Monday, 22 October 2012

Dewan Sumsel Ajak Diskusi Gending Sriwijaya

Terkait kontroversi Film Gending Sriwijaya yang menuai kontroversi karena budayawan dan peneliti sejarah menilai telah terjadi pembaisan sejarah, Ketua Komisi V DPRD Sumsel, MF Ridho, mengatakan, pihaknya tidak menemukan adanya anggaran yang dialokasikan untuk pembuatan film tersebut pada kegiatan mitra kerja Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumsel.

"Saya tidak tahu menggunakan anggaran Satuan Kerja Pelaksana Daerah (SKPD) mana, silakan cek saja," katanya.

Pembuatan film Gending Sriwijaya merupakan bagian kegiatan seni dan budaya. Tujuannya sangat positif sebagai media promosi seni dan budaya Sumsel. Tinggal bagaimana kita meluruskan perbedaan pendapat diantara budayawan, sejarawan dan produser film.

Untuk menciptakan persamaan pendapat, perlu dilakukan diskusi yang melibatkan semua unsur yang mengerti sejarah dan film.
<"Kita semua bukan pelaku sejarah, jadi jangan sampai menganalisa dan memberikan pendapat itu di waktu yang berbeda. Mungkin dengan melibatkan orang-orang tua kita yang mengerti sejarah bisa membantu meluruskan perbedaan yang ada," ujar Ridho.



Selain meluruskan pendapat, diskusi juga sangat bermanfaat untuk mencari data faktual mengenai sejarah di Sumsel. Sutradara juga belum bisa dinilai salah atau benar. Mungkin ia memiliki alasan dan referensi yang berbeda dalam merumuskan jalan cerita film.

"Sebenarnya saya juga belum membaca dan melihat bagaimana jalannya cerita film dibuat itu. Dengan demikian belum bisa memberikan penilaian tentang film itu," kata dia.

Budayawan seharusnya juga bersikap pro aktif untuk menciptakan pertemuan agar tidak terjadi silang pendapat dengan jarak yang jauh. Bisa membuat surat ke legislatif atau pemerintah provinsi. Setahu saya, belum ada surat yang masuk ke kami untuk membicarakan perbedaan pendapat mengenai sejarah Sriwijaya yang difilmkan itu.

Secara terpisah, Ketua DKSS Sumsel, dr Zulkhair Ali, mengatakan, kita harus lihat dari sisi positif, film ini akan membangkitkan kembali semangat Kerajaan Sriwijaya ke dalam jiwa pemuda. Persoalan yang diperdebatkan oleh budayawan benar adanya, akan tetapi ide membuat film ini juga perlu diapresisasi karena mengangkat kebesaran nama Kerajaan Sriwijaya.

"Film ini karya seni hiburan tanpa mengedepankan sisi alur sejarah yang sebenarnya. Saya hadir dalam acara gelar budaya dan silaturahim budayawan, seniman, serta tokoh masyarakat Sumsel bersama pemeran film Gending Sriwijaya 5 Agustus lalu di Griya Agung. Di sana sutradara sudah menyatakan film ini bukanlah film sejarah," katanya.

"Saya dan DKSS baru mengetahui pembuatan film ini ketika diundang dalam acara tersebut. Kami memang tidak pernah dihubungi untuk berdiskusi. Kemudian hari saya baru mengetahui jika film ini karya seni yang tidak dilandasi riwayat sejarah, karena bukan film sejarah Kerajaan Sriwijaya," ujar Zulkhair.

Diskusi dan dialog baru dapat dilakukan jika karya seni ini mengisahkan cerita sejarah yang sebenarnya dalam konsep film dokumenter. Di luar konsep itu karya film bisa dijadikan karya fiksi.

Kalau film dokumenter memang harus dilakukan riset, karena tidak boleh ada unsur fiksinya. Apa yang disampaikan oleh para seniman dan budayawan benar, tetapi film ini juga tidak salah, karena bukan film sejarah dan konsepnya juga ada unsur fiksi.

Menurut dia, dalam konteks promosi suatu daerah, konsep film dokumenter kurang bisa mencapai target karena sulit dijual dan penontonnya juga kalah bersaing dengan film hiburan. Film ini bukan berada dalam konteks film dokumenter.

Perbedaan inilah yang harus disampaikan kepada publik secara terang-terangan, sebelum film tersebut ditayangkan. Dengan adanya keterangan unsur fiksi di dalam film ini nantinya diharapkan penonton tidak terjebak pada alur cerita yang sesuai dengan sejarah yang sebenarnya.

Sebelum dimulai, seharusnya sutradara menyampaikan pesan terlebih dulu, yang menyatakan film ini merupakan karya fiksi, sehingga tidak ada yang salah menilainya. Budayawan tidak ingin kontroversi film ini dikedepankan ketimbang sisi positifnya. Persoalan tersebut bisa diatasi dengan dialog. Peluang dialog dan komunikasi itu masih terbuka.

"Saya sependapat dengan pak Nurhadi Rangkuti, selagi bisa dialog ya lakukan, jangan kita lihat dari sisi kontroversinya". (iam/wan)

Editor : Aang Hamdani
Tribun Sumsel

Gending Sriwijaya Undang Kontroversi

PALEMBANG - Film Gending Sriwijaya yang disutradarai Hanung Bramantyo menuai kontroversi. Sejumlah budayawan dan peneliti sejarah di Sumsel protes karena menilai alur cerita (plot) film menyimpang dari sejarah Kerajaan Sriwijaya. Pakaian songket dan kemben yang dikenakan bintang film itu juga dianggap keliru.

"Harus direvisi sebelum ditayangkan karena bisa jadi pembiasan sejarah," tegas Kepala Balai Arkeologi Palembang, Nurhadi Rangkuti, Minggu (21/10).

Film Gending Sriwijaya digarap Hanung Bramantyo bekerjasama dengan Pemprov Sumsel menggunakan dana APBD senilai Rp 11 miliar. Dalam anggaran disebutkan film yang akan dibuat berjenis film dokumenter. Setelah selsai film ini dikelola Badan Aset Daerah. Tender film dimenangi Putar Production pada April 2012. Ini kerjasama kedua setelah film Mengejar Angin.

Nurhadi menilai kelemahan film Gending Sriwijaya terletak pada cerita pertentangan dan perebutan tahta oleh dua anak raja (dalam film disebut Raja Dapunta Hyang Srijayanasaa. Nama Dapunta Hyang terukir di Prasasti Kedukan Bukit, 864 Masehi).

Menurut Nurhadi, dalam sejarah Kerajaan Sriwijaya tidak pernah terjadi pertentangan. Kehancuran Sriwijaya yang pernah menjadi kerajaan maritim terbesar di Nusantara disebabkan faktor eksternal, tidak ada sejarah yang mengisahkan perebutan tampuk kekuasaan di antara keturunan raja.

"Pertentangan dan kehancuran kerajaan diriwayatkan terjadi karena ada serangan dari luar kerajaan," tegas Nurhadi.

Ketua Yayasan Kebudayaan Tandipulau, Erwan Suryanegara, protes lebih keras. "Saya berani pasang leher untuk menentang film ini," katanya. Budayawan yang mendapat Magister Seni Rupa dan Desain dari Institut Teknologi Bandung ini mengatakan, kisah yang diceritakan terkesan mengada-ada karena menggabungkan Gending Sriwijaya dengan cerita Kerajaan Sriwijaya.

Dua hal ini merupakan objek yang berbeda. Gending Sriwijaya merupakan nama tarian yang diciptakan pada tahun 1943 ketika zaman penjajahan Jepang sebagai tarian penyambut petinggi Jepang ketika itu. Tari ini diciptakan Sukainah Arozak, syair diciptakan A Muhibat. Sementara Kerajaan Sriwijaya dikisahkan dalam sejarah mengalami kejayaan pada abad ke-7 hingga ke-13 masehi.

"Dua hal ini merupakan kisah yang berbeda, tidak dapat disatukan. Selisih waktu diantara keduanya jauh, berabad-abad," jelasnya.

Erwin mempermasalahkan riset yang dilakukan sutradara dan penulis skenario film karena menurutnya film ini tidak didukung riset yang cukup akan latarbelakang sejarah Sriwijaya. Kekeliruan riset juga ditunjukkan dengan kostum yang dikenakan para pemain tidak sesuai pada masanya. Para pemain mengenakan pakaian yang tidak bercirikan pakaian melayu ketika itu.

"Kemben yang digunakan itu bukan pakaian sehari-hari masyarakat ketika itu. Bagi kami, pakaian itu merupakan pakaian khusus untuk ke sungai jika hendak mandi," ungkap budayawan yang juga menjadi pengajar Palembang ini.

Sama seperti Nurhadi, perebutan kekuasaan antara kedua anak raja kerajaan yang diceritakan dalam film ini juga dipertanyakan Erwin. Sinopsis film Gending Sriwijaya mengisahkan perebutan tahta kerajaan antara dua orang anak Raja Dapunta Hyang Sri Jayanasa (dipesankan Slamet Rahardjo), yakni Awang Kencana (Agus Kuntjoro) dan Purnama Kelana (Syahrul Gunawan).

"Tidak ada sejarah yang mengisahkan perebutan kekuasaan oleh dua anak raja Kerajaan Sriwijaya," tegasnya.

Masyarakat Awam
Revisi yang dimaksud Nurhadi terkait tujuan awal pembuatan film dan alur cerita. Jika memang ditujukan hiburan, tanpa mengambil tema sejarah, memang dapat dibenarkan. Akan film ini tidak sekedar film hiburan yang fiktif belaka.

"Di dalam sinopsis dan judulnya, sudah jelas film ini mengangkat cerita sejarah Kerajaan Sriwijaya dan karya seni tari dan musik, Gending Sriwijaya," katanya. Nurhadi khawatir penonton film Gending Sriwijaya bisa terjebak dalam alur cerita yang ditampilkan. Ini akan membiaskan sejarah Kerajaan Sriwijaya. Pemilihan judul menjadi persoalan mendasar karena tidak dapat digabungkan dengan pemahaman cerita sejarah kerajaan.

"Kalau yang menonton itu masyarakat awam, dikhawatirkan akan terjadi pembiasan sejarah, karena mereka tidak mengerti benar dengan sejarah Kerajaan Sriwijaya. Lain halnya jika yang menonton adalah yang mengerti sejarah, tentunya tidak akan berpengaruh," katanya.

Proses produksi film yang menggunakan latar belakang sejarah, kata Nurhari, harus didahului oleh riset agar tidak bertentangan dengan sejarah sebenarnya. Gali informasi dari berbagai sumber.

"Kami tidak pernah diajak berdiskusi tentang pembuatan film ini. Seharusnya diproduksi berangkat dari data, tidak ngarang," katanya.

Jalan satu-satunya agar film ini tidak menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat, menurut Nurhadi, harus diadakan diskusi dengan sejarawan, budayawan, dan yang mengerti tentang Kerajaan Sriwijaya.

"Mumpung masih ada waktu sebelum dirilis, coba diskusikan kembali dengan tokoh lokal di Sumsel. Kalau pun sudah masuk tahap editing, kan bisa direvisi sebelum tayang," ujarnya bijak.

Dikonfirmasi terkait kontroversi itu, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sumsel menilai Film Gending Sriwijaya merupakan sarana promosi bagi pemerintah daerah untuk memasarkan potensi pariwitasa Sumsel ke tingkat nasional dan internasional.

"Ini merupakan satu sarana promosi kita bagi pengembangan pariwisata Sumsel di tingkat nasional dan Internasional," ujar Kadisbudpar Sumsel, Tony Panggarbesi, Jumat (19/10).

Ia menilai kontroversi kehadiran film ini di kalangan budayawan merupakan hal yang wajar, akan tetapi film ini bukan merupakan film dokumentar yang harus sesuai dengan alur sejarah. Nilai besar kerajaan Sriwijaya ditonjolkan dengan adanya film ini, sehingga menarik perhatian investor untuk menanamkan modal di Sumsel.

"Kalau film dokumenter itu tugasnya universitas dan budayawan. Ini hanya film untuk menarik perhatian dunia luar pada Sumsel, sehingga mendatangkan wisatawan dan investor," terangnya.

Disbudpar tidak terlibat langsung atas proses pembuatan film ini. Menurut Toni, proyek pembuatan film dianggarkan oleh Humas Sekretariat Daerah Provinsi Sumsel.

Dia menambahkan, pro dan kontra atas pembuatan film ini menurutnya merupakan hal yang wajar. Toni berharap agar sudut pandang terhadap kehadiran film ini juga harus disamakan sebagai alat promosi bagi daerah agar tidak terjadi kesalahpahaman.

"Kita harus ambil positifnya, film ini harus dilihat dari sudut pandang alat promosi bagi Sumsel. Promosi pariwisata dan menciptakan iklim investasi yang baik bagi investor, sehingga film ini tidak hanya menjadi alat hiburan semata," ungkapnya.

Film Dokumenter
Ditemui secara terpisah, Plt Kepala Biro Humas dan Protokol Pemprov Sumsel, Irene Camelyn Sinaga, mengatakan, pihaknya hanya menyeleksi perusahaan yang berminat menggarap film itu melalui tender. Sedangkan materi film diserahkan kepada sutradara.

“Panitia pengadaan barang dan jasa menyeleksi perusahaan yang berminat, setelah itu ditenderkan. Kami hanya menentukan durasi, anggaran, dan tema film. Tidak dari sudut materi, kami tidak menulis konsep skrip. Dari spesifikasi yang masuk, sebuah perusahaan dengan Hanung Bramayatho sebagai sutradaranya memenangkan tender,” ungkap Irene.

Menurut dia, dalam anggaran yang disiapkan, film yang akan dibuat berjenis film dokumenter. Tidak sebatas membicarakan sejarah, bisa juga bermakna cerita rakyat, mitos, dan improvisasi.

Terhadap kritikan yang diutarakan beberapa budayawan dan pakar sejarah yang mengatakan isi film menyimpang, Irene menganggap semua itu sebagai perhatian yang luar biasa kepada Pemprov Sumsel. Irine berjanji saran dan kritikan itu akan disampaikan pada saat tim panitia penyelenggara lelang memeriksa hasil film yang dibuat di Jakarta, Senin (22/10) ini.

Karena tidak ikut campur pada materi film, Irene mengaku belum mengetahui dengan persis jalannya cerita Gending Sriwijaya. Oleh sebab itu, ia juga tidak bisa mengatakan film itu layak atau tidak.

“Selama ini belum tahu materinya karena proses syuting masih terus berlangsung. Saya juga tidak bisa menilai film itu salah atau tidak. Fakta sejarahnya bagaimana, apakah film itu hanya kreativitas mereka saja atau tidak. Setelah diperiksa baru diketahui bagaimana isi film itu. Saya juga akan sampaikan masukan dan saran dari masyarakat,” jelasnya.

Menurut Irene, pihaknya tetap mengedepankan dan menghormati kerjasama antara Pemprov Sumsel dan perusahaan pemenang tender. Apabila isi film melenceng, pihaknya tetap membicarakan hal itu dengan produser film.

Tujuan awal pembuatan Film Gending Sriwijaya agar masyarakat Indonesia lebih mengenal budaya, dialek bahasa, dan daerah-daerah di Sumsel. Setelah diserahkan ke Badan Pengelolaan Aset Daerah, diharapkan ada kerjasama dengan pihak luar untuk mengenalkan film ini ke luar negeri.

Disebutkan Irene, Pemprov Sumsel tidak terlibat dalam riset dan studi awal pembuatan film, semua dilakukan oleh sutradara dan penulis cerita. Adapun anggaran pemenang tender film Gending Sriwijaya sekitar Rp11 miliar. Lebih besar dibandingkan Pengejar Angin, film pertama dibuat Pemprov Sumsel menggunakan dana Rp9 miliar.

"Film ini ditujukan untuk semua kalangan. Beberapa orang asli Sumsel yang sebelumnya lolos casting diberikan kepercayaan untuk memerankan beberapa tokoh di film Gending Sriwijaya," kata dia.

Syuting Selesai
Pernyataan Irene didukung Direktur Utama Putar Production, Doni, yang dibincangi Tribun melalui telepon, Jumat (19/10). Menurut dia, Film Gending Sriwijaya akan diserahkan kepada Pemprov Sumsel sebelum ditayangkan di bioskop. Putar Production sebagai perusahaan pemenang tender hanya bertugas membuat film. Kapan waktu penayangan, keuntungan, dan sasaran penonton ditentukan oleh Pemprov Sumsel.

“Film ini nantinya akan dikelola oleh Badan Aset Daerah. Semua keuntungan dari tayangan bioskop dan penjualan film masuk ke kas daerah. Namun kami masih membantu untuk kegiatan promosinya,” kata Doni.

Dia menjelaskan, film yang mengambil lokasi syuting di Kabupaten Lahat dan Pagaralam ini telah selesai dibuat. Rencananya pada 22 Oktober akan dilakukan preview penanyangan film bersama Pemprov Sumsel.

“Sriwijaya itu adalah kerajaan besar tetapi tidak meninggalkan banyak bukti sejarah. Visi dan misi film ini ingin menampilkan kebesaran itu agar bisa diketahui orang banyak,” ujar pria yang telah dua kali membuat film untuk Pemprov Sumsel ini.

Doni yakin film ini bakal lebih sukses dibandingkan produk sebelumnya Mengejar Angin. Sebagai sutradara, Hanung Bramantyo, menampilkan efek yang lebih teliti dan melibatkan banyak pemain berpengalaman. Pemain itu diantaranya Agus Kuncoro, Mathias Muchus, Sahrul Gunawan, Slamet Rahardjo, dan Julia Perez.

“Untuk riset dan isi film dilakukan Hanung. Kami itu mempunyai job desk yang berbeda. Perusahaan sebagai pihak yang mengikuti tender saja,” pungkasnya. (iam/wan)

Penulis : Ilham Yafiz
Editor : M. Taufik
Tribun Sumsel

Wednesday, 17 October 2012

Mengukur Kekuatan Kandidat Gubernur Sumatera Selatan 2013-2018

Genderang Pemilihan Gubernur (Pilgub) sudah ditabuh sejak beberapa bulan lalu. Kini, peta kekuatan masing-masing kandidat sudah mulai mengerucut. Setidaknya ada lima hingga delapan nama yang mencuat ke permukaan. Sebut saja incumbent Gubernur Sumsel H Alex Noerdin, Wali Kota Palembang H Eddy Santana Putra, Bupati OKI H Ishak Mekki, Bupati OKU Timur H Herman Deru, Bupati Musi Rawas H Ridwan Mukti, dan Wakil Gubernur Sumsel H Eddy Yusuf. Beberapa lain muncul sebagai calon independen, seperti mantan Pankostrad TNI yang kini jadi Komisaris PT Pusri, Letjen TNI (purn) Burhanuddin Amin, dan mantan Kabareskrim Mabes Polri, Komjen Pol Susno Duadji.

Nama yang paling intens muncul di media dan diperkirakan memiliki kekuatan terbesar ada pada Alex Noerdin, Eddy Santana, Ishak Mekki, dan Herman Deru. Hanya saja belum ada survei yang menyatakan dukungan signifikan untuk para bakal calon gubernur Sumsel periode 2013-2018 tersebut. Beberapa pengamat politik yang juga akademisi malah melihat kekuatan para calon dari apa yang sudah mereka lakukan selama ini ketika menjadi kepala daerah. Maklum, beberapa nama yang mulai mengisi ruang publik hampir rata-rata kepala daerah aktif yang juga impinan parpol atau ormas di Sumsel.

Pengamat politik dari Universitas Sriwijaya, Dra Diah Hapsari ENH MSi mengatakan, kekuatan kandidat belum belum bisa dikatakan signifikan tanpa ada kajian ilmiah melalui survei. "Saya belum bisa sebutkan siapa yang paling kuat dan siapa yang kurang. Sebab, semua harus melalui kajian survei," kata Diah kepada Sumatera Ekspres, kemarin.

Selain itu, Lanjut Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) tersebut, hampir semua kandidat sudah melakukan sosialisasi untuk merebut hati rakyat. "Kita lihat pendidikan politik di Sumsel sudah mulai dewasa. Tampak di banner-banner, spanduk, kunjungan di lapangan dan sosialisasi tampil di media massa," kata Diah.

Pengamat dari IAIN Raden Fatah, Prof Dr Ris'an Rusli MA mengatakan, kandidat yang diperkirakan mendapat hati di masyarakat yaitu kandidat yang sudah melaksanakan amanah dengan baik. "Masyarakat kita sudah pandai menilai mana calon pemimpin yang baik mana yang hanya kamuflase. Saat ini yang terpenting jualan program. Jualan agama malah tidak terlalu laku lagi," ujar pria yang menjabat Direktur Pascasarjana IAIN Raden Fatah Palembang itu.

Ris'an mengatakan, kandidat perlu menampilkan kesederhanaan tidak bermewah-mewah. "Coba perhatikan fenomena Jokowi di DKI. Dia menunjukkan program apa yang akan lakukan ketika dipilih, bagaimana cara dia memperjuangkan rakyat kecil di bantaran Sungai Ciliwung Jakarta, dan bagaimana pedagang kaki lima akan dicerahkan nasibnya," ujarnya.

Pengamat politik Dr Andries Lionardo SIP MSi menilai, kandidat harus memiliki instrumen atau indikator agar bisa dipilih. Hanya saja, dia yakin pertarungan Pilgub Sumsel 2013 bakal seru dan panas. Soalnya masing-masing kandidat mempunyai lumbung massa dan jarinngan yang hebat-hebat.

Menurut Andries, minimal ada empat hal yang harus diperhatikan masing-masing kandidat. Pertama, apa yang telah diperbuat oleh masing-masing kandidat ketika menjadi kepala daerah. "Kan nama-nama yang muncul sebagai calon gubernur sekarang rata-rata sedang menjadi kepala daerah. Jadi masyarakat sudah tahu apa yang mereka lakukan, mengena untuk masyarakat dan yang tidak mengena untuk masyarakat," ujarnya.

Dia mencontohkan, Eddy Santana unggul di bidang sektor transportasi dengan adanya TransMusi. Herman Deru unggul dengan program pertanian. Alex Noerdin unggul dengan program kesehatan dan pendidikan gratis. "Masyarakat pasti bisa melakukan evaluasi terhadap kebijakan publik yang dilakukan ole para kandidat selama menjabat kepala daerah, bupati, atau gubernur," kata Andries.

Kedua, dilihat dari dukungan parpol. "Walaupun citra parpol sekarang sedang diragukan karena ada kesan hanya mencari duit, namun mesin parpol masih efektif untuk menggerakkan massa . Parpol masih menjadi andalan untuk membantu mendongkrak simpati masyarakat untuk kandidat," kata dia.

Ketiga, pendidikan politik bagi rakyat. Pendidikan politik itu dilihat dari visi misi atau program ke depan. Apa yang akan dijual kepada masyarakat? Kandidat harus benar-bennar menyampaikan program secara riil, bukan kamuflase. Sebab, lanjut Andries, rakyat sudah tahu janji kandidat hanya bualan atau program nyata tulus keluar dari hati. "rakyat kita sudah pintar." Dia mencontohkan, Alex Noerdin mempunyai peluang karena incumbent, dia ketua partai Golkar Sumsel, serta memiliki program kesehatan gratis dan pendidikan gratis. "Masyarakat sendiri yang bisa mengevaluasi atasprogram yang yang sudah digulirkan selama ini," kata Dosen FISiP Unsri itu.

Contoh lain, Eddy Santana. Dia memiliki mempunyai kelebihan sukses membaawa Kota Palembang makin maju, hanya saja Eddy kurang populer di pedesaan. "Makanya mesin parpol juga mempengaruhi untuk Eddy di luar kota," ulasnya. Untuk Herman Deru, kata Andries, mempunyai keunggulan karena menjadikan kabupateen pemekaran OKU Timur menjadi salah satu kabupaten lumbung pangan nasional. Hal serupa terjadi pada Ridwan Mukti, daerahnya berhasil menjadi salah satu penghasil beras untuk cadangan nasional. Begitu pula Ishak Mekki, dia memiliki jaringan parpol Demokrat hingga kepelosok desa. "Memang Ishak bellum dikenal merata di Sumsel, tapi mesin parpol yang harus bergerak," ujarnya. Untuk Eddy Yusuf, walau bukan ketua parpol atau ormas di Sumsel, namun Eddy Yusuf pernah menjadi Bupati di OKU. Eddy juga sedang menjabat Wakil Gubrnur. Hanya saja program Eddy Yusuf tidak kelihatan karena dinilai mengekor satu paket dengan program gubernur.

Keempat, faktor yang mempengaruhi masyarakat ialah calon wakil gubernur, yang akan menjadi pasangan kandidat gubernur. "Calon wakil gubernur juga penting. Apakah dia berasal dari parpol, gendernya apa, birokrat, pengusaha, tokoh agama, politisi, pebisnis sdan sebagainya. Jangan anggap enteng calon wakil gubernur, karena pasangan bisa mberpengaruh besar untuk membantu mendulang suara," pungkasnya. (asm/ce1)

No 1. Ir H Alex Noerdin SH



Kekuatan:
- Incumbent Gubernur Sumsel

- Ketua DPD Golkar Sumsel

- Basis massa antara lain di Empat Lawang, Lahat, Muba, Pagaralam, Muara Enim

- Mempunyai program Sekolah Gratis dan Kesehatan Gratis

- Sukses menjadi tuan rumah SEA Games 2011

Kelemahan:
- Kalah dalam pemilukada DKI

- Kurang basis massa di Komering

- Belum sampaikan program 2013-2018 (Basemah, Lematang, dan Musi)
No 2. Ir H Eddy Santana Putra MT



Kekuatan:
- Wali Kota Palembang

- Ketua DPD PDI Perjuangan Sumsel

- Basis massa di Palembang, OKI, OI, Banyuasin dan Lematang (Komering dan Musi)

- Sukses dengan Piala Adipura 6 kali berturut-turut

- Terkenal luas di Palembang sebagai basis kekuatan massa

- Sukses dengan program transportasi publik dan perumahan rakyat

Kelemahan:
- Kurang terkenal di pedesaan

- Kurang basis di Besemah

- Belum sampaikan program 2013-2018
No 3. H Herman Deru SH MH



Kekuatan:
- Bupati OKU Timur

- Ketua Ormas Nasdem Sumsel

- Sukses dalam program Lumbung Pangan Nasional

- Mempunyai basis massa di Komering, seperti OKU Timur, OKU, OKU Selatan, OKI

Kelemahan:
- Tidak memiliki parpol sendiri

- Kurang basis massa di kota, Musi, Besemah, dan Lematang

- Belum sampaikan program 2013-2018
No 4. Ir H Ishak Mekki MM



Kekuatan:
- Bupati Ogan Komering Ilir

- Mantan anggota DPR RI

- Ketua DPP Partai Demokrat Sumsel

- Sukses dengan program dan kesehatan gratis

- Memiliki basis massa di Komering, OKI dan OI

Kelemahan:
Kurang terkenal di pedesaan selain OKI dan OI

- Kurang terkenal di Kota Palembang

- Belum sampaikan program 2013-2018
No 5. H Ridwan Mukti SH MH



Kekuatan:
- Bupati Musi Rawas

- Mantan anggota DPR RI

- Ketua DPP Partai Golkar

- Mempunyai basis massa di Musi, Mura dan Lubuklinggau
- Ketua ICMI Sumsel

Kelemahan:
- Kurang terkenal di Kota Palembang

- Belum sampaikan program 2013-2018
N0 6. H Eddy Yusuf SH MH



Kekuatan:
- Wakil Gubernur Sumsel

- Mantan Bupati OKU

- Memiliki basis massa di Komering, OKU dan OKI, Lematang, dan Musi

- Tidak sebagai ketua partai

Kelemahan:
- Kurang dikenal programnya, karena terkesan mengikuti program gubernur (satu paket)

- Tidak memiliki basis massa di Besemah

- Belum sampaikan program 2013-2018


Sumatera Ekspres, Selasa, 16 Oktober 2012

Monday, 15 October 2012

Target Keruk Satu Juta Lumpur

Pada tiga Lokasi di Muara Musi

PALEMBANG -- Administrator Pelabuhan (Adpel) Palembang pasang target mengeruk satu juta meter kubik lumpur yang berada di dasar muara Sungai Musi. Ada tiga lokasi pengerukan, yakni ambang luar C2, C3, dan selat Jaran.

Pengerukan menggunakan kapal TSHD Perintis 2000 dan TSHD Inai Kesuma. “Kami mampu mengeruk lumpur satu juta meter kubuk pada tiga lokasi tersebut. Kapal Perintis 2000 mampu mengeruk sekitar 18.150 meter kubik per hari, sedang kapal TSHD Inai Kesuma 11.550 meter kubik,” kata Bakri, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Pengerukan Sungai Musi, kemarin ( 11/10).

Kapal Perintis 2000 melakukan penghisapan lumpur di dasar Selat Jaran. Lumpur yang didapat lalu diangkut ke dumping area (lokasi pembuangan, red) yang berjarak sekitar 6 km. Lumpur campur pasir itu dibuang dengan sistem open buttom (buka tutup, red) pada bagian bawah kapal.

“Hanya dibutuhkan waktu sekitar lima menit saja, seluruh lumpur yang disedot bisa langsung terbuang,” jelas Bakri. Sementara, kapal TSHD Inai Kesuma melakukan pengerukan di ambang luar Sungai Musi C2 dan C3. Prosesnya menerapkan cara yang sama, hanya pembuangan lumpurnya dengan sistem pompa. Dibutuhkan waktu sekitar setengah jam untuk seluruh lumpur dibuang dari kapal.

Proyek pengerukan ini diperkirakan rampung 30 Oktober mendatang. Jika pekerjaan ini selesai, kedalaman ambang luar C2 dan C3 serta Selat Jaran bisa mencapai 6-7 meter saat posisi air surut. “Kapal berukuran draf tujuh bisa melintasi alur pelayaran tersebut,” ucapnya.

Dari hasil survei yang dilaksanakan Adpel setiap tahunnya, diketahui ada beberapa titik alur pelayaran yang dangkal. Di antaranya, ambang luar Sungai Musi (C2 dan C3), utara dan selatan Payung, penyeberangan Upang, Selat Jaran, Muara Kumbang serta Sungai Lais.

Sebenarnya, kata Bakri, pelaksanaan pengerukan tersebut tidaklah optimal untuk mengatasi masalah sedimentasi di muara Sungai Musi. Pasalnya, sedimentasi di muara Sungai musi sebagai lokasi pertemuan arus Sungai Banyuasin dan Sungai Musi sangatlah tinggi.

“Diperkirakan, tingkat sedimentasinya mencapai 20 cm per bulan. Artinya, bila pengerukan dilakukan satu tahun sekali, pendangkalannya sekitar 2, 4 meter,” bebernya. Karena itu, sudah semestinya Adpel Palembang memiliki kapal keruk sendiri sehingga pengerukan alur pelayaran bisa dilakukan lebih sering. ”Harga kapal keruk sangat mahal sehingga jumlah yang ada sekarang sangat minim,” tambahnya. Sementara itu, Kasubdit Pengerukan Ditjen Perhubungan Laut, Ir Erlan Abbas MM mengatakan, hari ini pihaknya berencana akan meninjau pelaksanaan pengerukan ketiga lokasi tersebut. (yud/ce2)

Sumatera Ekspres, Jumat, 12 Oktober 2012

Sunday, 14 October 2012

River Side Resto Terapung di Tepi Musi

River Side Resto

Restoran ini bukan hanya terapung, tapi juga menyediakan kapal motor yang bisa disulap menjadi tempat makan prasmanan. Lengkap dengan sebuah dermaga kecil yang akan mengantar pengunjungnya berwisata air di sekitar Musi.

Rasanya tidak sempurna jika jalan-jalan ke Palembang, tanpa mampir ke restoran terapung di tepi Sungai Musi ini. Ya, River Side namanya. Letaknya berada condong ke bibir sungai ternama itu dan tidak jauh dari Benteng Kuto Besak. Panoramanya, sungguh luar biasa. Apalagi restoran ini berada tidak jauh dari jembatan Ampera yang mempesona dengan lampu-lampunya termasuk dari kapal-kapal yang berada di sekitarnya ketika malam hari. Sebuah pemandangan yang menakjubkan dan menambah selera makan.

Restoran ini, kata Eddy Boy, Manager River Side telah beroperasi sejak Maret 2008. Ketika itu, bertepatan dengan tahun pencanangan "Visit Musi". River Side seakan muncul sebagai representasi tempat kuliner khas Palembang sesungguhnya dan berada dekat dengan ikon kota tersebut. Akhirnya, River Side kerap menjadi referensi dan persinggahan terakhir dari tur bila ada agen wisataa yang membawa para pelancongnya.

River Side bukan hanya menjual suasana. Fasilitasnya juga cukup lengkap. Kapasitasnya bisa mencapai 500 orang yang dibagi dalam beberapa ruangan yang diberi nama-nama ikan. Ruang pertama, misalnya, bernama Betutu atau kerap disebut orang Palembang sebagai “ikan malas”. Kemudian ada Ruang Seruang, dan ruang VIP bernama Ruang Betok.

Ruang Betok ini berkapasitas 75 orang dengan fasilita full AC, dan sound system. Kesannya eksklusif dan mengutamakan privasi. Sedangkan Ruang Betutu berada di lantai dua beranda restoran. Tempat ini berbatasan langsung dengan bibir sungai alias dirancang terapung. Ruang ini berkapasitas 200 orang dan menjadi tempat live music digelar. Di lantai dua ini, pengunjung juga bisa menemukan Ruang Seluang. Berkapasitas 250 orang di mana para pengunjung bisa bersantap sambil menikmati pemandangan Sungai Musi yang romantis.

Di ruang terakhir adalah dermaga. Tempat ini berkapasitas 250 orang. "Ruang Betutu dan Ruang Seruang lebih berkesan formal. Kalau mau bersantai, pengunjung bisa mengambil tempat di teras. Karena didesain terbuka dan santai," tambah Eddy.

Selain menjadi tempat makan favorit, River Side kerap dijadikan tempat menggelar perayaan ulang tahun, pesta pernikahan, atau acara-acara komunitas dan pemerintahan. "Restoran ini cocok hanya makan, acara formal, atau bersenang-senang dan santai," ujar Eddy.

Mungkin ada pengunjung yang khawatir soal sisi keamanan karena restoran ini terapung. Soal itu, jangan khawatir, sebab, kata Eddy, fondasi dan konstruksi restoran ini terbuat dari besi baja yang kuat. Meski baja-baja penyangga itu tidak dicor, tapi ditancapkan. Sebab, ada ketentuan dari Pemerintah Daerah Sumatera Selatan tidak boleh ada pengecoran di sepanjang bibir Sungai Musi.

River Side Resto

Dermaga Kecil



Yang menarik dari restoran ini adalah keberadaan centre point alias dermaga kecil agar perahu pengunjung yang ingin ke restoran dapat langsung merapat. Artinya, akses ke restoran tidak selalu harus dari jalan darat. Centre point itu dibuat lantaran kadang pengunjung yang sedang berwisata mengitari Sungai Musi, ingin segera makan.

Kunjungan itu biasanya datang dari wisatawan yang mampir ke Pulau Kemarau, pulau yang berada di tengah Sungai Musi. Pulau itu merupakan salah satu objek wisata terkenal di Palembang. Sebab, di sana dapat ditemui orang-orang keturunan lengkap dengan klenteng, prasasti kuno, dan tanaman bernama "pohon cinta".

Wisata Air


Untuk menuju ke Pulau Kemarau dapat ditempuh dengan menggunakan kapal motor berkapasitas 60-80 orang dengan jarak tempuh selama 2,5 jam. River Side menyediakan kapal motor tersebut. Jika ingin makan sambil berwisata, setiap pengunjungi bisa menggunakan kapal tersebut.

Soal tarif seharga 3,5 juta rupiah untuk rombongan. Kalau menggunakan kapal motor yang lebih kecil cukup 400 ribu rupiah. Mahal? Sebentar, harga itu sudah termasuk tour guide, solo organ, ruangan ber-AC (kapal motor besar), dan smooking area. noverta salyadi dan frans ekodhanto.

Ada Menu Ikan Malas



Mahal karena ikannya sudah sulit ditemui.
Selain pemandangannya elok, yakni Jembatan Ampera dan Sungai Musi, River Side juga memiliki menu khas Palembang yang sesungguhnya. Salah satunya yang favorit adalah Ekor Tenggiri Bakar. Ya, ekor ikan tenggriri yang beratnya sekitar satu kilogram itu dipotong kemudian dibentuk menyerupai kipas lalu dibakar dengan bumbu khusus. Sedangkan daging ikannya, biasanya dipisahkan untuk dinikmati dalam bentuk lain, yakni pempek dan sebagainya.

Kurang suka ikan? Anda juga bisa menikmati udang atau sotong segar yang ditangkap langsung dari Sungai Musi begitu ada yang memesan. Udang dan sotong itu bisa dimasak sesuai permintaan. Ada yang digoreng mentega atau khas bumbu Palembang, seperti Udang/Sotong Saos Kuto Besak. Menu ini segar dan mengundang selera. Cocok untuk mereka yang suka rasa manis pedas.

Ada pula kepiting yang langsung didatangkan dari Muara Sungsang. Kepiting ini rasanya sangat manis dan segar karena tinggal di hutan bakau yang berada di Muara Sungsang, muara yang berhubungan dengan Selat Bangka. Setiap menu dibanderol sesuai berat seafood yang akan diolah. Sebagai gambaran, Ikan Betutu atau Ikan Mala situ seharga 38 ribu rupiah per ons. Mahal? Bisa jadi ya, tapi Anda perlu tahu bahwa Betutu termasuk ikan yang sulit ditemui alias langka.

Sebagai hidangan penutup, Anda bisa memesan aneka buah lokal seperti potongan sawo, kesemek, papaya, duku, atau durian khas Palembang. Kalau ingin yang dingin-dingin bisa mencoba Es ala River Side yang terbuat dari campuran jeruk kunci dibelender bersama kulitnya. Rasanya asam, manis, dan menyegarkan. noverta salyadi dan frans ekodhanto.

Friday, 12 October 2012

Masjid Syeh Muhammad Azhari



Di Pulau Seribu, Kertapati, Bantu Musafir Beribadah, Tak Masuk Peta Kota Palembang
Menyebut nama Pulau Seribu, ingatan kita pastilah melayang ke kepulauan yang menjadi kawasan objek wisata di Jakarta. Padahal, di metropolis memiliki kawasan dengan nama serupa. Sayangnya, Pulau Seribu yang ada di Palembang berada di Kelurahan Ogan Baru, Kecamatan Kertapati, tidak banyak diketahui orang. Seperti apa tempatnya?

Menyambangi Pulau Seribu tidak begitu sulit. Masuk dari dermaga pasar induk Jakabaring, masyarakat dengan mudah dapat sampai ke sana menggunakan ketek. Ongkos dipatok pun tidak begitu tinggi. Ketika Sumeks Minggu menggunakan jasa angkutan air tradisional ini, pengemudi ketek hanya meminta biaya Rp2.000 hingga Rp3.000.

Tiba di tujuan, bayangan pulau seribu seperti objek wisata yang ada di Jakarta sirna. Bahkan, pulau-pulau seperti yang ada di pulau seribu di Jakarta dan sempat dibayangkan koran ini juga tidak terlihat.

Berdasarkan cerita masyarakat, didapat secara turun menurun, nama Pulau Seribu melekat di kawasan ini, karena dulunya terdapat gundukan-gundukan tanah menyebar di tempat mereka. Gundukan tanah tersebut cukup besar dan tinggi. Dari tiap gundukan tanah dikelilingi air sungai membuat gundukan tanah yang sangat banyak tersebut ibarat pulau.

“Itu cerita dari orang-orang tua kami. Gundukan tanah itu sempat ditanami pohon jeruk dan masih terlihat. Sekarang sudah hilang dirubah dengan tanaman padi,” ungkap H Munir (53), salah seorang warga di Pulau Seribu.

Saat ini, Pulau Seribu tetap menjadi pulau besar, dikelilingi empat sungai. Dibagian depan dibatasi dengan sungai Ogan. Sebelah kanan sungai Tapa, sebelah kiri sungai Sungki, dibelakangnya sungai Remis.

Sempat sedikit berkeliling di kawasan tersebut, Sumeks Minggu melihat daerah tersebut dikelilingi rawa. Jumlah penduduk yang ada tidak begitu banyak, mayoritas berada di pinggiran sungai Ogan. Menurut Munir, jumlah Kepala Keluarga (KK) hanya 29, dibawah naungan satu Rukun Tetangga (RT).

Meski telah dibangun jalan setapak, cor beton menghubungkan daerah tersebut ke kawasan Sungki Kertapati, hingga kini masyarakat di Pulau Seribu masih begitu dekat dengan perahu dan ketek. Untuk mencapai pusat kota Palembang, mereka masih menggunakan transportasi air.

Selain jalan darat yang masih terlalu kecil, tidak begitu banyak masyarakat memiliki kendaraan (motor,red). Lain dari itu, masyakarat setempat terlihat banyak membuat perahu jukung. Pembuatan perahu ini sudah cukup lama dilakukan.

Sejak lama tempat ini sudah dialiri listrik. Hanya saja, kesan terpencil dan tertinggal masih begitu terasa. Nah, cerita Munir pada masa Kesultanan Palembang, tempat ini sebenarnya tidak ditinggali masyarakat.

Tempat Persembunyian Perompak Hingga SMB II
Tempat ini hanya didiami para perompak sebagai persembunyian. Bahkan, Sultan Mahmud Badaruddin (SMB) II diyakini pernah bersembunyi ditempat ini. Hal ini diketahui Munir setelah para zuriat SMB II yang ada di Ternate datang ke Pulau Seribu beberapa tahun lalu.

“Dari catatan SMB II yang dibaca para zuriatnya, SMB II pernah bersembunyi dari kejaran Belanda di Pulau Seribu. Zuriat SMB II sudah puluhan tahun mencari pulau ini. Tapi, yang terpikir oleh mereka sejak lama, Pulau Seribu yang ada di Jakarta,” jelas Akhmadi (26), anak dari H Munir.

Ketika satu dua keluarga yang awalnya mantan perompak mulai tinggal di Pulau ini, Munir mengatakan seorang ustad besar, Syeh Muhammad Azhari (1860-1938) yang giat menyiarkan Islam sempat singgah di rumah seorang mantan perompak yang tengah sakit untuk menumpang sholat. “Namanya juga mantan perompak, dia gak punya sajadah. Terus, Syeh Azhari mengobati perompak itu hingga sembuh,” jelas Munir.

Setelah sakitnya disembuhkan Syeh Azhari itulah, mantan perompak itu bertobat dan hendak belajar agama. Ia pun menghibahkan tanah miliknya untuk dijadikan masjid. Tawaran itu cepat diterima Syeh Azhari yang memang ingin membangun sebuah masjid.

Selain masyarakat Pulau Seribu, saat ini memang tak begitu banyak masyarakat yang datang ke masjid dibangun Syeh Azhari. Namun saat itu, ketika masyarakat Sumsel mengandalkan transportasi air, masjid yang dinamakan dari orang yang membangunnya (Syeh Muhammad Azhari,red) ini ramai dikunjungi. Dibangunnya masjid ini sangat membatu para musafir beribadah, menunaikan sholat.

“Orang-orang dari Indralaya dan Sumsel yang mau ke Palembang banyak lewat sini. Mereka mampir untuk sholat di sini,” jelas Munir.

Siapa Syeh Azhari? Munir mengatakan, ia merupakan kakek almarhum KH Zen Syukri. Ia merupakan ulama besar yang sempat menimba ilmu di Arab, Mesir hingga India. Cerita-cerita seputar Syeh Azhari ini, didapat Munir dari almarhum Zen Syukri.

“Saya pernah belajar dengan Abah Zen. Pernah juga jadi pembantunya ketika Abah menjadi anggota DPRD Palembang. Cerita Abah, sedari kecil ia sering main ke Masjid dibangun kakeknya ini. Waktu dia masih sehat, Abah rajin mengajar dan mengisi acara Islam di Masjid Syeh Azhari,” urai Munir.

Sedikit berbeda dengan keterangan Kgs HM Ibnu A SH MSi. Menurut anak ke-13 dari istri kedua almarhum KH Zen Syukri, jika Syeh Azhari sebenarnya adalah mertua ayahnya. Sehingga, dirinya sendiri memanggil Syeh Muhammad Azhari dengan sebutan kakek.

Nah, selama ini kitab-kitab tauhid yang pernah dibuat oleh Syeh Muhammad Azhari banyak dibawa penjajah Belanda ke Negerinya usai kemerdekaan. Keterangan Ibnu ada Sembilan kitab tauhid ditulis Syeh Muhammad Azhari.

Sedangkan wajah Syeh Azhari sendiri baru dilihatnya beberapa tahun lalu. Itu setelah salah seorang keluarganya mengambil copy wajah Syeh Azhari dari Museum di Belanda. “Banyak arsip kita memang dibawa oleh orang Belanda. Masalah ini, zuriat seperti kami tidak cukup. Ini masalah nasional. Pemerintah yang harusnya turun tangan,” tandasnya.

Kayu Kapuk Penopang Masjid Jadi Unglen
Dilihat dari arsitektur aslinya, masjid Syeh Azhari bisa dikatakan sebagai salah satu masjid tertua di Palembang. Berada di pinggiran sungai, masjid berada di atas air. Hingga bangunan harus ditunjang dengan kayu.

Namun kini, hal tersebut tak lagi terlihat. Sejak tahun 1993, bagian depan masjid sudah ditimbuni tanah. Tahun 2005, dengan bantuan Walikota Palembang, Ir Eddy Santana Putra, bagian dalam ditimbuni pasir.



Nah, sejak satu bulan lalu, masjid direhap. Bagian dinding kayu masjd yang sudah mulai ambruk diganti beton. Hanya bagian atas dipertahankan pengurus Masjid. Bagian atasnya sepintas terlihat mengadopsi culture China. Persis seperti masjid Lawang Kidul dan Kyia Merogan.

“Kalau ingin dibongkar dan dibangun baru secara keseluruhan, sudah ada yang bersedia. Tapi, pesan Abah Zen, bagian atas harus dipertahankan,” urai Akhmadi yang kini menjadi Ketua Pengurus Masjid Syeh Muhammad Azhari.

Orang yang ingin memberikan bantuan dengan membangun masjid dimaksud Azhari merupakan zuriat Syeh Azhari di Arah serta Zuriat SMB II di Ternate. Bantuan mereka pun ditolak dengan alasan pesan almarhum Zen Syukri. Alhasil, para pengurus harus mengandalkan dana swadaya untuk merehab masjid.

Dana didapat telah dikumpulkan sejak tujuh tahun lalu. Uang didapat mencapai Rp21 juta. Berjalan satu bulan, uang didapat samasekali tidak cukup. Hingga kini sudah Rp55 juta dikeluarkan pengurus Masjid. “Banyak yang bantu. Dari uang hingga material. Yang pasti, kita sudah sampaikan proposal bantuan sama Allah SWT. Itu ajaran Abah Zen,” jelas Akhmadi.

Cerita menarik dan diyakini warga sekitar seputar tiang penyangga atap masjid. Dari empat tiang utama, satu diantaranya diyakini warga merupakan kayu kapuk. Karena dibagian atasnya terdapat duri.

Hanya saja dari serat dan warna kayu, warga menyakini tiang tersebut merupakan kayu unglen. Hingga kayu tersebut dijuluki warga kayu kapuk yang berubah menjadi kayu unglen.

Bagaimana bisa? Ditanya seperti itu H Munir menjawab seadanya. “Orang besar seperti Syeh Azhari merupakan orang yang dekat dengan Allah SWT. Tentu saja kami yakin beliau memiliki kharomah,” tandasnya.

Sementara Camat Kertapati Zaini dikonfirmasi Kamis (17/5) tak banyak mengetahui sisi sejarah pulau seribu serta masjid Syeh Azhari. Pun begitu ia tak mengelak jika Pulau Seribu yang berada di wilayahnya termasuk terpencil, bahkan sedikit terbelakang.

Diakui Zaini, pulau yang satu ini tidak setenar Pulau Kemarau atau Pulokerto. Hingga tidak banyak diketahui oleh masyarakat luas. Tempat ini terpencil karena memang belum banyak sarana yang masuk. Bahkan, diperkirakannya, pulau ini tidak masuk dalam peta kota Palembang.

“Kalau mau pasti, di cek saja di Bapedda. Mereka yang buat peta kota Palembang,” tukasnya.

Benar juga. M Syafri HN Kepala Bapedda Palembang samasekali tidak mengetahui tempat ini. Meski meminta koran ini menghubungi bawahannya Nur Hendratama ST MT di bagian Tata Ruang, Pulau ini juga tidak diketahui. (wwn)

Written by: Samuji Selasa, 22 Mei 2012 11:18 WIB | Sumeks Minggu

Menelusuri Percetakan Al-Qur'an



Pertama di Palembang Tahun 1848


Dibuat Demang Jaya Laksana, Gunakan Mesin Batu Dari Singapura
Kitab suci umat muslim, Al-Qur'an ternyata telah dicetak menggunakan mesin sejak 164 tahun lalu di Palembang. Tepatnya tahun 1848, dimotori Demang Jaya Laksana. Satu dari 105 Al-Qur'an yang sempat dicetak pada masa Kolonial Belanda tersebut hingga kini masih disimpan keturunannya, Baba Azim Amin MHum, dosen IAIN Raden Fatah. Lainnya, diyakini telah menyebar di negara-negara Melayu.

Sebelum mengenal mesin cetak, Al-Qur'an selama ini di produksi secara manual.Para khot atau ahli tulis kaligrafi menulis Al-Qur'an menggunakan tangan. Cara seperti ini diyakini membutuhkan waktu cukup lama.

Kelemahan mushaf (Al-Qur'an dengan tulisan tangan, red) lama kelamaan tentu saja tulisannya terus memudar. Sedikit saja terkena air atau berada di tempat lembab, tinta digunakan akan memudar. Ini juga terlihat dari enam mushaf milik Kms Andi Syarifudin, Imam Masjid Agung.

Ketika memperlihatkan mushaf miliknya, didapat secara turun menurun dari leluhurnya, lembaran-lembaran Al-Qur'an terlihat jelas telah memudar. Padahal, dilihat dari ornamennya cukup indah. Ornamennya menggunakan hiasan kembang berwarna emas, sering kita lihat pada hiasan furniture khas Palembang.

Secara umum, umur mushaf disimpan Andi berusia lebih dari 150 tahun. Tertua, bahkan mencapai 250 tahun dengan lempengan emas 18 karat. “Zaman dulu, Al-Qur'an merupakan barang yang sangat berharga. Karena itu, orang dulu memberikan lempengan emas di cover bagian depan serta belakang,” jelasnya.

Pada perkembangannya, jebolan Tarbiyah Pendidikan Agama Islam (PAI) IAIN Raden Fatah angkatan 1990 ini mengatakan, Al-Qur'an kemudian dicetak secara masal. Di Palembang, pencetakan Al-quran pertama kali dilakukan di lorong Jaya Laksana tahun 1848 lalu. Jumlah cetakan Al-Qur'an pertama kali sebanyak 105 buah. “Yang masih menyimpan Al-Qur'an cetakan pertama itu Pak Azim,” tandas Andi.

Cetakan Pertama di Nusantara, Jaga Jati Diri Zaman Kolonial
Baba Azim Amin MHum, dosen IAIN Raden Fatah dimaksud Andi membenarkan cerita tersebut. Ditemui Sumeks Minggu di kediamannya semalam (15/9) di kawasan Lorong Jambangan Darat, Rt 13, Kelurahan 3-4 Ulu, Kecamatan SU I, Azim mengatakan, dari keterangan dalam Al-Qur'an cetakan pertama yang masih dipegangnya terdapat keterangan jelas. Bahkan, tanggal dibuatnya Al-Qur'an tersebut ditulis dalam lima kalender berbeda. Karena tulisan Al-Qur'an cetakan ini masih sangat jelas, samasekali tidak memudar.

Diterangkan Azim, jika pembuatan Al-Qur'an tersebut merupakan ide dari leluhurnya, Demang Jaya Laksono yang aslinya bernama Baba M Najib bin Demang Wiro Laksono. Lahir tahun 1808, Demang Jaya Laksono sejak berumur 11 tahun telah menjadi anak yatim. Ayahnya Wiro Laksono, ditembak mati penjajah. Pasalnya, Wiro Laksono merupakan seorang petinggi setingkat Menteri dibawah komando Sultan Mahmud Badaruddin (SMB II).

Setelah itu, Jaya Laksono muda dibawa pamannya ke kawasan Tanjung Lubuk, Kabupaten OKI. Saat ia dewasa, ia belajar di Batavia, belajar ilmu pemerintahan serta ilmu agama. Saat usia masih cukup muda, ia kembali ke OKI dan diangkat Demang Jaya oleh Menteri Prabu Anom. Itulah mengapa ia lebih terkenal dengan nama Demang Jaya Laksana.

Tahun 1836, oleh Belanda ia diangkat menjadi Kepala Divisi. Ia kemudian pindah ke Palembang dan membangun rumah limas besar yang kini masih ada di kawasan 3 Ulu, tepatnya di lorong Jaya Laksana. Rumah itupun hingga kini masih berdiri tegak.

Sekitar tahun 1838, ia berkenalan dengan Syeikh M Azhari yang baru saja menimba ilmu di Mekah. Satu orang adiknya, bernama Nona Zaleha kemudian dinikahkannya dengan Syeikh M Azhari. Dari perkenalan inilah, Demang Jaya Laksana memiliki ide untuk mencetak Al-Qur'an secara massal.

“Tujuannya untuk menjaga jati diri bangsa melayu yang mayoritas Islam dari bangsa penjajah,” ungkap Azim Amin.

Syeikh M Azhari sendiri merupakan penulis khot (kaligrafi, red) untuk dicetak. Sedangkan mesin serta tenaga pencetaknya, diyakini Azim didatangkan dari Singapura. Alasannya, pencetak Al-Qur'an bernama Ibrahim Sohib seperti tertera dalam keterangan dalam cetakan Al-Qur'an merupakan murid dari Abdullah bin Abdul Munsyi asal Singapura.

“105 Al-Qur'an itu dicetak di rumah Demang Jaya Laksana di Lorong Jaya Laksana Palembang ini. Tapi mesinnya sekarang tidak ada lagi. Saya yakini, mesin itu dibawa dari Singapura. Atau mungkin disewa. Setelah selesai mencetak Al-Qur'an, mesin dikembalikan,” jelasnya.

Kebanyakan Al-Qur'an yang ada, menurut Azim telah disebar di negara-negara Melayu. Seperti Malaysia, Singapura, Filiphina dan lainnya. Satu tersisa miliknya, didapatnya secara turun menurun. Pasalnya, Azim merupakan keturunan kelima dari Demang Jaya Laksana.

Yang mengejutkan, Azim menyatakan jika cetakan Al-Qur'an pertama di Palembang merupakan cetakan Al-Qur'an pertama di nusantara. Itu diyakininya setelah sempat bertemu dan berdiskusi bersama beberapa kalangan sejarawan dari berbagai pelosok Indonesia.

“Harusnya, Al-Qur'an ini mendapat perhatian dari Kementrian Agama,” tandasnya. (wwn)

Written by: Samuji Selasa, 18 September 2012 12:12 WIB | Sumeks Minggu

Ungkap Sejarah Dibalik Rumah Tua



Di Padang Selasa, Ditempati Empat Keluarga, Dijuluki Rumah Kapiten Tionghoa
Sebutan Kapiten merupakan gelar militer diberikan penguasa Belanda bagi pemimpin etnis China. Salah satu Kapitan terkenal di wilayah Palembang berada di Kelurahan 7 Ulu, Kecamatan Seberang Ulu (SU) 1, kini lebih dikenal dengan sebutan Kampung Kapitan. Namun, masyarakat jalan Padang Selasa, Kelurahan Bukit Lama, Ilir Barat (IB) 1 mengetahui di kawasan mereka terdapat seorang kapiten. Sebuah rumah panggung tua dengan dua pohon Munggur tinggi besar diketahui masarakat merupakan rumah sang Kapiten. Benarkah? Lantas apa hubungan sang Kapiten dengan Kampung Kapitan? Berikut liputan Sumeks Minggu.

Dilihat sepintas, rumah panggung tua depan sasana bulutangkis di jalan Padang Selasa sangat berbeda dengan rumah lain. Dengan halaman luas, dua pohon munggur tinggi besar menghiasi. Cerita masyarakat sekitar dari mulut ke mulut, rumah panggung ini menjadi kediaman mantan Kapiten Tionghoa.

Membuktikan masalah ini pun cukup sulit. Ketika Sumeks Minggu mencoba mengkonfirmasi kepada penunggu rumah yang kini tinggal dibawah, mereka malah menggelengkan kepala. Yang diketahui penunggu rumah tersebut, jika panjang rumah tersebut dulunya mencapai 20 meter lebih. Sekarang, rumah tua tersebut telah dipotong. Dibagian belakang, dibangun dua rumah beton baru.

“Cerita orang-orang tua kami, rumah ini sampai ditinggali empat keluarga sekaligus,” ujar penunggu rumah tua tersebut, dibincangi Rabu (23/5).

Namun, dari keterangan beberapa sanak keluarga, juga dari garis keturunan si empunya rumah, mereka sempat membenarkan jika kakek (pemilik rumah,red) dulunya seorang Kapiten.

“Tapi bukannya kakek kami langsung. Tapi adiknya kakek kami,” ungkap salah seorang keturunan Chinese, di kawasan tersebut. Cerita seputar sang Kapiten baru menemui titik terang ketika koran ini menemui Ir Karnadi Gozali, Dosen Pertanian Unsri, yang juga tinggal di kawasan Padang Selasa.

Dari penuturan pria berkacamata ini, kakeknya bernama Kwee Gan Beng memiliki dua saudara. Salah seorang saudara kakeknya bernama Kwee Gan Kheng inilah diketahui sebagai Kapiten pada masa Belanda. Dilihat dari masa hidup kakeknya, Kwee Gan Beng (1891-1967), Kwee Gan Kheng menjadi Kapiten diperkirakan awal abad ke-20 hingga masa kemerdekaan.

Sayangnya, tak banyak informasi tambahan diketahui Karnadi seputar sosok Kwee Gan Kheng. Pasalnya, usai kemerdekaan, Gan Kheng meninggalkan Palembang dan menetap bersama keluarga di Jakarta.

“Keturunan yang ada di Palembang, khususnya yang tinggal di Padang Selasa sekarang, merupakan keturunan Gan Beng, kakek kami. Keturunan Gan Kheng sudah di Jakarta semua,” ungkap Karnadi.

Ditegaskan Karnadi, jika rumah panggung tua, depan sasana bulutangkis, banyak disebut masyarakat sebagai Kapiten Tionghoa, Kwee Gan Kheng tidak benar. Rumah tersebut milik kakeknya Kwee Gan Beng.

Mengapa bisa disebut masyarakat sekitar sebagai rumah Kapiten Tionghoa, Karnadi mengatakan kemungkinan kakeknya Kwee Gan Beng tinggal serumah dengan adiknya Kwee Gan Kheng.

“Karena rumah tersebut termasuk sangat besar. Rumahnya memanjang ke belakang. Sekarang memang sudah dipotong, di bagian belakang dibangun rumah baru oleh keturunan Gan Beng,” jelas Karnadi.

Alasan lain, Kwee Gan Beng serta Kwee Gan Kheng memiliki tanah luas di kawasan Padang Selasa. Luasnya sekitar lima hektar. Dari luas tanah tersebut, terdapat tanah milik Kwee Gan Beng serta Kwee Gan Kheng.

“Tapi tanah itu lebih banyak dimiliki oleh Gan Beng. Sedikit milik Gan Kheng. Sekarang banyak tanah mereka sudah terjual,” ungkap Karnadi.

Kwee Gan Kheng sendiri dikatakan Karnadi memiliki rumah sendiri, dekat rumah kakeknya Gan Beng. Namun, rumah Gan Kheng tak terlihat lagi bentuk aslinya sudah direhap habis. “Gan Kheng sempat pindah ke Puncak Sekuning, baru hijrah ke Jakarta,” jelas Karnadi.

Lantas apa hubungan Kwee Gan Kheng sebagai seorang Kapiten dengan Kampung Kapitan di Kelurahan 7 Ulu? Karnadi tidak mengetahui pasti. Dia hanya memperkirakan, jika Belanda pada masa pemerintahannya, menunjuk para pemimpin etnis Tionghoa pada kawasan tertentu.

Sehingga, diperkirakannya, Kapiten di Kelurahan 7 Ulu Kampung Kapiten berbeda orang dengan Kwee Gan Kheng adik kakeknya. “Karena di Seberang Ulu ada pemukiman China. Di Seberang Ilir, juga ada pemukiman China. Jadi, Belanda butuh pemimpin yang diberi gelar Kapiten untuk memimpin masyarakat China di Seberang Ulu dan Seberang Ilir,” jelasnya.

Gelar Mayor Hingga Letnan
Sementara itu, Kemas Aripanji SPd, MSi Sekretaris Masyarakat Sejarawan Indonesia cabang Sumsel menyatakan, pimpinan etnis Tionghoa pada masa Belanda sangat dibutuhkan. Pada masa kolonial, para pimpinan tersebut sengaja dibentuk.

Jika di Palembang pemberian gelar militer hanya terdengar pada pangkat Kapten (Kapiten de Chinezen), di nusantara ada beberapa pemimpin Tionghoa diberikan gelar Mayor (Majoor de Chinezen) serta Letnan (Luitnant de Chinezen). Para pemimpin ini pun diberikan pakaian seragam, diapakai pada upacara-ucapa tertentu, menunjang fungsinya sebagai pimpinan.

Para pimpinan China (Hoofd de Chinezen) lanjut Aripanji tidak dipilih Belanda. Mereka dipilih secara demokrasi, dari rakyatnya sendiri. Beberapa kriteria para pimpinan China kala itu, kepercayaan masyarakat, kekayaan dimiliki calon pimpinan serta pengaruh besar pimpinan tersebut pada masyarakatnya.

Setelah dipilih, tugas pimpinan etnis ini cukup banyak. Pertama, sebagai perantara atau penghubung. Antara masyarakat Tionghoa yang ingin mengurus sesuatu kepada pemerintah Belanda. Misalnya, pengurusan surat kelahiran, surat kematian, surat nikah, surat cerai, surat jalan, wasiat dan warisan, cacat jiwa, sensus dan lainnya.

Para pimpinan ini juga memiliki tugas menjaga ketertiban, keamaan dalam lingkungan yang mereka pimpin. Termasuk mengadili semua perkara yang terjadi pada masyarakatnya. Selain itu, dalam struktur pemerintahan Belanda, para pemimpin ini menjadi penasehat pemerintah. Terutama mengenai masalah penarikan pajak serta sebagai sarana informasi tentang ketentuan hukum dikeluarkan pemerintah Belanda.

“Jadi, para pemimpin etnis China ini memang dibutuhkan Belanda. Ada masalah, Belanda tidak perlu langsung turun ke masyarakat China. Ibaratnya cukup dengan memangil pemimpinnya saja,” urai Aripanji.

Hanya saja, sejauh ini Aripanji hanya mengetahui para pemimpin etnis China di Palembang berdomisili di Kelurahan 7 Ulu, yakni Kampung Kapitan. Aripanji belum mendengar adanya pemipin etnis berada dari Seberang Ilir, tepatnya di kawasan jalan Padang Selasa. Karena pada abad ke-19, perkampungan China berdasarkan peta Belanda berada di kawasan Seberang Ulu.

“Bisa saja pada perkembangannya, dimana masyarakat China mulai menyebar, mereka mengangkat pimpinan baru. Karena di daerah Ilir Barat 1, ada pemukiman China yang bercocok tanam,” jelasnya.

Sehingga, sosok Kwee Gan Kheng dikatakan masyarakat Padang Selasa merupakan pimpinan etnis Tionghoa di Seberang Ilir, Aripanji memperkirakan bisa saja terjadi. “Cuma masalah itu perlu pembuktian. Paling tidak diceritakan dari keturunan langsung orang disebut Kapiten itu,” tandasnya.

Sekedar Staf Kapiten
Sementara Fauzi Thamrin, tokoh masyarakat Tionghoa dikonfirmasi koran ini menyatakan, jika para pemimpin etnis China di Palembang hanya berasal dari Kampung Kapitan, Kelurahan 7 Ulu. Nah, sosok i pemimpin etnis China di Padang Selasa diketahuinya masyarakat sekitar dikatakan Fauzi hanya sekedar staf Kapiten di Kampung Kapitan.

Meski sekedar staf, Fauzi melihat hal itu sudah membawa pengaruh besar, membuat seseorang terkenal. “Berpengaruh juga jabatan itu pada zaman Belanda,” ungkap mantan ketua Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) Sumsel ini kepada Sumeks Minggu via Short Message Service (SMS), Jum’at (25/5). (wwn)

Written by: Samuji Rabu, 30 Mei 2012 | Sumeks Minggu

Thursday, 11 October 2012

Tembak Aku Bae Men Dio Galak


Maria (kiri) kesal menemukan kusen rumahnya dirobohkan dan terali hilang, Rabu (10/102012).

PALEMBANG - Maria (42), warga RT 27 Kelurahan Sukodadi berteriak histeris meluapkan kekesalannya saat menemukan kusen rumahnya roboh dan teralinya hilang, Rabu (10/10) pagi.

Ia meyakini yang berupaya merobohkan itu oknum TNI AU Lanud Palembang yang selama ini memperingatkannya.

"Dak mungkin masyarakat di sikak yang nak maleng. Ade warga nengar suaranya, mereka merobohkan kusen ini jam 12 malam. Cuma warga dak berani keluar. Warga dak ngelek siape yang jebolnyo. Lihatlah kusen jendelo tumbang ke bawah, terali dimalingnyo. Dinding retak. Siapo lagi kalau dak AURI yang selamo ini ngancam nak ngerobohkan bangunan ini," ujar Maria kesal.

"Ini hak saya, kami punya surat kepemilikan tanah ini dari camat. Saya tuntut dia. Sudah menghadap RT, RW nurut dari hari Sabtu tahan dak begawe lagi bangunan ini. Bukannya ngeroroi masyarakat, malah meresahkan masyarakat. Nak ngehaki hak warga. Kalo dia muncul kukejar dengan mandau," ancam Maria.

Menurut tetangga yang juga pekerja bangunan Imron dan Suyatmo mereka sudah berusaha sabar untuk mengerem sementara tidak meneruskan pengerjaan bangunan hingga permasalahan sengketa lahan dengan AURI jelas.

"Kita istirahat sejak Jumat (5/10/2012) sekitar pukul 15.30 dua anggota AURI datang. Mereka bilang kalau diteruskan kerja, bangunan ini kami robohkan. RT, AURI, kami patuhi, kami tutup kusen pintu dengan palang kayu silang biar nandoke kito tahan idak gaweke bangunan ini," kata Suyatmo.

Musthofa (58) mengaku sudah banyak hutang yang tertanam untuk mendirikan bangunan rumah batako berukuran 21X15 meter yang menelan biaya hingga Rp 58 juta.

Ia pun menyatakan berani membangun rumah karena di atas tanah yang surat kepemilikan dimilikinya.

"Kalau dak katek surat tanah yang kubangun ini, aku rela merobohkannya sendiri. Tapi ini suratnya jelas. Men surat itu palsu, lah lamo ado pak camat di sini, biso diborgol aku. Dengan dirobohkannya ini paling tidak sudah rugi Rp 4 juta. Mending mereka tembak aku bae men dio galak. Keruan, yang punyo dak lagi nuntut. Bangun ini tahan terhutang sekitar Rp 58 juta. Meskipun dijualkan ini belum tertutup hutang ini. Aku samo tigo tukang, Suyatmo, Imron, Hasan gaweke bangunan ini. Belum lagi hutang dengan tukang. Baru aku baru bayar Rp 1 juta per orang katokelah untuk beli beras. Masih Rp 5 juta per orang yang belum dibayar. Mikirkan makmano untuk meneruskan bangunan ini. Besi sudah 100 batang ditanam," tutur Musthofa (58).

Menanggapi tudingan warga ini, Kepala Hukum TNI AU Lanud Palembang Kapten SUS M Ikhwanudin yang juga Pjs Kepala Penerangan dan Perpustakaan membantah robohnya bangunan ini ulah perbuatan anggota AURI.

"Itu saya yakinkan tidak benar. Kita selama ini lisan. Tidak benar dilontarkan ke kita itu kebohongan publik dan pencemaran nama baik," tegas Ikhwanudin.

Namun Iwan mengaku pihaknya memang sudah memperingatkan pemilik bangunan liar selama ini yang berada di atas wilayah yang diklaim borders Lanud Palembang.

Menurutnya perintah untuk penertiban bangunan liar tersebut berdasarkan Radiogram Pangkoop AU 1 tertanggal 12 Agustus 1999.

"Isinya agar menertibkan bangunan yang telah berdiri dan mencegah bertambahnya bangunan baru atau liar yang didirikan masyarakat dalam Borders Lanud Palembang. Selain itu dalam pertemuan dengan Forum Masyarakat Bersatu Perduli di Lanud lebaran 2011 lalu, warga minta kita dicarikan solusi bangunan yang telah mereka bangun. Mereka menyanggupi tidak akan ada bangunan baru. Ternyata makin banyak bangun. Makanya ketika mereka datang lagi ke sini kita tagih. Forum itu kan perwakilan mereka dan bisa mengawasi," jelas Iwan.

Penulis : Abdul Hafiz
Editor : Sudarwan
Sriwijaya Post - Rabu, 10 Oktober 2012

Tuesday, 9 October 2012

Diarak Bareng BGP


NAIK BECAK: Arak-arakan pasangan nikah massal menarik perhatian pengendara motor dan mobil. Wajah bahagia dan sumringah terpancar dari sejumlah pasangan nikah itu. Tak jarang ada pengendara yang mengucapkan selamat kepada mereka.

Pemerintah Kota Palembang kembali menggelar nikah massal yang ke-5 kalinya. Program tersebut sangat membantu masyarakat yang tidak mampu. Beragam komentar dikeluarkan dari pasangan yang menikah. Seperti apa?



----------------------------------------



Pagi itu, pemandangan Kota Palembang tepatnya di sekitar Jembatan Ampera hingga Benteng Kuto Besak (BKB) mendadak ramai. Seluruh mata pengendara kendaraan baik roda dua maupun roda empat tertuju pada arak-arakan pasangan nikah massal yang diselenggarakan Pemerintah Kota Palembang.

Mereka diarak bersama Bujang Gadis Palembang (BGP) dengan menggunakan becak yang telah dihias dari Masjid Al-Fathul Akbar Jakabaring menuju tempat resepsi pelataran BKB. Sebanyak 50 pasangan nikah massal itu tampak bahagia dan selalu mengumbar senyum kepada khalayak ramai. Mereka mengenakan pakaian adat pernikahan yang beragam tetapi dominan adalah pakaian adat asal Palembang. Pengendara motor tampak ada yang memberikan selamat kepada mereka yang merasa seperti raja dan ratu sehari itu.

Sebelumnya, proses akad nikah telah dilangsungkan di Masjid Al-Fathul Akbar Jakabaring. Hadir menjadi saksi pernikahan massal itu di antaranya staf ahli Sosmas Pemkot Palembang, Ketua Pengadilan Negeri Palembang, Ketua Pengadilan Agama Kota, Kapolresta Palembang dan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Palembang. Pernikahan itu dibantu 16 penghulu. Peserta nikah massal terlihat tertib menunggu giliran untuk nikah. Proses akad berjalan dengan lancar. Tidak ada yang terbata-bata dalam mengucapkan ijab.

Terdapat lima pasangan pengantin yang beruntung mendapatkan kesempatan untuk berbulan madu semalam di Hotel The Jayakarta Daira Palembang. Salah satunya, Bambang (30) dan istrinya Diah (27) mengaku sangat senang dengan hadiah tersebut. “Wah, kami malah tidak berharap sebelumnya untuk mendapatkan hadiah itu. Jadi, itu di luar dari yang kami bayangkan,” jelasnya.

Bambang, anak sulung dari 3 saudara itu mengatakan telah tiga tahun berpacaran dengan Diah. “Sebenarnya kami kebetulan mau mengurus nikah ke RT. Nah, ketua RT lantas menginformasikan ada program nikah massal. Saya disuruhnya untuk ikut program nikah massal itu. Tanpa pikir panjang lagi, saya langsung ikut. Nah, karena ramai jadi tidak malu,” terang Bambang yang berkerja sebagai buruh di pelabuhan Tanjung Api-api itu.

Dirinya dan istri berharap agar rumah tangganya dapat berjalan langgeng dan diberikan kemudahan oleh Allah SWT. “Kami pokoknya bersyukur dan berterima kasih kepada Pemkot Palembang. Semoga makin banyak lagi masyarakat yang dapat ikut program nikah massal,” terangnya.

Berbeda dengan Bambang, Andi (30) dan pasangannya Maria (30) mengikuti nikah massal ini untuk memperoleh surat nikah yang sah. “Saya sudah nikah mas pada tahun 2008 yang lalu, tetapi surat nikah belum ada. Jadi kami mendaftar agar memperoleh kejelasan yang benar. Apalagi buku nikah itu sangat penting untuk anak,” ujarnya yang telah mempunyai seorang anak laki-laki berusia 1,5 tahun itu.

Kabag Sosial dan Kesejahteraan Setda Kota Palembang Eka Juarsa melalui Kasubag Agama Al Khaidir mengatakan, program nikah massal 2012 merupakan kegiatan yang ke-5 kalinya diselenggarakan. “Kita mulai sejak 2007. Selama kurun waktu lima tahun, kita telah menikahkan sebanyak 750 pasangan dari 16 kecamatan di Palembang.

Mereka mendapatkan legalitas administrasi yakni buku nikah secara gratis. Kemudian ada juga sejumlah bingkisan dari para sponsor yang terlibat. Kalau dihitung dalam nominal uang, setidaknya satu pasangan mendapat uang sekitar Rp1,5 juta. Tetapi uang tersebut dalam bentuk bingkisan,” terangnya.

Dari tahun ke tahun, antusias masyarakat untuk ikut nikah massal ini cukup tinggi. “Tahun ini saja, ada lima pasangan yang terpaksa tidak dapat kita nikahkan. Program ini memang merupakan program rutin dari pemerintah kota untuk membantu masyarakat yang ingin menikah tetapi tidak mempunyai dana,” jelasnya. Pasangan yang tertua sekitar 64 tahun dan yang termuda berkisar 25 tahun. Daerah yang paling banyak berasal dari Gandus, Seberang Ulu 1 dan Ilir Barat 2.

Bantuan dari pihak sponsor di antaranya voucher belanja sebesar Rp100.000 dari JM Group, dana Rp200.000 dari Pertamina, dan baju batik serta masih banyak bingkisan menarik lainnya. (cj7/ce2)

Sumatera Ekspres, Rabu, 10 Oktober 2012

Saturday, 6 October 2012

Menelusuri Makna Prasasti Kedukan Bukit (Sriwijaya)



Di antara prasasti-prasasti Kerajaan Sriwijaya, prasasti Kedukan Bukit paling menarik diperbincangkan. Di samping banyak mengandung kata yang tidak mudah ditafsirkan, prasasti tersebut oleh beberapa sarjana dianggap mengandung kunci pemecahan masalah lokasi ibukota kerajaan besar itu, yang mendominasi pelayaran dan perdagangan internasional selama empat abad. Dari segi ilmu bahasa, prasasti Kedukan Bukit merupakan pertulisan bahasa Melayu-Indonesia tertua yang pernah ditemukan sampai saat ini.

Alkisah, di daerah Kedukan Bukit, Palembang, terdapat batu bertuliskan huruf kuno yang dikeramatkan penduduk. Jika diadakan perlombaan perahu bidar di Sungai Musi, perahu yang akan dipakai ditambatkan dulu pada batu itu dengan harapan memperoleh kemenangan.

Pada bulan November 1920, Batenburg seorang kontrolir Belanda mengenali batu itu sebagai prasasti. penemuan itu dilaporkan pada Oudheidkundigen Dienst (Dinas Purbakala). Akhirnya, prasasti itu tersimpan di Museum Pusat Jakarta dengan nomor D.146.

Pada tahun itu juga, Residen palembang L.C. Westenenk menemukan prasasti lain di daerah Talang Tuo. Di Museum Pusat prasasti itu bernomor D.145. Kemudian kedua prasasti itu ditranskripsikan dan diterjemahkan oleh Philippus Samuel van Ronkel dalam tulisannya, "A Preliminary Notice Concerning Two Old Malay Inscriptions Palembang," pada majalah ilmiah Acta Orientalia, Volume II, 1924, hh. 12-21.

Isi Prasasti
Prasasti Kedukan Bukit bertarikh 604 Saka (682 Masehi) dan merupakan prasasti berangka tahun yang tertua di Indonesia. Terdiri dari sepuluh baris, tertulis dalam huruf Pallawa dan bahasa Melayu Kuno, masing-masing baris berbunyi sebagai berikut:

1. Swasti, sri. Sakawarsatita 604 Saka ekadasi su-

2. klapaksa wulan Waisakha Dapunta Hyang naik di

3. samwau mangalap. Di saptami suklapaksa

4. wulan Jyestha Dapunta Hyang marlapas dari Minanga

5. tamwan mamawa yang wala dua laksa dangan kosa

6. dua ratus cara di samwau, dangan jalan sariwu

7. telu ratus sapulu dua wanyaknya, datang di Mukha Upang

sukhacitta. Di pancami suklapaksa wulan Asada

9. laghu mudita datang marwuat wanua....

10. Sriwijaya jaya siddhayarta subhiksa

Terjemahan dalam Indonesia modern:
1. Bahagia, sukses, Tahun Saka berlalu 604 hari kesebelas

2. paroterang bulan Waisaka Dapunta Hyang naik di

3. perahu melakukan perjalanan. Di hari ketujuh paroterang

4. bulan Jesta Dapunta Hyang berlepas dari Minanga

5. tambahan membawa balatentara dua laksa dengan perbekalan

6. dua ratus koli di perahu, dengan berjalan seribu

7. tiga ratus dua belas banyaknya, datang di Muka Upang

8. sukacita. Di hari kelima paroterang bulan Asada

9. lega gembira datang membuat wanua....

10. Perjalanan jaya Sriwijaya berlangsung sempurna

Prasasti Kedukan Bukit menguraikan jayasiddhayatra (perjalanan jaya) dari penguasa Kerajaan Sriwijaya yang bergelar Dapunta Hyang. Oleh karena Dapunta Hyang membawa puluhan ribu tentara lengkap dengan perbekalan, sudah tentu perjalanan itu bukanlah piknik, melainkan ekspedisi militer menaklukkan suatu daerah. Dari prasasti Kedukan Bukit, kita mendapatkan data-data:

1. Dapunta Hyang naik perahu tanggal 11 Waisaka 604 (23 April 682). Tidak ada keterangan dari mana naik perahu dan mau kemana.

2. Dapunta Hyang berangkat dari Minanga tanggal 7 Jesta (19 Mei) dengan membawa lebih dari 20.000 balatentara. Rombongan lalu tiba di Muka Upang (sampai kini masih ada desa Upang di tepi Sungai Musi, sebelah timur Palembang).

3. Dapunta Hyang membuat 'wanua' tanggal 5 Asada (16 Juni). (Penyesuaian tarikh Saka ke tarikh Masehi diambil dari Louis-Charles Damais, "Etude d'Epigraphie Indonesienne III: Liste des Principales Datees de l'Indonesie," BEFEO, tome 46, 1952).

Prasasti Kedukan Bukit hanya menyebutkan gelar Dapunta Hyang tanpa disertai nama raja tersebut. Dalam prasasti Talang Tuwo yang dipahat tahun 606 Saka (684 M) disebutkan bahwa raja Sriwijaya Dapunta Hyang Sri Jayanasa menitahkan pembuatan Taman Sriksetra tanggal 2 Caitra 606 (23 Maret 684). Beasar kemungkinan dialah raja Sriwijaya yang dimaksudkan dalam prasasti Kedukan Bukit.

Timbul setumpuk pertanyaan: Dimanakah letak Minanga? Benarkah Minanga merupakan pusat Kerajaan Sriwijaya, ataukah hanya daerah taklukan Sriwijaya? Apakah arti kalimat 'marwuat wanua'? Benarkah kalimat itu menyatakan pembangunan sebuah kota seperti banyak ahli sejarah?

Demikianlah prasasti Kedukan Bukit mengandung banyak persoalan yang tidak sederhana. "This text has coused much ink to flow" kata Prof. Dr. George Coedes dalam bukunya, The Indianized States of souttfeast Asia, University of Malay Press, Kuala Lumpur, 1968, h. 82.

Beberapa Tafsiran
Pada tahun 1975 Departeman P & K menerbitkan enam jilid buku Sejarah Nasional Indonesia yang ditetapkan sebagai buku standar bagi pelajaran sejarah di sekolah-sekolah. Jilid II membahas Zaman Kuno, disusun oleh Ayatrohaedi, Edi sedyawati, Edhie wuryantoro, Hasan Djafar, Oei Soan Nio, Soekarto K. Atmojo dan Suyatmi Satari, dengan editor Bambang Sumadio.

Tafsiran mereka terhadap isi prasasti Kedukan Bukit sebagai berikut: Dapunta Hyang memulai perjalanan dari Minanga Tamwan, kemudian mendirikan kota yang diberi nama Sriwijaya. Mungkin sekali pusat Sriwijaya terletak di Minanga Tamwan itulah, daerah pertemuan Sungai Kampar Kanan dan Kampar Kiri (Sejarah Nasional Indonesia, II, Balai Pustaka, Jakarta, 1977, h. 53).

Dr. Buchari, ahli epigrafi terkemuka, dalam tulisannya "An Old Malay Inscription of Srivijaya at Palas Pasemah (South Lampung)," Pra Seminar Penelitian Sriwijaya, Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional, Jakarta, 1979, hh. 26-28, memberikan penafsiran yang berbeda: Pada mulanya Kerajaan Sriwijaya berpusat di Minanga yang terletak di Batang Kuantan, di tepi Sungai Inderagiri, dengan alasan minanga = muara = kuala = kuantan. Lalu pada tahun 682 Dapunta Hyang menyerang Palembang dan membuat kota yang kemudian dijadikan ibukota kerajaan yang baru.

Jadi pada tahun 682 terjadi perpindahan ibukota Sriwijaya dari Minanga ke Palembang. Dr Slamet Mulyana, ahli filologi ternama, dalam bukunya Kuntala, Sriwijaya dan Suwarnabhumi, Idayu, Jakarta, 1981, hh. 73-74, berpendapat bahwa Kerajaan Sriwijaya selamanya beribukota di Palembang dan tidak pernah berpindah-pindah. Isi prasasti Kedukan Bukit tidak ada hubungannya dengan pembuatan kota Sriwijaya. Dan Minanga yang disebutkan dalam prasasti itu hanyalah sebuah daerah taklukan Sriwijaya. Slamet Mulyana melokasikan Minanga di Binanga, yang terletak di tepi Sungai Barumun, Sumatera Timur.

Lokasi Sriwijaya
Pendata I-tsing (624-713), dalam pelayaran dari China ke India tahun 671, singgah di negeri Sriwijaya enam bulan lamanya untuk mempelajari Sabdawidya (tatabahasa Sansekerta), ketika pulang dari India tahun 685 I-tsing bertahun-tahun tinggal di Sriwijaya untuk menerjemahkan naskah-naskah Buddha dadi bahasa Sansekerta ke bahasa China. I-tsing kembali ke China dari Sriwijaya tahun 695. Selama di Sriwijaya dia menulis dua buah bukunya yang temasyhur, Nan-hai Chi-kuei Nei-fa (Catatan Ajaran Buddha yang dikirimkan dari Laut Selatan) serta Ta-T'ang Hsi-yu Ch'iu-fa Kao-seng Chuan (Catatan Pendeta-pendeta yang menuntut ilmu di India zaman Dinasti Tang).

Kedua karya I-tsing masing-masing diterjemahkan oleh Junjiro Takakusu, A record of Buddhist Religion as Practised in India and the Malay Achipelago AD 671-695, by I-tsing, Oxford, London, 1896, dan oleh Edouard Chavannes, Memoire compose a l'epoque de la grande dynastie Tang, sur les Religiuex Eminents qui allerent chercher la loi dans les pay d'Occident, par I-tsing, Ernest leroux, Paris, 1894.

Cuplikan uraian I-tsing juga terdapat dalam karya Gabriel Ferrand, L'Empire Sumatranais de Crivijaya, Imprimerie Nationale, Paris 1922, Bab "Textes Chinois,serta karya Paul Wheatley, the Golden Khersonese, University of Malaya Press, Kuala Lumpur, 1961, Bab "Towards the Holy Land." Kemudian Oliver W. Wolters dalam bukunya Early Indonesian Commerce, Cornell University Press, Ithaca, 1967, mengoreksi kekeliruan terjemahan Takakusu dan Chavannes.

Dalam kedua karya itu I-tsing memberikan informasi berharga mengenai letak dan keadaan Sriwijaya. Oleh karena itu dia lama berdiam di Sriwijaya, sudah tentu keterangannya sangat dapat dipercaya. I-tsing menyaksikan keadaan Sriwijaya dengan mata kepalanya sendiri. Uraian-uraiannya merupakan sumber berita dari tangan pertama. Tidak ada alasan bagi kita untuk meragukan pernyataan I-tsing itu.

Kisah pelayaran I-tsing dari Kanton tahun 671 diceritakannya sendiri sebagai berikut: "Ketika angin timur laut mulai bertiup, kami berlayar meninggalkan Kanton menuju selatan.... Setelah lebih kurang dua puluh hari berlayar, kami sampai di negeri Sriwijaya. Di sana saya berdiam selama enam utnuk belajar Sabdawidya. Sri Baginda sangat baik kepada saya. Beliau menolong mengirimkan saya ke negeri Melayu, di mana saya singgah selama dua bulan. Kemudian saya kembali meneruskan pelayaran ke Kedah.... Berlayar dari Kedah menuju utara lebih dari sepuluh hari, kami sampai di Kepulauan Orang Telanjang (Nikobar).... Dari sini berlayar ke arah barat laut selama setengah bulan, lalu kami sampai di Tamralipti (pantai timur India)." (Chavannes, h. 119; Ferrand, h. 4; Wheatley, hh. 41-42; Wolters, hh. 207-208).

Perjalanan pulang dari India tahun 685 diceritakan I-tsing sebagai berikut: "Tamralipti adalah tempat kami naik kapal jika akan kembali ke China. Berlayar dari sini menuju tenggara, dalam dua bulan kami sampai di Kedah. Tempat ini sekarang menjadi kepunyaan Sriwijaya.... Saat kapal tiba adalah bulan pertama atau kedua.... Kami tinggalkan Kedah sampai musim dingin, lalu naik kapal ke arah selatan. Setelah kira-kira sebulan, kami sampai di negeri Melayu, yang sekarang menjadi bagian Sriwijaya. Kapal-kapal umumnya juga tiba pada bulan pertama atau kedua. Kapal-kapal itu senantiasa tinggal di Melayu sampai pertengahan musim panas, lalu mereka berlayar ke arah utara, dan mencapai Kanton dalam waktu sebulan." (Takakusu, h. 34; Wheatley, hh. 41-41; Wolters, hh. 227-228).

Dari uraian I-tsing jelas sekali bahwa Melayu terletak di tengah pelayaran antara Sriwijaya dan Kedah. Jadi Sriwijaya terletak di selatan atau tenggara Melayu. Hampir semua ahli sejarah sepakat bahwa negeri Melayu berlokasi di Jambi, sebab pada alas arca Amonghapasa yang ditemukan di Jambi terdapat prasasti bertarikh 1208 Saka (1286 M) yang menyebutkan bahwa arca itu merupakan hadiah raja Kertanagara (Singhasari) kepada raja Melayu (Lihat: R. Pitono Hardjowardojo, Adityawarman, Sebuah Studi tentang Tokoh Nasional dari abad XIV, Bhratara, Djakarta, 1966, hh. 36-38). I-tsing juga mengatakan bahwa Sriwijaya terletak di muara sungai yang besar (Chavannes, h. 176; Ferrand, h. 6; Wolters, h.226). Maka satu-satunya tempat yang memenuhi syarat sebagai lokasi negeri Sriwijaya adalah PALEMBANG.

Ditinjau dari data arkeologi, pelokasian Sriwijaya di Palembang memperoleh pembuktian yang kuat. Sebagian besar prasasti Sriwijaya ditemukan di Palembang: Kedukan Bukit, Talang Tuwo, Telaga Batu, lima buah pecahan prasasti, dan batu-batu mengenai siddhayatra'. Pada salah satu pecahan prasasti terdapat keterangan mengenai perdatuan (istana raja). Yang lebih meyakinkan, prasasti Telaga Batu menyebutkan berbagai pembesar tinngi yang hanya mungkin ada di ibukota atau pusat pemerintahan suatu kerajaan, seperti putra mahkota, selir raja, senopati, hakim, para menteri, sampai pembersih dan pelayan istana. Lihat: George Coedes, "Les Inscription Malaises de Crivijaya", BEFEO, tomr 30, 1930, hh. 29-80; Johanes Gijsbertus de Casparis, Prasasti Indonesia II, Dinas Purbakala Republik Indonesia, Masa Baru, Bandung, 1956, hh.1-46.

Ir. J.L. Moens dalam karangannya "Crivijaya, Yava en Kataf," dalam TBG, deel 77, 1937, melokasikan Sriwijaya di Muara Takus yang terletak pada garis khatulistiwa, berdasarkan uraian I-tsing bahwa di Sriwijaya orang yang berdiri pada tengah hari tidak mempunyai bayang-bayang. Tetapi di Muara Takus tidak ada bukti arkeologis yang lebih kuat daripada di Palembang. Pernyataan I-tsing itu tidak harus berarti Sriwijaya pada lintang nol derajat, melainkan dapat ditafsirkan bahwa Sriwijaya terletak di sekitar khatulistiwa.

Palembang pun memenuhi syarat, sebab terletak pada posisi tiga derajat lintang lintang selatan (masih dekat dengan khatulistiwa). Patut diingat I-tsing biasa hidup di negeri China di mana bayang-bayang tengah hari cukup panjang. Dapat dipahami jika dia mengatakan di Sriwijaya (Palembang) tidak ada bayang-bayang tengah hari. Bahwa negeri Sriwijaya tidak terletak pada garis khatulistiwa, melainkan di selatan khatulistiwa, terbukti dari keterangan Al-Biruni yang mengatakan bahwa garis khatulistiwa terletak antara Kedah dan Sriwijaya (Abu Raihan Muhammad ibn Ahmad Al-Biruni, ahli geografi Persia, mengunjungi Asia Tenggara tahun 1030 dan menulis catatan perjalanan Tahqiq ma li l-Hind (Fakta-fakta di Hindia). Paul Wheatley, h. 219, menerjamahkan keterangan Al-Biruni: "The equator runs between Kedah and Srivijaya).

Pada tahun 1854, atas perintah Menteri P & K Muhammad Yamin, Dinas Purbakala mengadakan penelitian geomorfologi pantai timur Sumatera. Hasil penelitian itu menyatakan bahwa pada abad ketujuh Jambi dan Palembang masih terletak di tepi laut. Jambi mempunyai kedudukan yang sangat strategis dalam menguasai lalu lintas pelayaran. Kapal-kapal dari India, China, dan Jawa harus melewati Jambi, sedangkan Palembang hanya dilewati kapal-kapal yang berlayar antara Selat Malaka dan Jawa. Lagi pula, letak pelabuhan Jambi menghadap ke laut bebas, sedangkan pelabuhan Palembang hanya menghadap ke Selat Bangka.

Berdasarkan hasil penelitian itu, Dr. Sukmono dalam tulisannya "Tentang Lokalisasi Crivijaya," Laporan kongres Ilmu Pengetahuan Nasional Pertama, Jilid V, Madjelis Ilmu Pengetahuan Indonesia, Djakarta, 1958, cenderung melokasikan Sriwijaya di Jambi. Kiranya pendapat Dr. Sukmono ini terlalu tergesa-gesa. Meskipun Jambi lebih stategis. Tidaklah berarti Sriwijaya harus di Jambi, sebab tidak ada sumber sejarah yang mengatakan letak Sriwijaya strategis. Kata I-tsing, yang selalu disinggahi kapal-kapal adalah Melayu bukan Sriwijaya. Jadi hasil penelitian geomorfologi itu justru membuktikan Jambi sebagai lokasi negeri Melayu!

Sewaktu Kerajaan Sriwijaya baru berdiri pada pertengahan abad ketujuh, negeri itu hanya sering disinggahi pendeta-pendeta China untuk urusan keagamaan. Kata I-tsing, pendeta China yang ingin mempelajari ajaran Buddha di India sebaiknya berdiam dulu di Sriwijaya untuk berlatih (Takakusu, h. 34; Coedes, The Indianized States, h. 81). Ditinjau dari segi keagamaan Sriwijaya memang menonjol. Tetapi dari segi ekonomi dan perdagangan Sriwijaya tertinggal oleh Melayu dan Kedah yang letaknya strategis. Itulah sebabnya pada akhir abad ketujuh Sriwijaya melancarkan ekspansi teritorial untuk menguasai pelabuhan-pelabuhan strategis di Selat Malaka.

Ketika I-tsing pulang dari India tahun 685, dia mengatakan bahwa Kedah dan Malayu sudah menjadi daerah kekuasaan Sriwijaya. Jelaslah bahwa dominasi Kerajaan Sriwijaya atas Selat malaka bukanlah karena letak ibukotanya strategis, melainkan karena kerajaan itu mampu menguasai pelabuhan Malayu dan Kedah. Kesimpulannya, ditinjau dari segi manapun (data arkeologi, uraian I-tsing, penelitian geomorfologi), tidak ada tempat lain yang cocok sebagai lokasi negeri Sriwijaya selain Palembang. Seperti kata prof, Oliver W. Wolters, "Srivijaya had its capital at Palembang and nowhere else. In support of this location, there is an impressive consistency between the epigraphic evidence and I-tsing's records" (Wolters, h. 208. Kesimpulan yang sama dikemukakan oleh Coedes, 1968, h. 92).

"Marwuat Wanua "
Banyak ahli sejarah yang mengartikan ungkapan "marwuat wanua" pada prasasti Kedukan Bukit dengan "membuat kota," sehinnga timbul anggapan bahwa pada tahun 682 Dapunta Hyang datang ke Palembang untuk membuat kota Sriwijaya. Padahal pada tahun 671 I-tsing telah singgah di Sriwijaya. Menurut Hsin-T'ang-shu (Sejarah Baru Dinasti Tang), Kerajaan Sriwijaya telah mengirimkan utusan ke China pada periode 670-673. Lihat: Paul Pelliot, "Deux Itineraires de Chine en Inde a la Fin du VIIIe Siecle," BEFEO, tome 4, 1904, h. 334. Hal ini berarti bahwa peristiwa "marwuat wanua" tahun 682 itu bukanlah menyatakan pembentukan negeri Sriwijaya.

Kata wanua memiliki arti ganda: kota (negeri) dan rumah (bangunan). Dalam beberapa bahasa daerah di Sumatera bagian Selatan, sampai sekarang kata wanua berarti "rumah," sering disingkat menjadi nua atau nuo. Prof. George Coedes, dalam karangannya Les Inscriptions malaises de Crivijaya tahun 1930, memberikan arti: wanua = pays, royaume, forteresse (kota, kerajaan, rumah pertahanan). Lihat Coedes, 1930, h. 77. ketika Van ronkel mula-mula menerjemahkan prasasti Kedukan Bukit, dia mengartikan wanua dengan fortress (rumah pertahanan). Lihat Van Ronkel, hh. 20-21. Jadi kata "marwuat wanua" dapat berarti "membuat kota atau "membuat rumah."

jika kita artikan membuat kota, kita terbentur pada kenyataan bahwa kota Sriwijaya sudah ada pada pada tahun 671. Maka satu-satunya pilihan adalah mengartikannya membuat rumah. Pada pecahan prasasti nomor D.161 yang ditemukan di Palembang, yang isinya serupa dengan isi prasasti Kedukan Bukit, tertulis.... wihara ini, di wanua ini (J.G. de Casparis, 1956, hh. 14-15). Jelaslah bahwa wanua (rumah) yang dibuat Dapunta Hyang tahun 682 adalah sebuah wihara (rumah peribadatan).

Persoalan Minanga
Prasati kedukan Bukti mengatakan pada tanggal 7 Jesta 604 (19 Mei 682) Dapunta Hyang berangkat (marlapas) dari Minanga. Oleh karena dia meninggalkan Minanga dengan tentara yang bersukacuta, mudahlah disimpulkan bahwa Minanga merupakan daerah yang baru saja ditaklukan Sriwijaya. Mereka berangkat dari Minanga dengan sukacita--karena baru menang perang--untuk kembali ke ibukota di Palembang.

Di manakah letak Minanga? Anggapan para penyusun Sejarah Nasional Indonesia Jilid III bahwa Minanga terletak di pertemuan Sungai Kampar Kiri dan Kampar Kanan bersumber pada pendapat prof. Dr. R.M.Ng. Purbatjaraka dalam Riwayat Indonesia, I, Jajasan Pembangunan, Djakarta, 1952, h. 35. Alasannya "tamwan" berasal dari kata "temu," lalu Purbatjaraka menafsirkannya "daerah tempat sungai bertemu." Mengapa harus di Kampar, Purbatjaraka tidak memberikan alasan. Pendapat ini dibantah dengan jitu oleh Prof. Dr. J.G. de Casparis yang membuktikan bahwa "tamwan" tidak ada hubungan dengan "temu," sebab kata yang terakhir ini sudah dipakai pada zaman Sriwijaya.

Dalam prasasti Talang Tuwo terdapat enam buah kata temu" (J.G. de Casparis, 1956, h. 13). Penelitian para ahli bahasa mengatakan bahwa kata "tamwan" pada prasasti Kedukan Bukit bukanlah nama tempat, melainkan kata biasa yang sekarang menjadi "tambahan," sebagaimana kata wulan, seribu, wanyak dan marwuat menjadi bulan, seribu, banyak dan membuat. Pendapat Dr. Buchari yang menyatakan Minanga adalah Batang Kuantan (minanga = muara = kuala = kuantan) juga perlu diragukan. Kata "minanga" tidak ada hubungan dengan "muara," sebab kata "muara" juga sudah dipakai pada zaman Sriwijaya. Pada pecahan prasasti A baris ke-16 yang ditemukan di Palembang terdapat kata "muara.' Lihat: J.G. de Casparis, 1956, h. 5.

Buchari sendiri mengakui bahwa di Batang Kuantan belum ditemukan peninggalan arkeologis yang menunjang pendapatnya, dengan mengatakan (1979, h. 28), "Memang di Batang Kuantan belum ditemukan peninggalan arkeologis. Tapi kan di sana belum diadakan penggalian? Siapa tahu nanti ada kejutan di sana.

Untuk menetapkan daerah yang cocok bagi lokasi Minanga, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi:

(1). Daerah tersebut namanya mirip dengan Minanga.

(2). Daerah itu menurut prasasti Kedukan Bukit berjarak kira-kira sebulan pelayaran dari Palembang.

(3). Daerah itu lokasinya strategis mengingat ekspansi Sriwijaya bertujuan menguasai lalu lintas pelayaran dan perdagangan.

(4). Pada daerah itu terdapat peninggalan arkeologis yang membuktikan bahwa daerah itu pernah berperan dalam sejarah.

Kiranya daerah yang cocok bagi pelokasian Minanga adalah Binanga yang terletak di tepi Sungai Barumun, Sumatera Timur, seperti pendapat Dr. Slamet Mulyana. Daerah Binanga memenuhi persyaratan dari segala aspek:

1. Pada abad ketujuh Binanga masih terletak di tepi laut

2. Tempat itu ideal untuk mengawasi lalu lintas Selat Malaka.

3. Tempat itu dapat digunakan batu loncatan oleh armada Sriwijaya untuk menyerang Semenanjung. Seperti dikatakan I-tsing, pada tahun 685 (tiga tahun setelah penaklukan Minanga, 682) Kedah sudah ditaklukan Sriwijaya.

4. Di daerah Padang Lawas, dekat Binanga, sampai kini terdapat biaro (wihara) Bahal, Sitopayan dan Sipamatung. Ini berarti Binanga pernah berperan dalam sejarah.

5. Perubahan nama Minanga menjadi Binanga sangat mungkin terjadi, sebab fonem m dan b sama-sama huruf bibir (bilabial). Kata mawa dan marlapas pada prasasti Kedukan Bukit kini berbah menjadi bawa dan berlepas (berangkat).

Kesimpulan:
Berdasarkan seluruh uraian di atas, isi prasasti Kedukan Bukit dapat ditafsir sebagai berikut:

Pada tanggal 11 Waisaka 604 (23 April 682) raja Sriwijaya yang bergelar Dapunta Hyang naik perahu dari tempat untuk bergabung dengan tentaranya yang baru saja menaklukan Minanga (Binanga).

Lalu pada tanggal 7 Jesta (19 Mei) Dapunta Hyang memimpin laskarnya meninggalkan Minanga untuk pulang ke ibukota. Mereka bersukacita karena pulang dengan membawa kemenangan. Mereka mendarat di Muka Upang, sebelah timur Palembang, lalu menuju ibukota

Kemudian pada tanggal 5 Asada (16 Juni) Dapunta Hyang menitahkan pembuatan sebuah wanua (bangunan) berupa wihara di ibukota sebagai manifestasi rasa syukur dan gembira. Boleh dipastikan bahwa pembuatan Taman Sriksetra pada tahun 606 Saka (684 Masehi), sebagaimana tercantum pada prasasti Talang Tuwo, masih merupakan rangkaian manifestasi rasa gembira akibat suksesnya siddhayatra (ekspedisi militer) dua tahun sebelumnya,

Oleh karena itu isi prasasti Kedukan Bukit (jugaprasasti Talang Tuwo) menceritakan peristiwa penting dalam perkembangan Kerajaan Sriwijaya, sudah sewajarnya prasasti itu ditempatkan di ibukota kerajaan. dengan demikian, prasasti Kedukan Bukit memperkuat bukti bahwa pusat pemerintahan Sriwijaya berlokasi di Palembang.

Ditulis oleh: Nia Kurnia Sholihat Irfan dalam http://irfananshory.blogspot.com

Penulis adalah alumnus Jurusan Sejarah FKIS IKIP (sekarang FP-IPS UPI) Bandung tahun 1980 dengan artikel "Kerajaan Sriwijaya" yang kemudian diterbitkan oleh Penerbit Girimukti Pasaka, Jakarta, 1983.

Jembatan Ampera, Mahakarya Anak Negeri

Jembatan Ampera

Jembatan Ampera yang terletak di tengah Kota Palembang, Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel), dan membentang di atas Sungai Musi, merupakan jembatan kebanggaan warga Sumsel, khususnya wong Palembang, bahkan rakyat Indonesia secara umum.

Jembatan ini menghubungkan daerah Seberang Ulu dan Seberang Ilir yang dipisahkan oleh Sungai Musi. Mahakarya anak negeri ini telah menjadi semacam ikon kota (icon of the city). Jadi tak heran jika seseorang datang ke Palembang merasa tidaklah lengkap kalau belum melihat dari dekat atau berpose di jembatan ini.

Sebagai sarana penghubung, keberadaan Jembatan Ampera sangat penting sekali artinya, bahkan boleh dikatakan sangat vital, bagi sebagian besar warga masyarakat kota Palembang.

Warga yang memanfaatkan jembatan ini tiap hari terus bertambah, seiring dengan terus meningkatnya populasi penduduk dan derasnya pertambahan jumlah kendaraan.

Setiap hari, ratusan ribu warga yang ingin melakukan aktivitas rutin mereka, baik yang berjalan kaki maupun dengan kendaraan, melintas di atas jembatan ini.

Tak heran jika Jembatan Ampera kini rawan terjadi kemacetan arus lalu lintas, terutama pada jam-jam sibuk.

Meski telah “berumur” namun jembatan berkonstruksi baja ini tetap kokoh. Kendati demikian Pemerintah Provinsi Sumsel berencana membangun jembatan baru sebagai solusi mengatasi kemacetan arus lalu lintas yang diprediksi akan semakin parah.

Jembatan tersebut rencananya diberi nama Jembatan Musi III. Setelah itu juga direncanakan dibangun Jembatan Musi IV.

Jembatan Ampera dibangun pada masa pemerintahan Soekarno, tepatnya bulan April 1962. Dananya berasal dari hasil pampasan perang pemerintah Jepang. Tenaga ahlinya pun didatangkan dari Jepang.

Saat diresmikan pada Mei 1965, Jembatan Ampera diklaim sebagai jembatan terbesar di Asia Tenggara. Total panjang jembatan mencapai 1.177 meter (3.665 kaki), lebar 22 meter (72 kaki), tinggi 63 meter (207 kaki), dan bentang utama 75 meter (246 kaki).



Ide pembangunan Jembatan Ampera sebetulnya sudah ada sejak zaman Gemeente Palembang yaitu pada tahun 1906. Tujuannya untuk menyatukan dua daratan di Kota Palembang yaitu Seberang Ulu dan Seberang Ilir.

Tahun 1924, saat Walikota Palembang dijabat Le Cocq de Ville, ide ini dimunculkan kembali. Berbagai usaha dilakukan untuk merealisasikannya. Namun sampai masa jabatan Le Cocq berakhir, bahkan ketika Belanda hengkang dari Indonesia, proyek itu tidak pernah terealisasi.

Setelah merdeka, tepatnya pada sidang pleno 29 Oktober 1956, DPRD Peralihan Kota Besar Palembang kembali mengusulkan pembangunan jembatan tersebut. Kala itu disebut Jembatan Musi dengan merujuk nama Sungai Musi yang dilintasinya.

Tahun 1957 dibentuk panitia pembangunan yang terdiri atas Penguasa Perang Komando Daerah Militer IV/Sriwijaya, Harun Sohar, dan Gubernur Sumatera Selatan, HA Bastari. Pendampingnya, Walikota Palembang, M Ali Amin, dan Indra Caya.


Ampera Dibangun

Tim ini melakukan pendekatan kepada Bung Karno agar mendukung rencana itu. Bung Karno pun setuju dengan syarat di kedua ujung jembatan dibangun taman terbuka (boulevard).

Awalnya jembatan ini dinamai Jembatan Bung Karno, dengan alasan sebagai bentuk penghargaan kepada Presiden RI pertama itu. Tahun 1966 diubah menjadi Jembatan Ampera, singkatan dari Amanat Penderitaan Rakyat. Perubahan dilakukan menyusul kuatnya gerakan anti-Soekarno.

Dulu, bagian tengah badan jembatan ini bisa diangkat ke atas agar tiang kapal yang lewat di bawahnya tidak tersangkut badan jembatan. Bagian tengah jembatan dapat diangkat dengan peralatan mekanis, dua bandul pemberat masing-masing sekitar 500 ton di dua menaranya. Total waktu yang diperlukan untuk mengangkat penuh bagian tengah jembatan selama 30 menit.

Pada saat bagian tengah jembatan diangkat, kapal dengan ukuran lebar 60 meter dan dengan tinggi maksimum 44,50 meter, bisa lewat mengarungi Sungai Musi. Bila bagian tengah jembatan ini tidak diangkat, tinggi kapal maksimum yang bisa lewat di bawah jembatan hanya sembilan meter dari permukaan air sungai.

Sejak tahun 1970, aktivitas turun naik bagian tengah jembatan ini sudah tidak dilakukan lagi. Alasannya, waktu yang digunakan untuk mengangkat jembatan ini dianggap mengganggu arus lalu lintas di atasnya. Apalagi dengan kondisi jumlah kendaraan saat ini. (SUDARWAN)

Sriwijaya Post – Kamis, 12 Mei 2011 22:43 WIB