Thursday, 30 January 2014

40 Meter di Atas Air

Jembatan Musi III Telan Dana Rp 10 T


40 Meter di Atas Air

PALEMBANG --- Tiga tahun menggantung karena masalah ketinggian, rencana pembangunan Jembatan Musi III akhirnya menemui titik terang. Rapat di ruang Bina Praja Pemprov Sumsel, kemarin (29/1), menyepakati ketinggian jembatan ini minimal 40 meter dari atas permukaan air.

Pembangunan Jembatan Musi III ini akan menelan dana Rp 8-10 triliun, dari APBN,. Informasi terbaru itu diungkapkan Asisten II Bidang Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan, Ir H Eddy Hermanto SH yang dibincangi Koran Ini usai melaksanakan rapat bersama konsultan Jepang. Mitsui Consultants Co Ltd.

Dijelaskannya, pembangunan Jembatan Musi III ini tetap menggunakan plan I yang sudah ditandatangani Gubernur Sumsel. Dokumen analisa mengenai dampak lingkungan (Amdal) dan detail engineering design (DED) pun sudah selesai. "Tinggal menambah kontruksi dan segera menyelesaikan pembebasan lahan saja," katanya.

Kata Eddy, Jembatan Musi III ini akan dibangun di sekitar lahan Pertamina kawasan Bagus Kuning. Badan jembatan akan melintas di atas Pulau Kemaro, hingga ujungnya menembus ke kawasan Merah Mata.

"Ini pas dengan program Pemkot Palembang yang akan mengembangkan wisata Pulau Kemaro. Pemandangan dari atas Pulau Kemaro akan menjadi objek wisata tersendiri bagi yang melintas di atas Jembatan Musi III," bebernya.

Diakui Eddy, selama ini pembangunan Musi III ini terkendala faktor ketinggian jembatan. "Hambatan untuk membangun Musi III ini karena dalam desain lama telah ditetapkan ketinggiannya 50 meter. Tapi dari Pelindo meminta ketinggian berada di atas itu," imbuhnya.

Masalah itu terpecahkan dengan adanya kesepakatan terbaru pada 23 Desember lalu. Pelindo mengatakan Jembatan Musi III boleh dibangun ketinggian minimal 40 meter, dan itu sudah sesuai dengan Kementerian PU. "Pembahasan itu alot dan tertunda selama tahun lamanya. Baru clear 23 Desember lalu. Kami akan segera melanjutkan pembangunannya dengan melakukan pembebasan lahan," cetus Eddy.

Ditambahkannya, dari Pelindo bahkan akan menyiapkan alat beratjika bahan pembuat jembatan datang. Ketinggian minimal 40 meter itu berpatokan pada air sungai pasang. Tapi lebih tinggi dari itu makin bagus. Asumsinya, tiang kapal tertinggi yang melintas di sana adalah 30 meter.

Kapal yang sering melintas merupakan kapal konvesional sepanjang 180 meter dengan ketinggian 40 meter. Untuk pendanaan Jembatan Musi III ini diakui Eddy belum diajukan ke pemerintah pusat. Tapi telah diperkirakan kalau kebutuhan anggarannya berkisar Rp 8-10 triliun dan semua akan dimintakan dari APBN.

"Kalau duhulu, dana pembangunan Musi III diprediksi hanya Rp 4-6 triliun. Tapi sekarang sudah berubah mengingat bahan baku sudah naik dan kontruksinya beda," tuturnya. Setelah ini, semua pihak terkait akan diundang, salah satunya untuk membahas persoalan dana. Yang jelas, suatu kemajuan karena sudah ada lampu hijau untuk pembangunan Jembatan Musi III ini.

Ditambahkan Eddy, jika pembangunan Jembatan Musi III terus tertunda, dikhawatirkan makin berdampak pada semakin macetnya Kota Palembang. Mr Akeyama, pimpinan tim dari Mitsui Consultants Co Ltd menyatakan, mereka sudah pernah paparan di kementerian terkait soal rencana pembangunan Jembatan Musi III ini. "Kami menyiapkan empat plan pembangunan Jembatan Musi III ini, namun belum ada persetujuan," katanya.

Ia bersyukur dalam rapat kemarin disepakati Jembatan Musi III tetap memakai plan I dengan ketinggian minimal 40 meter. Kata Akeyama, kedatangan mereka ke Palembang untuk melaksanakan studi mengenai Jembatan Musi di Sumsel.

"Desember lalu kami sudah datang dan melaksanakan diskusi, fokus untuk pembangunan Jembatan Musi III, dan beberapa jembatan lain. Ke depan kami akan meneruskan studi untuk pembangunan Musi VIII yang berada di lingkar luar Timur Kota Palembang," pungkasnya. (cj6/ce1)

Ada Rp 10 M untuk Musi IV
Kepala Satuan Non-Vertikal Tertentu (SNVT) Pelaksanaan Jalan Metropolitan Palembang, Ir H Junaidi, mengungkapkan tidak ikut dalam rapat membahas perkembangan pembangunan Jembatan Musi III di Pemprov Sumsel, kemarin. Namun ia memastikan, tahun ini tidak alokasi anggaran pada satuan kerja (satker)nya untuk pembangunan Jembatan Musi III.

"Yang ada masalah anggaran untuk kontruksi awal Jembatan Musi IV, sekitar Rp 10 miliar," ujarnya kemarin. Menurutnya, Jembatan Musi IV yang sudah tersedia dana pembangunannya itu menghubungkan Seberang Ulu (kawasan Sungai Kangkang) ke kawasan Dinas Tata Kota Palembang (Seberang Ilir).

"Sudah siap bangun tahun ini. Namun kami masih nenunggu perkembangan pembebasan lahannya saja oleh pemerintah kota. Cepat lambatnya pembangunan Musi IV tergantung lahannya," tutur Junaidi. Nah, untuk Jembatan Musi III, dia belum mengikuti perkembangan terakhirnya. "Kalau untuk Musi III, kami belum tahu," pungkasnya. (tha/ce1)

Rencana Jembatan Musi III



Menelan Rp 8-10 T dari dana APBN

Tinggi jembatan minimal 40 meter (Dengan patokan air pasang tinggi)

Sudah ada DED, amdal, dan persetujuan gubernur

Pangkal di Seberang Ulu di sekitar Bagus Kuning

Pangkal di Seberang Ilir di kawasan Pusri, tembus ke Merah Mata

Jembatan Musi III melintasi bagian atas Pulau Kemaro

Sumatera Ekspres, Kamis, 30 Januari 2014

Tata Ulang BKB Jadi Pusat Kebudayaan

Bergaya Arsitektur Hybrid



Tata Ulang BKB Jadi Pusat Kebudayaan
Indah: Pemandangan kawasan Benteng Kuto Besak (BKB) di waktu malam. Bukti sejarah ini harus dilestarikan karena merupakan salah satu ikon Kota Palembang

PALEMBANG --- Wacana restorasi kawasan Benteng Kuto Besak (BKB) kembali dibahas. Gubernur Sumsel, H Alex Noerdin, mengadakan pertemuan tertutup dengan konsultan perencanaan PT Agro Lima Semarang yang menyusun detail engineering design (DED) pengembangan BKB. Usai pertemuan tersebut, Andi Siswanto, Direktur PT Agro Lima Semarang mengatakan, berdasarkan rencana yang mereka rumuskan, BKB akan ditata ulang menggunakan gaya arsitektur hybrid. Aplikasinya menggunakan konsep adoptive re-use terhadap bangunan asli di sana, sesuai dengan program tata ruang yang sudah disusun.

Di sana, nantinya akan terdapat museum diorama, open air museum, open teater, sekolah dan laboratorium, studio seni, pertunjukan dan teatrikal, home stay, art and craft shop, serta gedung serba guna.

"Museumnya akan berkonsep city history, dimana semua kebudayaan Palembang yang multietnis akan masuk ke sana. Dengan begitu, pengunjung dapat mengetahui lebih luas mengenai kebudayaan Palembang," tutur Andi.

"BKB akan dikembalikan lagi fungsinya sesuai dengan konsep semula sehingga menjadi potensi wisata yang menarik," ujarnya.

Tim persiapan restorasi BKB, H Toni Panggarbesi menyatakan, DED yang disusun akan menjadi sebuah patokan untuk membenahi kawasan BKB. "Butuh dana yang sangat besar untuk melakukan ini. Tidak hanya dari APBD, tapi juga harus melibatkan APBN ataupun corporate social responsibility (CSR) dari perusahaan," bebernya.

Pemerintah daerah (Pemda) akan menyiapkan pengganti kantor dan akademi perawat (Akper) Kesdam serta RS AK Gani yang selama ini berada di sana. Diakuinya, butuh proses panjang untuk melakukan itu. Rencana restorasi ini akan menjadi pembicaraan antara gubernur dan Wali Kota Palembang, dan Pangdam II/Sriwijaya. "Kami pastikan ini baru perencanaan semata," cetusnya.

Gubernur Sumsel H Alex Noerdin menuturkan, restorasi dinilai perlu untuk membenahi kawasan pinggiran Sungai Musi. "Masalahnya sekarang, bagaimana mengimplementasikan rencana ini. Kita semua tahu, di kawasan BKB, bangunannya ada yang sudah dijadikan rumah sakit, akper, dan kantor TNI AD," ucapnya.

Langkah pertama harus dilakukan adalah memindahkan beberapa aset tersebut. Untuk itu, harus dibuat kesepakatan bersama. (rip/ce4)

Harus Lestarikan Cagar Budaya
Panglima Kodam II/Sriwijaya, Mayor Jenderal TNI Bambang Waluyo mengatakan, belum ada (koordinasi) terkait wacana restorasi BKB tersebut. "Saya bersyukur ada Kesdam di BKB. (Keberadaannya) sekaligus melestarikan BKB sebagai peninggalan sejarah bansa," ujarnya.

Menurutnya, pembangunan apa pun bentuknya harus memperhatikan cagar budaya dan lingkungan hidup. "Jangan hanya berpikir untuk mendapatkan keuntungan belaka. Kita harus melestarikan sejarah dan cagar budaya," tukasnya. (cj8/ce4)

Sumatera Ekspres, Rabu, 29 Januari 2014

Keberadaan Rumah Rakit di Tengah Ancaman Modernisasi

Nyaris Punah, Minim Perhatian



Keberadaan Rumah Rakit di Tengah Ancaman Modernisasi

Rumah apung atau lebih dikenal rumah rakit, hingga kini masih menghiasi Sungai Musi. Bentuknya yang unik menjadi daya tarik tersendiri. Tidak ada rasa takut penghuninya mendiami rumah tersebut. Sayang, jumlahnya tak banyak lagi.

• • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • •



Bagi masyarakat Palembang, sebutan rumah rakit tidak asing lagi. Bahkan pada zaman Kesultanan Palembang pendatang yang berkunjung harus menetap di atas rakit termasuk warga Inggris, Spanyol, Belanda, Cina, Campa, Siam, bahkan Kantor Dagang Belanda pertama berada di atas rakit, lengkap dengan gudangnya. Rumah rakit ini selain sebagai tempat tinggal, juga berfungsi sebagai gudang, dan kegiatan ekonomi.

Memang, keberadaan Sungai Musi kala itu sangat vital hingga menjadi urat nadi Kota Palembang. Bahkan, menjadi jalur transportasi perdagangan lintas negara. Hingga saat ini, rumah tersebut masih lestari. Tapi, jangan salah, lambat-laun terancam punah jika pemerintah enggan melestarikan rumah yang menjadi warisan turun-temurun masyarakat Palembang ini.

Rumah rakit sendiri pada dasarnya merupakan bentuk rumah yang tertua di Kota Palembang dan mungkin telah ada pada zaman Kerajaan Sriwijaya. "Rumah rakit sudah ada sejak dulu. Orang tua saya lama tinggal di rumah ini, kami sangat bersahabat dengan sungai," ujar Ridwan, warga yang bermukim di pinggiran sungai.

Keberadaan rumah rakit jangan dijadikan sesuatu yang aneh, justru ini menjadi aset daerah yang harus dipertahankan. Memang, zaman sekarang sedikit sekali yang mau tinggal di sungai, kebanyakan di darat. Tapi, itulah hasil karya masyarakat temp dulu. Artinya, patut dihargai, sehingga menjadi kebanggaan bersama.

"Itu ada jiwanya, jadi tidak bisa dipaksakan. Tentunya, rumah rakit ini harus dijaga kelestariannya. Jika tidak, maka hanya akan menjadi cerita bagi anak cucu kita," terangnya. Pemerintah tentunya jangan tinggal diam. Harus ada upaya pelestarian, dengan tetap menjaga kebersihan sungai. Karena pada dasarnya, rumah rakit itu terbilang unik.

Fondasi terbuat dari bambu yang menjadi bahan utama membuat rakit. Bahan bambu inilah yang membuat rumah rakit bisa mengapung. Naik serta turun, tergantung pasang surut sungai. "Terlepas dari apa yang melekat pada rumah rakit tersebut, tentunya menjadi catatan bersama, bahwa jika keberadaan rumah rakit tersebut berkurang, maka anak cucu kita hanya akan mendengar ceritanya saja, tanpa mampu menyaksikan bentuk rumah rakit dimaksud," katanya.

Hasyim (67), warga asli Palembang, punya cerita tersendiri tentang rumah rakit ini. Menurutnya, rumah yang berbahan baku bambu baratapkan kajang kala itu, kerap dihuni warga asing dari Cina. "Warga Cina yang hendak berdagang ke Palembang kala itu banyak bermukim di rumah rakit karena, permukiman di daratan belum ada. Itulah sebabnya, pada zaman Kesultanan Palembang, orang asing harus menghuni rumah rakit," ujarnya.

Masih kata dia, rumah rakit ini peninggalan nenek moyang yang harus dilestarikan. Memang, tidak semua orang mampu membuat rumah rakit, karena rumah tersebut membutuhkan dana besar. Terlebih, setiap tahun bambu sebagai bahan utama, harus dilakukan penggantian. Jika dibiarkan saja, maka berdampak pada kerusakan yang menimbulkan tenggelamnya rumah tersebut. (roz/asa/ce4)

Didesain Ikuti Pergerakan Air



Dahulu, rumah terbuat dari kayu dan bambu yang menggunakan atap kajang (nipah) dan sirap. Belakangan ini, menggunakan atap seng, karena bahan yang lebih ringan dan bisa menahan tiupan angin kencang. Rumah rakit memang hanya terdapat di Palembang, Sumsel. Konon, dahulu merupakan hunian keturunan Tionghoa.Rumah rakit merupakan bentuk rumah tertua di Kota Palembang dan telah ada pada zaman Kerajaan Sriwijaya. Saat itu, penduduk asing yang berniaga harus tinggal di rumah rakit karena mereka tidak diberikan izin untuk menetap di daratan.

Rumah rakit ini tidak hanya dijadikan tempat tinggal bagi puluhan keluarga, tetapi menjadi lokasi strategis berniaga. Namun, puluhan rumah rakit di Sungai Musi sebagian besar berupa bangunan yang terbuat dari bahan kayu yang tampak rapuh.

Yanto (47), pemilik rumah rakit di kawasan Kertapati mengakui, tinggal di rumah rakit karena tidak mampu membeli rumah di darat. "Dulu, kami membangun rumah di atas sungai karena tidak mampu menyewa tempat tinggal di darat," ujarnya.

Ia menjelaskan membangun rumah rakit lebih dari 20 tahun lalu dan hanya cukup diketahui RT dan warga sekitar sungai. Rumah rakit tersebut terbuat dari kayu berupa papan seperti umumnya rumah di darat.

Di dalam ada ruang tamu, ada ruang tidur, ruang tengah untuk nonton TV, kamar mandi, dapur seperti layaknya rumah tinggal kita di daratan. Rumah Yanto tersebut diadaptasi dengan kondisi arus air karena didesain persis rakit kayu yang akan bergerak ketika air bergerak. "Ketika musim hujan, air sungai pasang, biasanya rumah berada di tengah sungai. Ketika sungai surut, rumah pun bergeser ke tepi," katanya lagi.

Menurutnya, rumah rakit dibuat dengan sistem knockdown. Maksudnya, bagian-bagian rumah, seperti pintu, jendela, dan lainnya sudah dibuat terlebih dahulu. Pemerintah harus benar-benar serius untuk melestarikan rumah rakit. (roz/ce4)

Jadi Ikon Sungai Musi

Pengamat budaya dan sejarah Palembang, Ali Hanafiah, mengatakan, rumah apung atau rumah rakit tidak bisa dipisahkan dari keberadaan Sungai Musi sebagai jalur perdagangan internasional sejak zaman dahulu.

Ali yang menjabat Kepala UPTD Museum Sultan Mahmud Badaruddin (SMB) II Palembang ini berharap, pemerintah kota memperhatikan dan melestarikan rumah rakit. "Pemerintah, warga, dan budayawan harus duduk bersama untuk mencari solusi terbaik agar rumah rakit tetap eksis dan menjadi ikon Sungai Musi. Misalnya, pemerintah bisa menjadikan rumah rakit sebagi hotel atau tempat penginapan yang menarik bagi para turis dan wisatawan yang ingin menikmati keindahan Sungai Musi," ungkapnya.

Ali menyatakan, pembangunan rumah rakit sangat jarang dan warga kurang meminatinya. Tapi, demi kelangsungan salah satu ikon budaya Palembang ini, maka mau tidak mau keberadaan rumah rakit tetap harus dipertahankan pemerintah.

Agar rumah rakit diminati banyak kalangan, maka rumah tersebut harus disesuaikan dengan perkembangan zaman, walau tidaklah mengubah seratus persen bentuk dan struktur bangunan.

"Kalau bisa, isi dalam rumah rakit dibuat lebih modern biar warga atau turis merasa nyaman. Tapi untuk bagian luar tetap dipertahankan, yakni bahan utama bambu dan kalau bisa menggunakan atap dari nipah, biasanya dicat berwarna merah dan biru, sebagi ciri khas rumah rakit sejak zaman dulu," ujarnya.

Pada masa kini, rumah rakit lebih memilih menggunakan atap dari bahan seng dan genteng, sementara nipah sudah ditinggalkan. Alasannya, karena nipah rawan ditiup badai dan angin kencang. Selain atap nipah, salah satu ciri khas dari rumah rakit adalah adanya toilet terapung. (roz/ce4)

Sumatera Ekspres, Selasa, 28 Januari 2014