Khusus Warga Pendatang, Bermasalah Rumah Dihanyutkan, Rumah rakit, mungkin bisa dikatakan sebagai rumah tertua di kota Palembang. Diperkirakan, rumah yang mengapung di pinggiran sungai Musi ini telah ada pada zaman Sriwijaya. Saat ini, rumah rakit ini diakui sebagai penunjang pariwisata. Hanya saja, melirik ke belakang pada zaman Kesultanan Palembang Darussalam, rumah rakit ternyata khusus diperuntukan bagi warga pendatang, terutama Warga Negara Asing (WNA). Apa sebab?
Bicara peradaban Palembang tak dapat dipisahkan dengan sungai Musi. Sungai ini merupakan kehidupan vital wong kito sejak berabad-abad lalu. Nah, salah satu peradaban tertua yang sudah ada sejak zaman Sriwijaya adalah rumah rakit.
Dikatakan rumah rakit, karena pondasinya terbuat dari bambu. Bahan utama membuat rakit. Bahan bambu inilah yang membuat rumah rakit bisa mengapung. Naik serta turun, tergantung pasang surut sungai.
“Bahan lain bisa dikatakan murah meriah. Menunjukan budaya lokal zaman dulu,” ungkap Kms Aripanji SPd MSi, Sekretaris Masyarakat Sejarawan Indonesia cabang Sumsel kepada Sumeks Minggu, dibincangi Rabu (26/10) lalu.
Maksudnya, dengan rumah rakit ini, masyarakat yang hendak mendirikan rumah tidak perlu melakukan penimbunan seperti sekarang ini. Yang dapat menggangu ekosistem dan menimbulkan banjir karena berkurangnya daerah resapan air. Keuntungan lain, tentu saja pemiliknya bisa memindahkan rumah ke daerah lain dengan cara dihanyutkan.
Nah, rumah rakit sendiri disusun dari batangan bambu, dipasang lantai papan dengan penyangga tiang pendek. Sehingga, meski berada diatas sungai, lantai rumah tidak kemasukan air. Rumah ini pun bisa disebut “anti banjir”.
Barulah di sudut atas di pasang tiang penyangga untuk menyusun dinding rumah serta menegakan atap. Atap rumah rakit sendiri sejak zaman dulu menggunakan nipah. Saat ini banyak digunakan seng atau seng berbentuk genteng yang bahannya ringan. Agar tidak hanyut ke hilir atau hulu, ditancapkan tiang di tiap sudut rumah. Lalu tiang diikat ke sudut rumah.
Aturan Bernuansa Politik
Masalah rumah rakit diyakini Aripanji telah ada sejak zaman Sriwijaya, abad 7 hingga 14. Termasuk pada masa Kerajaan Palembang, 14 hingga 17 serta pada masa Kesultanan Darussalam abad 17 hingga 19.
Hanya saja, masalah rumah lebih dikenal pada masa Kesultanan. Ini tak lepas dari kebijakan dibuat pada masa itu. Kebijakan tersebut dikatakan Aripanji sebagai kebijakan atau aturan bernuansa politis.
Yakni, menempatkan para pendatang khususnya Warga Negara Asing (WNA) untuk tinggal di rumah rakit. Seperti warga China serta Belanda. Sedangkan penduduk pribumi saat itu tinggal didaratan. Atau pinggiran sungai dengan tiang rumah sudah menyentuh daratan.
Didiskrimanasinya para pendatang pada masa Kesultanan lanjut Ari karena adanya kecurigaan. Seperti bangsa Belanda yang sudah sejak lama terkenal hendak menjajah Indonesia.
“Kalau orang China itu dicurigai karena kedekatannya sama Belanda. Tapi itu kan karena masalah perdagangan saja, “ ujarnya cepat.
Dengan tinggalnya para pendatang serta WNA ini diatas rumah sakit, secara otomatis, Kesultanan dapat secara mudah melakukan pengontrolan. Mereka bermasalah, tali pengikat rumah rakit tinggal dipotong, rumah itu pun bakal hanyut.
Hanya saja, Belanda dapat melakukan pendekatan dengan Kesultanan hingga dapat mendirikan sebuah loji (kantor dagang,red) di sungai Aur. “Kemudian, mereka juga menepi dan tinggal di darat,” jelasnya.
Sejak Belanda berhasil menguasai Kesultanan Palembang, keadaan berubah. Usai kemerdekaan hingga kini, jumlah rumah rakit dipastikan berkurang. Rumah rakit pun tak lagi kesannya tempat orang diasing atau terpinggirkan. Yang tak banyak berubah, rumah rakit banyak digunakan sebagai tempat berdagang. Yang dulunya banyak dilakukan orang-orang China. (wwn)
Written by: samuji Selasa, 01 November 2011 11:57 | Sumeks Minggu
0 comments:
Post a Comment
Terima Kasih Kunjungannya Saudara-saudaraku