Monday, 22 October 2012

Gending Sriwijaya Undang Kontroversi

Share on :

PALEMBANG - Film Gending Sriwijaya yang disutradarai Hanung Bramantyo menuai kontroversi. Sejumlah budayawan dan peneliti sejarah di Sumsel protes karena menilai alur cerita (plot) film menyimpang dari sejarah Kerajaan Sriwijaya. Pakaian songket dan kemben yang dikenakan bintang film itu juga dianggap keliru.

"Harus direvisi sebelum ditayangkan karena bisa jadi pembiasan sejarah," tegas Kepala Balai Arkeologi Palembang, Nurhadi Rangkuti, Minggu (21/10).

Film Gending Sriwijaya digarap Hanung Bramantyo bekerjasama dengan Pemprov Sumsel menggunakan dana APBD senilai Rp 11 miliar. Dalam anggaran disebutkan film yang akan dibuat berjenis film dokumenter. Setelah selsai film ini dikelola Badan Aset Daerah. Tender film dimenangi Putar Production pada April 2012. Ini kerjasama kedua setelah film Mengejar Angin.

Nurhadi menilai kelemahan film Gending Sriwijaya terletak pada cerita pertentangan dan perebutan tahta oleh dua anak raja (dalam film disebut Raja Dapunta Hyang Srijayanasaa. Nama Dapunta Hyang terukir di Prasasti Kedukan Bukit, 864 Masehi).

Menurut Nurhadi, dalam sejarah Kerajaan Sriwijaya tidak pernah terjadi pertentangan. Kehancuran Sriwijaya yang pernah menjadi kerajaan maritim terbesar di Nusantara disebabkan faktor eksternal, tidak ada sejarah yang mengisahkan perebutan tampuk kekuasaan di antara keturunan raja.

"Pertentangan dan kehancuran kerajaan diriwayatkan terjadi karena ada serangan dari luar kerajaan," tegas Nurhadi.

Ketua Yayasan Kebudayaan Tandipulau, Erwan Suryanegara, protes lebih keras. "Saya berani pasang leher untuk menentang film ini," katanya. Budayawan yang mendapat Magister Seni Rupa dan Desain dari Institut Teknologi Bandung ini mengatakan, kisah yang diceritakan terkesan mengada-ada karena menggabungkan Gending Sriwijaya dengan cerita Kerajaan Sriwijaya.

Dua hal ini merupakan objek yang berbeda. Gending Sriwijaya merupakan nama tarian yang diciptakan pada tahun 1943 ketika zaman penjajahan Jepang sebagai tarian penyambut petinggi Jepang ketika itu. Tari ini diciptakan Sukainah Arozak, syair diciptakan A Muhibat. Sementara Kerajaan Sriwijaya dikisahkan dalam sejarah mengalami kejayaan pada abad ke-7 hingga ke-13 masehi.

"Dua hal ini merupakan kisah yang berbeda, tidak dapat disatukan. Selisih waktu diantara keduanya jauh, berabad-abad," jelasnya.

Erwin mempermasalahkan riset yang dilakukan sutradara dan penulis skenario film karena menurutnya film ini tidak didukung riset yang cukup akan latarbelakang sejarah Sriwijaya. Kekeliruan riset juga ditunjukkan dengan kostum yang dikenakan para pemain tidak sesuai pada masanya. Para pemain mengenakan pakaian yang tidak bercirikan pakaian melayu ketika itu.

"Kemben yang digunakan itu bukan pakaian sehari-hari masyarakat ketika itu. Bagi kami, pakaian itu merupakan pakaian khusus untuk ke sungai jika hendak mandi," ungkap budayawan yang juga menjadi pengajar Palembang ini.

Sama seperti Nurhadi, perebutan kekuasaan antara kedua anak raja kerajaan yang diceritakan dalam film ini juga dipertanyakan Erwin. Sinopsis film Gending Sriwijaya mengisahkan perebutan tahta kerajaan antara dua orang anak Raja Dapunta Hyang Sri Jayanasa (dipesankan Slamet Rahardjo), yakni Awang Kencana (Agus Kuntjoro) dan Purnama Kelana (Syahrul Gunawan).

"Tidak ada sejarah yang mengisahkan perebutan kekuasaan oleh dua anak raja Kerajaan Sriwijaya," tegasnya.

Masyarakat Awam
Revisi yang dimaksud Nurhadi terkait tujuan awal pembuatan film dan alur cerita. Jika memang ditujukan hiburan, tanpa mengambil tema sejarah, memang dapat dibenarkan. Akan film ini tidak sekedar film hiburan yang fiktif belaka.

"Di dalam sinopsis dan judulnya, sudah jelas film ini mengangkat cerita sejarah Kerajaan Sriwijaya dan karya seni tari dan musik, Gending Sriwijaya," katanya. Nurhadi khawatir penonton film Gending Sriwijaya bisa terjebak dalam alur cerita yang ditampilkan. Ini akan membiaskan sejarah Kerajaan Sriwijaya. Pemilihan judul menjadi persoalan mendasar karena tidak dapat digabungkan dengan pemahaman cerita sejarah kerajaan.

"Kalau yang menonton itu masyarakat awam, dikhawatirkan akan terjadi pembiasan sejarah, karena mereka tidak mengerti benar dengan sejarah Kerajaan Sriwijaya. Lain halnya jika yang menonton adalah yang mengerti sejarah, tentunya tidak akan berpengaruh," katanya.

Proses produksi film yang menggunakan latar belakang sejarah, kata Nurhari, harus didahului oleh riset agar tidak bertentangan dengan sejarah sebenarnya. Gali informasi dari berbagai sumber.

"Kami tidak pernah diajak berdiskusi tentang pembuatan film ini. Seharusnya diproduksi berangkat dari data, tidak ngarang," katanya.

Jalan satu-satunya agar film ini tidak menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat, menurut Nurhadi, harus diadakan diskusi dengan sejarawan, budayawan, dan yang mengerti tentang Kerajaan Sriwijaya.

"Mumpung masih ada waktu sebelum dirilis, coba diskusikan kembali dengan tokoh lokal di Sumsel. Kalau pun sudah masuk tahap editing, kan bisa direvisi sebelum tayang," ujarnya bijak.

Dikonfirmasi terkait kontroversi itu, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sumsel menilai Film Gending Sriwijaya merupakan sarana promosi bagi pemerintah daerah untuk memasarkan potensi pariwitasa Sumsel ke tingkat nasional dan internasional.

"Ini merupakan satu sarana promosi kita bagi pengembangan pariwisata Sumsel di tingkat nasional dan Internasional," ujar Kadisbudpar Sumsel, Tony Panggarbesi, Jumat (19/10).

Ia menilai kontroversi kehadiran film ini di kalangan budayawan merupakan hal yang wajar, akan tetapi film ini bukan merupakan film dokumentar yang harus sesuai dengan alur sejarah. Nilai besar kerajaan Sriwijaya ditonjolkan dengan adanya film ini, sehingga menarik perhatian investor untuk menanamkan modal di Sumsel.

"Kalau film dokumenter itu tugasnya universitas dan budayawan. Ini hanya film untuk menarik perhatian dunia luar pada Sumsel, sehingga mendatangkan wisatawan dan investor," terangnya.

Disbudpar tidak terlibat langsung atas proses pembuatan film ini. Menurut Toni, proyek pembuatan film dianggarkan oleh Humas Sekretariat Daerah Provinsi Sumsel.

Dia menambahkan, pro dan kontra atas pembuatan film ini menurutnya merupakan hal yang wajar. Toni berharap agar sudut pandang terhadap kehadiran film ini juga harus disamakan sebagai alat promosi bagi daerah agar tidak terjadi kesalahpahaman.

"Kita harus ambil positifnya, film ini harus dilihat dari sudut pandang alat promosi bagi Sumsel. Promosi pariwisata dan menciptakan iklim investasi yang baik bagi investor, sehingga film ini tidak hanya menjadi alat hiburan semata," ungkapnya.

Film Dokumenter
Ditemui secara terpisah, Plt Kepala Biro Humas dan Protokol Pemprov Sumsel, Irene Camelyn Sinaga, mengatakan, pihaknya hanya menyeleksi perusahaan yang berminat menggarap film itu melalui tender. Sedangkan materi film diserahkan kepada sutradara.

“Panitia pengadaan barang dan jasa menyeleksi perusahaan yang berminat, setelah itu ditenderkan. Kami hanya menentukan durasi, anggaran, dan tema film. Tidak dari sudut materi, kami tidak menulis konsep skrip. Dari spesifikasi yang masuk, sebuah perusahaan dengan Hanung Bramayatho sebagai sutradaranya memenangkan tender,” ungkap Irene.

Menurut dia, dalam anggaran yang disiapkan, film yang akan dibuat berjenis film dokumenter. Tidak sebatas membicarakan sejarah, bisa juga bermakna cerita rakyat, mitos, dan improvisasi.

Terhadap kritikan yang diutarakan beberapa budayawan dan pakar sejarah yang mengatakan isi film menyimpang, Irene menganggap semua itu sebagai perhatian yang luar biasa kepada Pemprov Sumsel. Irine berjanji saran dan kritikan itu akan disampaikan pada saat tim panitia penyelenggara lelang memeriksa hasil film yang dibuat di Jakarta, Senin (22/10) ini.

Karena tidak ikut campur pada materi film, Irene mengaku belum mengetahui dengan persis jalannya cerita Gending Sriwijaya. Oleh sebab itu, ia juga tidak bisa mengatakan film itu layak atau tidak.

“Selama ini belum tahu materinya karena proses syuting masih terus berlangsung. Saya juga tidak bisa menilai film itu salah atau tidak. Fakta sejarahnya bagaimana, apakah film itu hanya kreativitas mereka saja atau tidak. Setelah diperiksa baru diketahui bagaimana isi film itu. Saya juga akan sampaikan masukan dan saran dari masyarakat,” jelasnya.

Menurut Irene, pihaknya tetap mengedepankan dan menghormati kerjasama antara Pemprov Sumsel dan perusahaan pemenang tender. Apabila isi film melenceng, pihaknya tetap membicarakan hal itu dengan produser film.

Tujuan awal pembuatan Film Gending Sriwijaya agar masyarakat Indonesia lebih mengenal budaya, dialek bahasa, dan daerah-daerah di Sumsel. Setelah diserahkan ke Badan Pengelolaan Aset Daerah, diharapkan ada kerjasama dengan pihak luar untuk mengenalkan film ini ke luar negeri.

Disebutkan Irene, Pemprov Sumsel tidak terlibat dalam riset dan studi awal pembuatan film, semua dilakukan oleh sutradara dan penulis cerita. Adapun anggaran pemenang tender film Gending Sriwijaya sekitar Rp11 miliar. Lebih besar dibandingkan Pengejar Angin, film pertama dibuat Pemprov Sumsel menggunakan dana Rp9 miliar.

"Film ini ditujukan untuk semua kalangan. Beberapa orang asli Sumsel yang sebelumnya lolos casting diberikan kepercayaan untuk memerankan beberapa tokoh di film Gending Sriwijaya," kata dia.

Syuting Selesai
Pernyataan Irene didukung Direktur Utama Putar Production, Doni, yang dibincangi Tribun melalui telepon, Jumat (19/10). Menurut dia, Film Gending Sriwijaya akan diserahkan kepada Pemprov Sumsel sebelum ditayangkan di bioskop. Putar Production sebagai perusahaan pemenang tender hanya bertugas membuat film. Kapan waktu penayangan, keuntungan, dan sasaran penonton ditentukan oleh Pemprov Sumsel.

“Film ini nantinya akan dikelola oleh Badan Aset Daerah. Semua keuntungan dari tayangan bioskop dan penjualan film masuk ke kas daerah. Namun kami masih membantu untuk kegiatan promosinya,” kata Doni.

Dia menjelaskan, film yang mengambil lokasi syuting di Kabupaten Lahat dan Pagaralam ini telah selesai dibuat. Rencananya pada 22 Oktober akan dilakukan preview penanyangan film bersama Pemprov Sumsel.

“Sriwijaya itu adalah kerajaan besar tetapi tidak meninggalkan banyak bukti sejarah. Visi dan misi film ini ingin menampilkan kebesaran itu agar bisa diketahui orang banyak,” ujar pria yang telah dua kali membuat film untuk Pemprov Sumsel ini.

Doni yakin film ini bakal lebih sukses dibandingkan produk sebelumnya Mengejar Angin. Sebagai sutradara, Hanung Bramantyo, menampilkan efek yang lebih teliti dan melibatkan banyak pemain berpengalaman. Pemain itu diantaranya Agus Kuncoro, Mathias Muchus, Sahrul Gunawan, Slamet Rahardjo, dan Julia Perez.

“Untuk riset dan isi film dilakukan Hanung. Kami itu mempunyai job desk yang berbeda. Perusahaan sebagai pihak yang mengikuti tender saja,” pungkasnya. (iam/wan)

Penulis : Ilham Yafiz
Editor : M. Taufik
Tribun Sumsel

0 comments:

Post a Comment

Terima Kasih Kunjungannya Saudara-saudaraku