang menonton adalah yang mengerti sejarah, tentunya tidak akan berpengaruh," katanya.

    Proses produksi film yang menggunakan latar belakang sejarah, kata Nurhari, harus didahului oleh riset agar tidak bertentangan dengan sejarah sebenarnya. Gali informasi dari berbagai sumber.

    "Kami tidak pernah diajak berdiskusi tentang pembuatan film ini. Seharusnya diproduksi berangkat dari data, tidak ngarang," katanya.

    Jalan satu-satunya agar film ini tidak menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat, menurut Nurhadi, harus diadakan diskusi dengan sejarawan, budayawan, dan yang mengerti tentang Kerajaan Sriwijaya.

    "Mumpung masih ada waktu sebelum dirilis, coba diskusikan kembali dengan tokoh lokal di Sumsel. Kalau pun sudah masuk tahap editing, kan bisa direvisi sebelum tayang," ujarnya bijak.

    Dikonfirmasi terkait kontroversi itu, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sumsel menilai Film Gending Sriwijaya merupakan sarana promosi bagi pemerintah daerah untuk memasarkan potensi pariwitasa Sumsel ke tingkat nasional dan internasional.

    "Ini merupakan satu sarana promosi kita bagi pengembangan pariwisata Sumsel di tingkat nasional dan Internasional," ujar Kadisbudpar Sumsel, Tony Panggarbesi, Jumat (19/10).

    Ia menilai kontroversi kehadiran film ini di kalangan budayawan merupakan hal yang wajar, akan tetapi film ini bukan merupakan film dokumentar yang harus sesuai dengan alur sejarah. Nilai besar kerajaan Sriwijaya ditonjolkan dengan adanya film ini, sehingga menarik perhatian investor untuk menanamkan modal di Sumsel.

    "Kalau film dokumenter itu tugasnya universitas dan budayawan. Ini hanya film untuk menarik perhatian dunia luar pada Sumsel, sehingga mendatangkan wisatawan dan investor," terangnya.

    Disbudpar tidak terlibat langsung atas proses pembuatan film ini. Menurut Toni, proyek pembuatan film dianggarkan oleh Humas Sekretariat Daerah Provinsi Sumsel.

    Dia menambahkan, pro dan kontra atas pembuatan film ini menurutnya merupakan hal yang wajar. Toni berharap agar sudut pandang terhadap kehadiran film ini juga harus disamakan sebagai alat promosi bagi daerah agar tidak terjadi kesalahpahaman.

    "Kita harus ambil positifnya, film ini harus dilihat dari sudut pandang alat promosi bagi Sumsel. Promosi pariwisata dan menciptakan iklim investasi yang baik bagi investor, sehingga film ini tidak hanya menjadi alat hiburan semata," ungkapnya.

    Film Dokumenter
    Ditemui secara terpisah, Plt Kepala Biro Humas dan Protokol Pemprov Sumsel, Irene Camelyn Sinaga, mengatakan, pihaknya hanya menyeleksi perusahaan yang berminat menggarap film itu melalui tender. Sedangkan materi film diserahkan kepada sutradara.

    “Panitia pengadaan barang dan jasa menyeleksi perusahaan yang berminat, setelah itu ditenderkan. Kami hanya menentukan durasi, anggaran, dan tema film. Tidak dari sudut materi, kami tidak menulis konsep skrip. Dari spesifikasi yang masuk, sebuah perusahaan dengan Hanung Bramayatho sebagai sutradaranya memenangkan tender,” ungkap Irene.

    Menurut dia, dalam anggaran yang disiapkan, film yang akan dibuat berjenis film dokumenter. Tidak sebatas membicarakan sejarah, bisa juga bermakna cerita rakyat, mitos, dan improvisasi.

    Terhadap kritikan yang diutarakan beberapa budayawan dan pakar sejarah yang mengatakan isi film menyimpang, Irene menganggap semua itu sebagai perhatian yang luar biasa kepada Pemprov Sumsel. Irine berjanji saran dan kritikan itu akan disampaikan pada saat tim panitia penyelenggara lelang memeriksa hasil film yang dibuat di Jakarta, Senin (22/10) ini.

    Karena tidak ikut campur pada materi film, Irene mengaku belum mengetahui dengan persis jalannya cerita Gending Sriwijaya. Oleh sebab itu, ia juga tidak bisa mengatakan film itu layak atau tidak.

    “Selama ini belum tahu materinya karena proses syuting masih terus berlangsung. Saya juga tidak bisa menilai film itu salah atau tidak. Fakta sejarahnya bagaimana, apakah film itu hanya kreativitas mereka saja atau tidak. Setelah diperiksa baru diketahui bagaimana isi film itu. Saya juga akan sampaikan masukan dan saran dari masyarakat,” jelasnya.

    Menurut Irene, pihaknya tetap mengedepankan dan menghormati kerjasama antara Pemprov Sumsel dan perusahaan pemenang tender. Apabila isi film melenceng, pihaknya tetap membicarakan hal itu dengan produser film.

    Tujuan awal pembuatan Film Gending Sriwijaya agar masyarakat Indonesia lebih mengenal budaya, dialek bahasa, dan daerah-daerah di Sumsel. Setelah diserahkan ke Badan Pengelolaan Aset Daerah, diharapkan ada kerjasama dengan pihak luar untuk mengenalkan film ini ke luar negeri.

    Disebutkan Irene, Pemprov Sumsel tidak terlibat dalam riset dan studi awal pembuatan film, semua dilakukan oleh sutradara dan penulis cerita. Adapun anggaran pemenang tender film Gending Sriwijaya sekitar Rp11 miliar. Lebih besar dibandingkan Pengejar Angin, film pertama dibuat Pemprov Sumsel menggunakan dana Rp9 miliar.

    "Film ini ditujukan untuk semua kalangan. Beberapa orang asli Sumsel yang sebelumnya lolos casting diberikan kepercayaan untuk memerankan beberapa tokoh di film Gending Sriwijaya," kata dia.

    Syuting Selesai
    Pernyataan Irene didukung Direktur Utama Putar Production, Doni, yang dibincangi Tribun melalui telepon, Jumat (19/10). Menurut dia, Film Gending Sriwijaya akan diserahkan kepada Pemprov Sumsel sebelum ditayangkan di bioskop. Putar Production sebagai perusahaan pemenang tender hanya bertugas membuat film. Kapan waktu penayangan, keuntungan, dan sasaran penonton ditentukan oleh Pemprov Sumsel.

    “Film ini nantinya akan dikelola oleh Badan Aset Daerah. Semua keuntungan dari tayangan bioskop dan penjualan film masuk ke kas daerah. Namun kami masih membantu untuk kegiatan promosinya,” kata Doni.

    Dia menjelaskan, film yang mengambil lokasi syuting di Kabupaten Lahat dan Pagaralam ini telah selesai dibuat. Rencananya pada 22 Oktober akan dilakukan preview penanyangan film bersama Pemprov Sumsel.

    “Sriwijaya itu adalah kerajaan besar tetapi tidak meninggalkan banyak bukti sejarah. Visi dan misi film ini ingin menampilkan kebesaran itu agar bisa diketahui orang banyak,” ujar pria yang telah dua kali membuat film untuk Pemprov Sumsel ini.

    Doni yakin film ini bakal lebih sukses dibandingkan produk sebelumnya Mengejar Angin. Sebagai sutradara, Hanung Bramantyo, menampilkan efek yang lebih teliti dan melibatkan banyak pemain berpengalaman. Pemain itu diantaranya Agus Kuncoro, Mathias Muchus, Sahrul Gunawan, Slamet Rahardjo, dan Julia Perez.

    “Untuk riset dan isi film dilakukan Hanung. Kami itu mempunyai job desk yang berbeda. Perusahaan sebagai pihak yang mengikuti tender saja,” pungkasnya. (iam/wan)

    Penulis : Ilham Yafiz
    Editor : M. Taufik
    Tribun Sumsel