Friday, 12 October 2012

Masjid Syeh Muhammad Azhari

Share on :



Di Pulau Seribu, Kertapati, Bantu Musafir Beribadah, Tak Masuk Peta Kota Palembang
Menyebut nama Pulau Seribu, ingatan kita pastilah melayang ke kepulauan yang menjadi kawasan objek wisata di Jakarta. Padahal, di metropolis memiliki kawasan dengan nama serupa. Sayangnya, Pulau Seribu yang ada di Palembang berada di Kelurahan Ogan Baru, Kecamatan Kertapati, tidak banyak diketahui orang. Seperti apa tempatnya?

Menyambangi Pulau Seribu tidak begitu sulit. Masuk dari dermaga pasar induk Jakabaring, masyarakat dengan mudah dapat sampai ke sana menggunakan ketek. Ongkos dipatok pun tidak begitu tinggi. Ketika Sumeks Minggu menggunakan jasa angkutan air tradisional ini, pengemudi ketek hanya meminta biaya Rp2.000 hingga Rp3.000.

Tiba di tujuan, bayangan pulau seribu seperti objek wisata yang ada di Jakarta sirna. Bahkan, pulau-pulau seperti yang ada di pulau seribu di Jakarta dan sempat dibayangkan koran ini juga tidak terlihat.

Berdasarkan cerita masyarakat, didapat secara turun menurun, nama Pulau Seribu melekat di kawasan ini, karena dulunya terdapat gundukan-gundukan tanah menyebar di tempat mereka. Gundukan tanah tersebut cukup besar dan tinggi. Dari tiap gundukan tanah dikelilingi air sungai membuat gundukan tanah yang sangat banyak tersebut ibarat pulau.

“Itu cerita dari orang-orang tua kami. Gundukan tanah itu sempat ditanami pohon jeruk dan masih terlihat. Sekarang sudah hilang dirubah dengan tanaman padi,” ungkap H Munir (53), salah seorang warga di Pulau Seribu.

Saat ini, Pulau Seribu tetap menjadi pulau besar, dikelilingi empat sungai. Dibagian depan dibatasi dengan sungai Ogan. Sebelah kanan sungai Tapa, sebelah kiri sungai Sungki, dibelakangnya sungai Remis.

Sempat sedikit berkeliling di kawasan tersebut, Sumeks Minggu melihat daerah tersebut dikelilingi rawa. Jumlah penduduk yang ada tidak begitu banyak, mayoritas berada di pinggiran sungai Ogan. Menurut Munir, jumlah Kepala Keluarga (KK) hanya 29, dibawah naungan satu Rukun Tetangga (RT).

Meski telah dibangun jalan setapak, cor beton menghubungkan daerah tersebut ke kawasan Sungki Kertapati, hingga kini masyarakat di Pulau Seribu masih begitu dekat dengan perahu dan ketek. Untuk mencapai pusat kota Palembang, mereka masih menggunakan transportasi air.

Selain jalan darat yang masih terlalu kecil, tidak begitu banyak masyarakat memiliki kendaraan (motor,red). Lain dari itu, masyakarat setempat terlihat banyak membuat perahu jukung. Pembuatan perahu ini sudah cukup lama dilakukan.

Sejak lama tempat ini sudah dialiri listrik. Hanya saja, kesan terpencil dan tertinggal masih begitu terasa. Nah, cerita Munir pada masa Kesultanan Palembang, tempat ini sebenarnya tidak ditinggali masyarakat.

Tempat Persembunyian Perompak Hingga SMB II
Tempat ini hanya didiami para perompak sebagai persembunyian. Bahkan, Sultan Mahmud Badaruddin (SMB) II diyakini pernah bersembunyi ditempat ini. Hal ini diketahui Munir setelah para zuriat SMB II yang ada di Ternate datang ke Pulau Seribu beberapa tahun lalu.

“Dari catatan SMB II yang dibaca para zuriatnya, SMB II pernah bersembunyi dari kejaran Belanda di Pulau Seribu. Zuriat SMB II sudah puluhan tahun mencari pulau ini. Tapi, yang terpikir oleh mereka sejak lama, Pulau Seribu yang ada di Jakarta,” jelas Akhmadi (26), anak dari H Munir.

Ketika satu dua keluarga yang awalnya mantan perompak mulai tinggal di Pulau ini, Munir mengatakan seorang ustad besar, Syeh Muhammad Azhari (1860-1938) yang giat menyiarkan Islam sempat singgah di rumah seorang mantan perompak yang tengah sakit untuk menumpang sholat. “Namanya juga mantan perompak, dia gak punya sajadah. Terus, Syeh Azhari mengobati perompak itu hingga sembuh,” jelas Munir.

Setelah sakitnya disembuhkan Syeh Azhari itulah, mantan perompak itu bertobat dan hendak belajar agama. Ia pun menghibahkan tanah miliknya untuk dijadikan masjid. Tawaran itu cepat diterima Syeh Azhari yang memang ingin membangun sebuah masjid.

Selain masyarakat Pulau Seribu, saat ini memang tak begitu banyak masyarakat yang datang ke masjid dibangun Syeh Azhari. Namun saat itu, ketika masyarakat Sumsel mengandalkan transportasi air, masjid yang dinamakan dari orang yang membangunnya (Syeh Muhammad Azhari,red) ini ramai dikunjungi. Dibangunnya masjid ini sangat membatu para musafir beribadah, menunaikan sholat.

“Orang-orang dari Indralaya dan Sumsel yang mau ke Palembang banyak lewat sini. Mereka mampir untuk sholat di sini,” jelas Munir.

Siapa Syeh Azhari? Munir mengatakan, ia merupakan kakek almarhum KH Zen Syukri. Ia merupakan ulama besar yang sempat menimba ilmu di Arab, Mesir hingga India. Cerita-cerita seputar Syeh Azhari ini, didapat Munir dari almarhum Zen Syukri.

“Saya pernah belajar dengan Abah Zen. Pernah juga jadi pembantunya ketika Abah menjadi anggota DPRD Palembang. Cerita Abah, sedari kecil ia sering main ke Masjid dibangun kakeknya ini. Waktu dia masih sehat, Abah rajin mengajar dan mengisi acara Islam di Masjid Syeh Azhari,” urai Munir.

Sedikit berbeda dengan keterangan Kgs HM Ibnu A SH MSi. Menurut anak ke-13 dari istri kedua almarhum KH Zen Syukri, jika Syeh Azhari sebenarnya adalah mertua ayahnya. Sehingga, dirinya sendiri memanggil Syeh Muhammad Azhari dengan sebutan kakek.

Nah, selama ini kitab-kitab tauhid yang pernah dibuat oleh Syeh Muhammad Azhari banyak dibawa penjajah Belanda ke Negerinya usai kemerdekaan. Keterangan Ibnu ada Sembilan kitab tauhid ditulis Syeh Muhammad Azhari.

Sedangkan wajah Syeh Azhari sendiri baru dilihatnya beberapa tahun lalu. Itu setelah salah seorang keluarganya mengambil copy wajah Syeh Azhari dari Museum di Belanda. “Banyak arsip kita memang dibawa oleh orang Belanda. Masalah ini, zuriat seperti kami tidak cukup. Ini masalah nasional. Pemerintah yang harusnya turun tangan,” tandasnya.

Kayu Kapuk Penopang Masjid Jadi Unglen
Dilihat dari arsitektur aslinya, masjid Syeh Azhari bisa dikatakan sebagai salah satu masjid tertua di Palembang. Berada di pinggiran sungai, masjid berada di atas air. Hingga bangunan harus ditunjang dengan kayu.

Namun kini, hal tersebut tak lagi terlihat. Sejak tahun 1993, bagian depan masjid sudah ditimbuni tanah. Tahun 2005, dengan bantuan Walikota Palembang, Ir Eddy Santana Putra, bagian dalam ditimbuni pasir.



Nah, sejak satu bulan lalu, masjid direhap. Bagian dinding kayu masjd yang sudah mulai ambruk diganti beton. Hanya bagian atas dipertahankan pengurus Masjid. Bagian atasnya sepintas terlihat mengadopsi culture China. Persis seperti masjid Lawang Kidul dan Kyia Merogan.

“Kalau ingin dibongkar dan dibangun baru secara keseluruhan, sudah ada yang bersedia. Tapi, pesan Abah Zen, bagian atas harus dipertahankan,” urai Akhmadi yang kini menjadi Ketua Pengurus Masjid Syeh Muhammad Azhari.

Orang yang ingin memberikan bantuan dengan membangun masjid dimaksud Azhari merupakan zuriat Syeh Azhari di Arah serta Zuriat SMB II di Ternate. Bantuan mereka pun ditolak dengan alasan pesan almarhum Zen Syukri. Alhasil, para pengurus harus mengandalkan dana swadaya untuk merehab masjid.

Dana didapat telah dikumpulkan sejak tujuh tahun lalu. Uang didapat mencapai Rp21 juta. Berjalan satu bulan, uang didapat samasekali tidak cukup. Hingga kini sudah Rp55 juta dikeluarkan pengurus Masjid. “Banyak yang bantu. Dari uang hingga material. Yang pasti, kita sudah sampaikan proposal bantuan sama Allah SWT. Itu ajaran Abah Zen,” jelas Akhmadi.

Cerita menarik dan diyakini warga sekitar seputar tiang penyangga atap masjid. Dari empat tiang utama, satu diantaranya diyakini warga merupakan kayu kapuk. Karena dibagian atasnya terdapat duri.

Hanya saja dari serat dan warna kayu, warga menyakini tiang tersebut merupakan kayu unglen. Hingga kayu tersebut dijuluki warga kayu kapuk yang berubah menjadi kayu unglen.

Bagaimana bisa? Ditanya seperti itu H Munir menjawab seadanya. “Orang besar seperti Syeh Azhari merupakan orang yang dekat dengan Allah SWT. Tentu saja kami yakin beliau memiliki kharomah,” tandasnya.

Sementara Camat Kertapati Zaini dikonfirmasi Kamis (17/5) tak banyak mengetahui sisi sejarah pulau seribu serta masjid Syeh Azhari. Pun begitu ia tak mengelak jika Pulau Seribu yang berada di wilayahnya termasuk terpencil, bahkan sedikit terbelakang.

Diakui Zaini, pulau yang satu ini tidak setenar Pulau Kemarau atau Pulokerto. Hingga tidak banyak diketahui oleh masyarakat luas. Tempat ini terpencil karena memang belum banyak sarana yang masuk. Bahkan, diperkirakannya, pulau ini tidak masuk dalam peta kota Palembang.

“Kalau mau pasti, di cek saja di Bapedda. Mereka yang buat peta kota Palembang,” tukasnya.

Benar juga. M Syafri HN Kepala Bapedda Palembang samasekali tidak mengetahui tempat ini. Meski meminta koran ini menghubungi bawahannya Nur Hendratama ST MT di bagian Tata Ruang, Pulau ini juga tidak diketahui. (wwn)

Written by: Samuji Selasa, 22 Mei 2012 11:18 WIB | Sumeks Minggu

2 comments:

  1. Izin...lihat-lihat dan baca Masjidnya mas. :)

    ReplyDelete
  2. oke Mas, terima kasih kunjungannya Mas Abed

    ReplyDelete

Terima Kasih Kunjungannya Saudara-saudaraku