Oleh: Yudhy Syarofi
Penggusuran pedagang kaki lima di kawasan eks-Pasar 16 Ilir saat ini sungguh miris. Dalam sejarahnya, Belanda (sebagai penjajah) sangat disiplin dalam penataan ruang. Namun, mereka masih memberikan kesempatan kepada rakyat di tanah jajahan untuk mencari nafkah. Hanya, polanya yang diatur. Lebih rapi, bersih, aman, dan nyaman.
Sebelum "campur tangan" Kolonial Belanda terhadap alam di Palembang, sebelum abad ke-20, kawasan Pasar 16 Ilir (saat ini) dahulunya merupakan pemukiman tepian sungai. Di kawasan itu, terdapat Sungai Tengkuruk, yang merupakan salah satu anak Sungai Musi, yang salah satu bagiannya bertemu dengan Sungai Kapuran. Sementara Sungai Kapuran, bertemu pula dengan Sungai Sekanak (Peta Situasi Peperangan Palembang-Belanda; Sejarah Perjuangan Sri Sultan Mahmoed Baderedin Ke II; R.H.M. Akib; 1980).
Sebagaimana sifat orang Melayu Palembang, kawasan tepian sungai --terutama Sungai Musi-- merupakan lokasi "favorit" untuk pemukiman. Pilihan ini juga merupakan "pilihan cerdas" mengingat saat itu jalur transportasi adalah air. Perahu-perahu yang berasal dari pedalaman (hulu) dengan tujuan utama berdagang, menjadikan Sungai Tengkuruk sebagai tempat singgah. Hingga sekitar tahun 1910, Sungai Tengkuruk masih "normal".
Di atas sungai itu, terdapat jembatan dan tangga-tangga yang menghubungkannya dengan daratan. Jika dilihat dari arah pertigaan Jl. Masjid Lama (saat ini), di sepanjang tepian sungai sebelah kiri, berjajar pertokoan. Sedangkan di bagian kanan, tampak rumah-rumah panggung.
Di bagian lain sungai itu, tampaklah tangga raja (hingga kini masih dinamakan demikian meskipun sudah tak ada lagi sungai dan tangganya). Tangga ini berfungsi sebagai tempat naik turunnya para pembesar Kesultanan Palembang Darussalam.
Seperti lazimnya perkembangan pasar saat ini, perdagangan di Pasar 16 Ilir berawal dari "pasar tumbuh", yang terletak di tepian Sungai Musi (sekarang Gedung Pasar 16 Ilir Baru hingga Sungai Rendang, Jl. Kebumen). Pola perdagangan di lokasi itu, setidaknya hingga awal 1900-an, dimulai dari berkumpulnya pedagang cungkukan (hamparan), yang kemudian berkembang dengan pembangunan petak permanen.
Untuk kawasan Pasar Baru (hingga kini masih bernama Jl. Pasar Baru), yang saat itu sudah berderet bangunan bertingkat dua, yang bagian bawahnya menjadi tempat berjualan. Los-los mulai dibangun sekitar tahun 1918 dan dipermanenkan sekitar tahun 1939.
Sementara itu, muara Sungai Rendang, menjadi salah satu "dermaga" pilihan perahu kajang (perahu beratap) berlabuh. Perahu, yang sekaligus menjadi tempat tinggal, ini membawa hasil bumi dari daerah di hulu Sungai Musi untuk diperdagangkan di Pasar 16 Ilir. Ini terjadi setelah pengembangan ekonomi dan kawasan, didahului pembangunan Pasar Sekanak yang masa itu disebut sebagai Pasar Ikan, tidak lama setelah penguasaan Belanda atas Palembang, tahun 1821.
Boulevard Zaman Belanda
Sekiranya tidak terjadi perang Palembang-VOC pada tahun 1658 dan 1659, barangkali "pusat kota" Palembang bukan di 16 Ilir dan sekitarnya. Setelah Keraton Palembang dibakar habis oleh VOC pada 1659, penguasa Palembang kala itu --Sido Ing Rajek—menyingkir ke Inderalaya.
Adik Sido Ing Rajek, Ki Mas Hindi Ario Kesumo Abdurrohim (Candiwalang), kemudian berkuasa setelah terjadi kekosongan pemerintahan akibat Sido Ing Rejek menolak kembali ke Palembang. Selanjutnya, Candiwalang memindahkan pusat pemerintahan ke kawasan Beringin Janggut (saat ini), membangun Kuto Cerancang atau Kuto Tengkuruk. Dia pun menjadi Sultan pertama setelah melepaskan "ikatan' ideologis dengan Mataram. Sultan pertama Kesultanan Palembang Darussalam ini bergelar Sultan Abdurrahman Khalifatul Mukminin Sayidul Iman.
Pada masa inilah, didirikan masjid, semacam alun-alun sebagai tempat beristirahat (kini Jl. Beringin Janggut), segara (kolam) di kawasan yang sekarang masih memakai nama-nama itu sebagai nama jalan. Misalnya, nama Beringin Janggut, diyakini sebagai bagian taman tempat tumbuhnya pohon beringin, yang karena tuanya sampai ber-"janggut" (akar gantung). Jalan Segaran diyakini merupakan bagian kolam (?) atau tempat orang beristirahat sehingga menjadi segar. Dan Jl. Masjid Lama, adalah lokasi berdirinya masjid sebelum Masjid Sulton (sekarang, Masjid Agung Palembang) dodirikan Sultan Mahmud Badaruddin I Jayo Wikramo.
Kotapraja (Gemeente) –kemudian dilafazkan lidah Palembang sebagai Haminte-- melakukan beberapa kebijakan pembangunan. Dibangunlah semacam taman di Talangsemut, pusat perdagangan di 16 Ilir, pelabuhan di Sungai Rendang, serta pusat perkantoran di sekitar Benteng dan Tengkuruk. Kebijakan ini termasuk rencana pembuatan boulevard atau bulevar. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, bulevar berarti jalan raya, yang biasanya ditanam pepohonan di kiri dan kanannya.
Untuk merealisasikan itu, Sungai Tengkuruk ditimbun pada tahun 1928. Di atasnya, dibangunlah jalan dalam dua jalur. Di bagian kiri --jika dilihat dari arah Sungai Musi, tampaklah jajaran pohon dan kanannya, bangunan dua tingkat, yang merupakan perkantoran. Bentuk serupa ini dapat disebut bulevar.
Melihat foto-foto lama yang menunjukkan kondisi Kawasan 16 Ilir tempo doeloe, tampaklah keteraturan. Pendapat ini memang bersifat debatable, misalnya dengan mengatakan, itu saat penduduk Palembang masih sedikit. Namun harus diakui, penataan yang dilakukan Pemerintah (Belanda) saat itu cukup apik. Namun, harus dicatat, bahwa saat itu kawasan ini tetap saja tidak bebas pedagang kaki lima. Artinya, semua berpulang kepada siapa yang mengatur dan bagaimana cara mengaturnya.
Usai penimbunan, Sungai Tengkuruk dijadikan jalan. Hal ini terkait dengan program Pemerintah Kolonial dalam penyediaan sarana “cari angin” bagi warga Eropa (soal sarana hiburan, nanti dibahas tersendiri). Ini merupakan rangkaian dari pembangunan jalan di depan Kuto Besak (kini Jl. SMB II), Staadhuisweg (kini Jl. Merdeka), jalan di tepian Sungai Sekanak samping Kantor Walikota saat ini (sekarang, Jl. Sekanak), dan Jl. Sekitar kawasan Talangsemut.
Sebuah foto bertahun 1930, menampakkan salah satu sudut jalan di Pasar 16 Ilir (dilihat dari arah Musem SMB II saat ini), menampakkan jalan dan trotoar yang bersih. Begitupun pengaturan arus lalu lintasnya. Tampak seseorang yang sedang menarik semacam gerobak penumpang. Dalam film-film kungfu Hongkong, becak serupa ini disebut rigshaw. Penariknya, seorang Cina yang rambutnya dikuncir. Tarif yang diterapkan seragam, yaitu sewang atau 10 sen. Jalan Tengkuruk pun menjadi sarana jalan di samping sebagai sarana ruang publik. Namun, penikmatnya, seperti halnya taman lain --di depan Balai Pertemuan Sekanak, Kambang Iwak, dan beberapa tempat lain-- kebanyakan adalah orang Eropa.
Pola bulevar memungkinkan jalan ini menjadi sangat sedap dipandang. Selain trotoar yang disediakan bagi pejalan kaki, dan dilengkapi pula dengan lampu hias di bagian tengah (median)-nya dan pepohonan rindang di salah satu sisinya. Sisi lain, bangunan pertokoan dan perkantoran (kini di bagian Jl. Tengkuruk Permai) tetap dipertahankan. Perlakuan sama juga atas pertokoan --umumnya dua tingkat-- di Jl Pasar Baru dan blok di Jalur 11 (nama saat ini). Beberapa foto yang diambil antara tahun 1930-1958, menunjukkan, adanya penataan di kawasan itu yang mengarah kepada bentuk pusat perbelanjaan (pertokoan). Selain bangunan toko --ini tampak pula pada foto-foto yang diambil sebelum tahun 1930-an—yang berjajar, juga tampak adanya arkade. Yaitu, lorong yang diperuntukkan bagi pejalan kaki dengan atap-atap di bagian atasnya.
Aktivitas perdagangan internasional, terutama karet (Hevea brasiliensis), tembakau, kopi, kapas (Exbucklandia populnea R. Brown), serta hasil bumi lainnya, menyebabkan kawasan ini pun menjadi “pusat” perbankan. Sepanjang tepian Sungai Musi dari Sekanak hingga 16 Ilir dipenuhi oleh rakit-rakit tumpahan. Rakit ini dimaksudkan untuk menampung hasil bumi, terutama karet, dari kawasan Uluan sebelum transaksi dilakukan. Pada masa ini, bank niaga pertama yang membuka cabangnya di Keresidenan Palembang adalah Nederlandsche Handel Maatschappij (NHM) pada tahun 1900. Sementara De Javasche Bank, sebagai bank sirkulasi untuk bank niaga, membuka cabang di Palembang pada 20 September 1909. Dapat dikatakan, NHM merupakan “pemain tunggal” di Palembang selama dua dasawarsa. Perkembangan perdagangan getah karet yang luar biasa setelah tahun 1910, membuat beberapa manajemen bank membuka cabang di Palembang. Setelah tahun 1920, berdirilah kantor cabang Nederlandsche Indische Escompto Maatschapij, Nederlandsche Indische Handelsbank, dan Hong Ho (perusahaan bank Cina).
Bank-bank yang kesemuanya berkantor di kawasan 16 Ilir ini membiayai hampir semua perdagangan karet dan kopi di Keresidenan Palembang. Sistem yang dipakai kala itu adalah gadai konsinyasi atau kredit yang diterima. Pihak bank membuat daftar dagang berjangka. Semua jenis tanaman yang tecantum di dalam daftar ini dapat dipakai sebagai bahan gadai di bank. Pembelian dan penjualan harus dilakukan melalui pialang yang diakui Kamar Dagang. Para pedagang pun dapat menggadaikan karet atau kopinya kepada bank. Komoditas ini kemudian disimpan di dalam gudang (veem) dan dapat mengambilnya kembali apabila utang sudah lunas. Pedagang juga dapat mengambil kredit di bank apabila memiliki surat tertulis dari pialang yang menyatakan bahwa sang pemohon kredit akan menyerahkan komoditas (misalnya, karet) dalam jangka waktu tertentu.
Bank Sumsel
Dengan kondisi perbankan serupa ini, tidaklah mengherankan apabila kemudian –pada masa kemerdekaan—pemerintah mendirikan bank milik daerah di kawasan ini. Karena situasi dan kondisi politik yang tidak memungkinkan menjelang akhir tahun 1950-an, pemerintah memberlakukan darurat perang. Karenanya, kebijakan pembangunan banyak dipegang oleh militer. Panglima Ketua Penguasa Perang Daerah Tentara dan Territorium (TT) II Sriwidjaja Tingkat I Sumatera Selatan, Letkol Barlian, mengeluarkan Surat Keputusan (SK) No. 132/SEP/’58 pada 10 April 1958. SK mengenai pendirian Bank Pembangunan Sumatera Selatan ini berlaku surut mulai 6 November 1957. Dengan demikian, 6 November 1957 dicatat sebagai hari lahir PT Bank Pembangunan Sumatera Selatan.
Panglima Ketua Penguasa Perang Daerah TT II Sriwidjaja Tingkat I Sumatera Selatan, Letnan Kolonel Harun Sohar, yang menggantikan Letkol Barlian pada 14 Mei 1958, kemudian mendaftarkan pendirian PT Bank Pembangunan Sumatera Selatan ke Notaris Tan Thong Kie, 29 September 1958, sehingga tercatat sebagai Akta Notaris No. 54 (Tambahan Berita-Negara RI 17/7-1959 No. 57).
Pendirian bank ini didaftarkan oleh Mayor TNI Roesnawi, Kepala Staf Harian Penguasa Perang TT II Sriwidjaja, atas kuasa Letnan Kolonel Harun Sohar, Penjabat Panglima Penguasa Perang TT II Sriwidjaja. Pendaftar kedua adalah Mr. H. Makmoen Soelaiman, Penjabat Presiden Direktur Bank Pembangunan Sumatera Selatan. Bank ini, terletak di kawasan Jl. Tengkuruk (kini Jl. Jenderal Sudirman), menempati eks-Gedung Sekolah Misi Methodist. Sejak didirikan awal abad ke-20 hingga tahun 1950-an, masyarakat Palembang menyebutnya sebagai sekolah Inggris dan jalan itu masih disebut sebagai Jalan Sekolah. Ini mengacu kepada nama jalan semasa pemerintah kolonial, yaitu Schoolweg.
Makmur meskipun di tanah jajahan. Begitulah yang dirasakan rakyat Sumatera Selatan, saat harga karet melambung-lambung hingga dua dasawarsa abad ke-20. Kawasan 16 Ilir menjadi saksi atas kemakmuran yang luar biasa itu.
Dengan tingkat kemakmuran yang tinggi ini, rakyat Keresidenan Palembang –terutama kawasan di Sumatera Selatan penghasil getah karet (Hevea Brasiliensis) itu sudah terbiasa mendengarkan piringan hitam yang diputar pada gramafon dari berbagai merek, seperti Edison, Polydor, dan His Masters Voice. Bagi yang senang dengan fotografi, tersedia pula kamera foto. Semua produk “mewah” itu diiklankan di surat kabar lokal, seperti Pertja Selatan, Pewarta Melajoe, atau Kemudi. Bagi warga yang sudah melek huruf dan mampu membaca koran, iklan itu pun memikat hati mereka. Didatangilah pertokoan di Pasar 16 Ilir untuk membeli bermacam barang itu. Tidaklah heran, apabila kemudian, setelah bertransaksi getah karet dengan para penampung, juga bank-bank yang berada di kawasan itu, para toke karet ini mengangkut beragam barang mewah ke kampung mereka. Sebagai catatan, pendirian bank-bank niaga di kawasan ini –seperti diulas pada tulisan terdahulu—dipicu oleh semakin membaiknya perekonomian di keresidenan ini.
Bisnis perkaretan di Palembang, pada masa awal abad ke-20 ini sangat menjanjikan. Apalagi setelah terjadi rubber booms antara tahun 1914-1915. Kondisi ini makin meningkat setelah tahun 1920-an. Tak heran, banyak orang kaya di Keresidenan Palembang berkat bisnis getah dari tanaman yang dibawa dari Singapura oleh jemaah haji asal Palembang itu. Tanaman yang berasal dari Desa Para –nama desa ini kemudian melekat sebagai salah satu sinonim pohon karet—yang berada di Brasil sana. Sebetulnya, bukan hanya bisnis di Keresidenan Palembang yang “meledak” akibat getah karet. Tercatat, beberapa daerah lain di wilayah Hindia Belanda mengalami hal yang sama. Ini pun menarik perhatian Pemerintah Hindia Belanda, yang pada Oktober 1924 mendirikan suatu badan yang dinamai De Native Rubber Investigation Commissie untuk melakukan semacam penelitian mengenai kondisi perkaretan di negeri jajahannya ini. Termasuk pula, berapa besar penghasilan yang didapat perusahaan eksportir. Hal itu terjadi akibat terjadinya lonjakan permintaan getah karet pada masa 1920-an. Hasil penelitian itu kemudian diterbitkan dalam sebuah laporan berjudul De Bevolkingscultuur in Nederlandsch Indie (Pertja Selatan; 7 Oktober 1927). Sebagai gambaran, dapat dilihat pada data ekspor karet pada tahun 1919-1926;
Tahun Ekspor Basah (ton) Ekspor Kering (ton) Harga (juta rupiah)
Sumber: Pertja Selatan, 7 Oktober 1927
Catatan: mata uang yang dipakai, rupiah. Surat kabar yang terbit di Palembang ini juga menampilkan data mengenai besaran ekspor karet di Indonesia, berdasarkan Keresidenan, pada tahun 1927 per Januari-September.
Keresidenan Ekspor Kering (ton) Ekspor Basah (ton)
Sumber: Pertja Selatan, 7 Oktober 1927
Palembang Punya “BG”
Dalam situasi ini, rakyat Keresidenan Palembang yang semula sangat lekat dengan budaya tepian sungai (riverine culture) mulai kenal dengan budaya “daratan”. Sebagian dari mereka yang diuntungkan oleh bisnis getah karet kemudian seolah berlomba membeli mobil. Selain distributor mobil yang menyediakan beragam merek mobil di Jl. Tengkuruk, sebuah perusahaan dagang –istilah sekarang, agen tunggal pemegang merek—mobil Ford, bahkan kemudian mendirikan ruang pamer (show room) di kawasan Sungai Rendang, yang terletak di sebelah hilir 16 Ilir. Dalam tahun 1920, mobil pribadi belum sampai 300 unit. Namun, pada tahun 1927, jumlahnya meningkat sampai 3.475 unit, terdiri atas berbagai merek, yaitu Ford, Albion, Rugby, Chevrolet, dan Whitesteam.
Saat ini, pasaran mobil demikian pesat. Dua perusahaan mobil Amerika, seperti dimuat dalam iklan di surat kabar Pertja Selatan, yaitu Ford dan Chevrolet berkompetisi merebut konsumen. Pada tahun 1920-an ini, sedan Ford dipatok dengan harga Nlg 2.155, sedangkan Chevrolet seharga Nlg 2.195.
Sebuah foto berangka tahun 1930, menunjukkan kondisi di kawasan Jl. Pasar (Pasarstraat) 16 Ilir. Pada foto ini, tampak sebuah mobil yang terlihat jelas pelat nomornya. Dari sini, dapatlah diambil kesimpulan bahwa pemakaian hirif BG sebagai identitas nomor polisi kendaraan di Palembang –mungkin juga berlaku bagi kota lain di Indonesia—merupakan adopsi dari zaman Belanda. Ternyata, bukan hanya KUHP yang diadopsi dari negeri penjajah itu.
Tulisan ini berdasarkan penelitian dari berbagai sumber, baik tertulis maupun wawancara.
Selanjutnya: Pedagang Cungkukan, Kampung Cina, dan Pertokoan
SUMBER: BERITA MUSI 03.06.2009 13:51:13 WIB
Koleksi Photo dari Berbagai Sumber @2008-2011
Koleksi Photo Palembang Tempo Dulu (Album 1)
Koleksi Photo Palembang Tempo Dulu (Album 2)
Koleksi Photo Palembang Tempo Dulu (Album 3)
0 comments:
Post a Comment
Terima Kasih Kunjungannya Saudara-saudaraku