Saturday 6 October 2012

Jembatan Ampera, Mahakarya Anak Negeri

Share on :

Jembatan Ampera

Jembatan Ampera yang terletak di tengah Kota Palembang, Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel), dan membentang di atas Sungai Musi, merupakan jembatan kebanggaan warga Sumsel, khususnya wong Palembang, bahkan rakyat Indonesia secara umum.

Jembatan ini menghubungkan daerah Seberang Ulu dan Seberang Ilir yang dipisahkan oleh Sungai Musi. Mahakarya anak negeri ini telah menjadi semacam ikon kota (icon of the city). Jadi tak heran jika seseorang datang ke Palembang merasa tidaklah lengkap kalau belum melihat dari dekat atau berpose di jembatan ini.

Sebagai sarana penghubung, keberadaan Jembatan Ampera sangat penting sekali artinya, bahkan boleh dikatakan sangat vital, bagi sebagian besar warga masyarakat kota Palembang.

Warga yang memanfaatkan jembatan ini tiap hari terus bertambah, seiring dengan terus meningkatnya populasi penduduk dan derasnya pertambahan jumlah kendaraan.

Setiap hari, ratusan ribu warga yang ingin melakukan aktivitas rutin mereka, baik yang berjalan kaki maupun dengan kendaraan, melintas di atas jembatan ini.

Tak heran jika Jembatan Ampera kini rawan terjadi kemacetan arus lalu lintas, terutama pada jam-jam sibuk.

Meski telah “berumur” namun jembatan berkonstruksi baja ini tetap kokoh. Kendati demikian Pemerintah Provinsi Sumsel berencana membangun jembatan baru sebagai solusi mengatasi kemacetan arus lalu lintas yang diprediksi akan semakin parah.

Jembatan tersebut rencananya diberi nama Jembatan Musi III. Setelah itu juga direncanakan dibangun Jembatan Musi IV.

Jembatan Ampera dibangun pada masa pemerintahan Soekarno, tepatnya bulan April 1962. Dananya berasal dari hasil pampasan perang pemerintah Jepang. Tenaga ahlinya pun didatangkan dari Jepang.

Saat diresmikan pada Mei 1965, Jembatan Ampera diklaim sebagai jembatan terbesar di Asia Tenggara. Total panjang jembatan mencapai 1.177 meter (3.665 kaki), lebar 22 meter (72 kaki), tinggi 63 meter (207 kaki), dan bentang utama 75 meter (246 kaki).



Ide pembangunan Jembatan Ampera sebetulnya sudah ada sejak zaman Gemeente Palembang yaitu pada tahun 1906. Tujuannya untuk menyatukan dua daratan di Kota Palembang yaitu Seberang Ulu dan Seberang Ilir.

Tahun 1924, saat Walikota Palembang dijabat Le Cocq de Ville, ide ini dimunculkan kembali. Berbagai usaha dilakukan untuk merealisasikannya. Namun sampai masa jabatan Le Cocq berakhir, bahkan ketika Belanda hengkang dari Indonesia, proyek itu tidak pernah terealisasi.

Setelah merdeka, tepatnya pada sidang pleno 29 Oktober 1956, DPRD Peralihan Kota Besar Palembang kembali mengusulkan pembangunan jembatan tersebut. Kala itu disebut Jembatan Musi dengan merujuk nama Sungai Musi yang dilintasinya.

Tahun 1957 dibentuk panitia pembangunan yang terdiri atas Penguasa Perang Komando Daerah Militer IV/Sriwijaya, Harun Sohar, dan Gubernur Sumatera Selatan, HA Bastari. Pendampingnya, Walikota Palembang, M Ali Amin, dan Indra Caya.


Ampera Dibangun

Tim ini melakukan pendekatan kepada Bung Karno agar mendukung rencana itu. Bung Karno pun setuju dengan syarat di kedua ujung jembatan dibangun taman terbuka (boulevard).

Awalnya jembatan ini dinamai Jembatan Bung Karno, dengan alasan sebagai bentuk penghargaan kepada Presiden RI pertama itu. Tahun 1966 diubah menjadi Jembatan Ampera, singkatan dari Amanat Penderitaan Rakyat. Perubahan dilakukan menyusul kuatnya gerakan anti-Soekarno.

Dulu, bagian tengah badan jembatan ini bisa diangkat ke atas agar tiang kapal yang lewat di bawahnya tidak tersangkut badan jembatan. Bagian tengah jembatan dapat diangkat dengan peralatan mekanis, dua bandul pemberat masing-masing sekitar 500 ton di dua menaranya. Total waktu yang diperlukan untuk mengangkat penuh bagian tengah jembatan selama 30 menit.

Pada saat bagian tengah jembatan diangkat, kapal dengan ukuran lebar 60 meter dan dengan tinggi maksimum 44,50 meter, bisa lewat mengarungi Sungai Musi. Bila bagian tengah jembatan ini tidak diangkat, tinggi kapal maksimum yang bisa lewat di bawah jembatan hanya sembilan meter dari permukaan air sungai.

Sejak tahun 1970, aktivitas turun naik bagian tengah jembatan ini sudah tidak dilakukan lagi. Alasannya, waktu yang digunakan untuk mengangkat jembatan ini dianggap mengganggu arus lalu lintas di atasnya. Apalagi dengan kondisi jumlah kendaraan saat ini. (SUDARWAN)

Sriwijaya Post – Kamis, 12 Mei 2011 22:43 WIB

0 comments:

Post a Comment

Terima Kasih Kunjungannya Saudara-saudaraku