Keunikan Jembatan Ogan Kertapati Lebih Kokoh Dibanding Musi II
Dibangun tahun 1939 lalu, jembatan Ogan Kertapati dinamakan dengan nama Ratu Belanda, Wilhelmina. Kala itu, jembatan tersebut termasuk bangunan fenomenal di Sumsel. Seiring perkembangan zaman, jembatan ini kurang mendapat perhatian masyarakat meski umurnya lebih tua dibanding ikon Palembang, Jembatan Ampera. Padahal, sebagai bagian dari sejarah panjang Palembang, seorang sesepuh Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Sumsel menilai, jembatan ini lebih kokoh dibanding Jembatan Musi II.
Catatan sejarah jembatan Ogan di Kertapati ibarat misteri. Banyak memperkirakan, catatan dibangun penjajah itu, dibawa sang penjajah ke negerinya, Belanda. Para pelaku sejarah pun banyak sudah meninggal.
Ada juga orang-orang tua asli Palembang, berumur 70 tahun keatas tak mengetahui kapan dibangunnya jembatan tersebut. Ketika koran ini menyambangi kawasan jembatan, beberapa orang tua yang sudah berumur 70 tahun keatas mengaku ketika mereka kecil menginjak umur 10 tahun, jembatan tersebut telah terbangun.
Keterangan didapat koran ini dari masyarakat sekitar jika jembatan tersebut merupakan kawasan vital, tempat lewatnya tentara serta kendaraan perang ketika terjadinya pertempuran. Mulai dari pertempuran Belanda melawan Jepang hingga perang lima hari lima malam.
Bahkan, saat Jepang masuk, Belanda dikabarkan menghancurkan jembatan untuk menghambat pergerakan tentara Jepang. Sempat menggunakan kayu sebagai penyangga, tahun 1956, jembatan tersebut akhirnya kembali dipugar.
Dibangun Dari Pajak Petani Karet
Dari Badan Arsip Perpustakaan dan Dokumentasi Kota Palembang, catatan terkait jembatan Ogan Kertapati hanya didapati koran ini dari sebuah buku. Berjudul “Palembang Zaman Bari” karangan sejarawan serta budayawan, almarhum Djohan Hanafiah.
Data diuraikan pun tak begitu banyak. Hanya dikatakan jika jembatan tersebut dibangun tahun 1939 lalu dan diresmikan dengan nama Wilhelmina Brug (Jembatan Wilhelmina, Red). Pembangunan jembatan dikatakan berasal dari sumbangan dari para petani-petani karet. Dimana setiap kati getah karet dikenakan satu sen.
Meski ada beberapa masyarakat mengungkapkan jika pembangunan menggunakan tenaga romusha, sesepuh Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) cabang Sumsel, Ir H Anwar Arifai membenarkan jika dana pembangunan jembatan berasal dari sumbangan petani karet di Sumsel. “Bukan sumbangan sih, tapi semacam pajak. Dipilih petani karet karena karet pada masa itu dan sampai sekarang memang tingkat ekonominya bagus,” ungkap Anwar.
Anwar yang lahir tahun 1935 lalu saja, dan asli kelahiran Palembang tak mengingat kapan jembatan tersebut dibangun. Seingatnya sejak kecil, jembatan itu sudah ada. Jembatan itu pun termasuk bangunan fenomenal pada masanya. Termasuk jembatan terbesar di Sumsel, sebelum dibangunnya jembatan Ampera tahun 1965 lalu.
Secara stuktur, Anwar Arifai menilai jika jembatan Ogan Kertapati termasuk kokoh. Blak-blakan, ia mengatakan jembatan dibangun Belanda tersebut lebih kuat dibanding Jembatan Musi II yang umurnya lebih muda karena dibangun tahun 1992.
Alasannya, dengan stuktur beton bertulang, bentang jembatan lebih pendek serta tidak begitu beratnya beban diatas, jembatan Ogan diperkirakannya akan lebih bertahan lama. Bisa jadi. Karena saat ini, hanya kendaraan beban tak begitu berat dapat melintas di jembatan Ogan.
Saat inipun, jalurnya hanya diarahkan satu arah. Dari Simpang Jakabaring menuju Terminal Karya Jaya. Truk hingga tronton dengan beban berat diwajibkan melintas melalui jembatan Musi II yang kini dilewati kendaraan dua arah.
Terbantu Jembatan Ogan II
Penilaian Anwar Arifai tak sepenuhnya mendapat dukungan. Pejabat Pembuat Komitmen dari Perencanaan dan Pengawasan Jalan Nasional Metropolis, Azwar Edie mengakui jika jembatan Ogan yang panjangnya 205,2 meter, lebar enam meter dengan enam bentang termasuk kokoh. Karena umumnya jembatan dibangun paling tidak untuk bertahan selama 50 tahun kedepan. Sedangkan jembatan Ogan umurnya sudah mencapai 71 tahun.
Hanya saja, jika dikatakan lebih kokoh dari jembatan Musi II, Azwar tampaknya kurang sreg. Alasannya, kokohnya jembatan Ogan karena hingga kini bebannya dibantu oleh jembatan disebelahnya, disebut dengan nama Jembatan Ogan II, dibangun tahun 1994 lalu dengan kontruksi baja Australia. Dengan panjang 231,6 meter, lebar tujuh meter dengan lima bentang, jembatan Ogan II menahan beban kendaraan melaju dari arah terminal Karya Jaya menuju simpang Jakabaring.
Berbeda dengan jembatan Musi II yang panjangnya 534,6 meter dengan lebar tujuh meter. Jembatan dibangun tahun 1992 dengan kontruksi baja Australia ini harus menahan beban dari dua arah sekaligus.
“Yang lewat di Musi dua saja kendaraan berat. Dan dua arah sekaligus. Seharusnya Musi dua ini sudah dibangun jembatan pendamping seperti Ogan dua biar lebih bertahan lama,” tandas Azwar.
Tinggal Masalah Perawatan
Kokohnya jembatan Ogan juga ditegaskan Kasatker Pelaksanaan Pembangunan Jalan Metropolitan Palembang, Ir H Aidil Fiqri MT. Dalam pandangannya jembatan tersebut bisa bertahan dalam jangka waktu yang lama. Apalagi, jembatan ini sudah dibantu dengan hadirnya jembatan Ogan II dibangun tahun 1992 lalu. Membuat beban terhadap kendaraan tidak terlalu berat.
Yang masih dibutuhkan tinggal perawatan. Baru-baru ini, dikatakan Aidil pihaknya melakukan penggerukan aspal. Pasalnya, aspa diatas jembatan pernah mencapai 20 cm. Sehingga, kendaraan besar seperti truk pernah masuk hingga trotoar jalan.
“Aspal diatas jembatan itu tidak boleh tebal. Kalau tebal, nanti kendaraan, terutama truk naik ke trotoar. Sedangkan trotoar jembatan itu tidak boleh dinaiki mobil apalagi truk. Bebannya tidak seimbang dan bisa merusak jembatan. Jadi aspal mesti tipis sekitar lima centimeter. Kalau sekedar motor naik ke trotoar seperti di Ampera tidak masalah,” tegasnya.
Selain masalah aspal dan trotoar, pihaknya terus memantau jika terjadinya penggeroposan tiang beton penyangga jembatan. Arus air sungai dapat membuat keropos tulang beton serta karat pada besi. “Masalah ini akan terus kita awasi dan kita perbaiki. Agar jembatan bisa bertahan lama,” tandasnya.
Mirip Dengan Jembatan Ogan di Baturaja
Di Baturaja ada juga jembatan tua namun kokoh yang menjadi jalur lalu lintas melewati Sungai Ogan I, namanya juga sama yakni Jembatan Ogan. Meskipun usianya sudah 62 tahun,namun jembatan Ogan I,yang menghubungkan pusat kota Baturaja dengan area pasar atas, kondisinya kokoh.
"Keberadaan jembatan yang berbentuk lengkung yang telah beberapa kali dicat dan berubah warna pink ini, menjadi salah satu ciri khas dan land mark Kota Baturaja dan Kabupaten OKU," jelas Muzaim Aliansya ST Msi, Kabid Pemeliharaan jalan Jembatan PU Bina Marga OKU.
Diceritakan Muzaim, sejak berdiri dan dibangun jembatan Ogan I pada tahun 1948 lalu oleh Belanda, jembatan ini memang sempat mendapatkan perawatan khusus dari Dinas PU Bina Marga Kabupaten OKU. Pada tahun 2001 lalu bagian lantai jembatan ada yang jebol,yaitu tepatnya bagian join antara jembatan. Kerusakan tersebut sudah diperbaiki dengan dicor kembali,selain itu aspal permukaan jembatan ini juga pernah di angkat dan diganti dengan material baru. Pada saat itu material aspal lama gunakan ATB (Asphalt Trade Base) diganti dengan aspal ACBC, aspal konkrit untuk perata permukaan.
Keunikan yang terlihat pada jembatan Ogan I yang berbentuk melengkung setengah lingkaran ini,sebetulnya menunjukkan bahwa pada masa itu seni arsitektur mengedepankan nilai estetika yang juga tidak mengeyampingkan nilai kekuatanya.
Model jembatan ini yang bentuknya serupa menurut Muzaim, yakni Jembatan setengah lingkar dapat ditemukan juga di Kota Martapura Kabupaten OKU Timur, Jembatan Gunung Batu Kabupaten OKUT, di Kabupaten Musi Banyuasi, serta Jembatan Ogan Kertapati Palembang. (wwn/bn)
Written by: Samuji, Selasa, 27 Desember 2011, Sumeks Minggu
0 comments:
Post a Comment
Terima Kasih Kunjungannya Saudara-saudaraku