Tuesday, 25 September 2012

Masih Kategori Pecinan

Share on :



Menelusuri Jejak Perkampungan Warga Tionghoa di Palembang, Belum Masuk China Town
Masyarakat Tionghoa sejak dulu terkenal banyak merantau, menyebar di kota-kota besar berbagai negara. Di kawasan tertentu pada kota-kota tersebut, mereka kemudian menjadi masyarakat mayoritas hingga kawasan ditinggali dikenal menjadi Pecinan atau kampung China bahkan dengan sebutan China Town. Bagaimana di Palembang?

Masuknya orang-orang China di Palembang sejauh ini masih dihubungkan dengan datangnya Laksamana agung Cheng Ho, diutus kaisar Yunglo yang merupakan kaisar dinasti Ming pada Tahun 1405. Selain terkenal sebagai penjelajah, penakluk, diplomat, serta pedagang, sebagai muslim ia juga melakukan dakwah. Namun, kedatangan Cheng Ho ke Palembang menurut salah seorang tokoh masyarakat Tionghoa, Fauzi Thamrin atas permintaan Raja Palembang kala itu.

Karena membawa puluhan kapal besar serta ribuan awak kapal, sang laksamana diminta untuk menangkap seorang bajak laut yang juga asal China. Jika dihubungkan dengan kedatangan Laksamana Cheng Ho, kemungkinan dari ribuan awak sang laksamana, berasal dari berbagai penganut agama memilih tinggal dan menetap di Palembang. Meski banyak juga menyakini, masuknya warga keturunan ini karena mereka berlayar ke berbagai belahan dunia hingga Palembang karena pecahnya perang saudara di negeri asal.

Yang pasti, sejak awal menetap di Palembang, awal kemerdekaan hingga akhir tahun 1998, kehidupan masyarakat Tionghoa terbilang sulit dan akibat terdiskriminasi. Pada zaman Kesultanan Palembang, hingga Belanda berkuasa, mayoritas masyarakat China harus tinggal diatas rumah rakit sepanjang sungai Musi. Mereka baru bisa naik ke darat jika masuk kategori orang-orang berpendidikan, atau menjadi buruh angkut seperti penarik becak (becak China, red) bagi pejabat Belanda.

Ikut mengangkat senjata melawan penjajah, ketika Indonesia merdeka, seluruh orang-orang China ini diizinkan tinggal di daratan. Tapi kala itu mereka terbelah. Karena masih dianggap masyarakat datangan, sebagian besar di disentralisasi di kawasan Talang Buruk, Kelurahan Karya Baru, Kecamatan Sukarami. Kawasan ini sekarang bisa dikatakan maju. Dengan masuknya berbagai investor membangun berbagai perumahan. Namun dibawah tahun 2000 saja, kawasan ini masih tergiang sebagai kawasan hutan jarang dimasuki penduduk. Karena masih banyak masyarakat China bercocok tanam dan beternak. Kawasan satu ini pun masuk sebagai perkampungan China alias Pecinan. Sulitnya mengatakannya sebagai China Town.

“Mereka yang menetap di Talang Buruk usai kemerdekaan karena tidak mendapat status Warga Negara Indonesia (WNI). Tempat itu dulu kan masuk Kabuaten Muba, bukannya Palembang. Tempat itu hutan, jadi hanya bisa untuk berkebun dan beternak,” ungkap Fauzi Thamrin.

Bagi masyarakat China yang sudah mengantongi status WNI, usai kemerdekaan mereka kebanyakan berada di kawasan pasar 16 Ilir dan sekitarnya. Sebagai pusat ekonomi perdagangan, tempat ini paling pas mengais rezeki. Kisah-kisah sulit dialami warga China usai kemerdekaan di kawasan kumuh tersebut. Karena sejak zaman pemerintahan Soekarno mereka sudah di diskrimanasi, diperpanjang hingga zaman Soeharto, warga keturunan ini dipaksa harus banting tulang.

Fauzi Thamrin kecil yang lahir di Palembang, tepatnya di Lrg Becak kawasan pasar 16 Ilir tahun 1948 pernah mengalami pahit getirnya hidup. Pagi jual kue, lanjut dengan jualan koran, sekolah kemudian kembali berjualan koran pernah dilakoninya. Termasuk menjual tas, jaket ia hadapi. Sebuah foto usang hitam putih terbungkus plastik menggambarkan anak kecil menenteng koran sempat ditunjukan Fauzi Thamrin kepada koran ini. “Ini foto saya sewaktu kecil. Ini jadi kenangan saya. Memang saya pernah jual koran. Mau foto ini dibeli seratus juta pun saya tidak mau,” ungkap Fauzi tersenyum.

Gambaran foto Fauzi Thamrin kecil memberikan gambaran begitu sulitnya kehidupan warga keturunan saat itu. Ketika mereka dibatasi ruang geraknya, menjadi pedagang dalam berbagai bidang ekonomi sebagai satu-satunya jalan, harus dilakoni untuk bertahan hidup. Nah, dirunut ke belakang, orang-orang China di Palembang berasal dari berbagai Provinsi di tempat asal mereka, negeri Tiongkok. Seperti orang-orang Hokkian cenderung melakukan jual beli sembako, Tiociu hasil bumi, Hakka membuka toko besi, Hupei membuka jasa pemasangan gigi palsu, termasuk Anxi lebih banyak berkebun dan berternak.

Kecenderungan berusaha dari negeri asal ini juga dibawa orang China menggais rezeki di Palembang. Dengan prinsip taqwa, tekun, tabah, teliti dan tepat (5T), dari tiap generasi mereka pun melejit. Yang ada sekarang, keturunan Tionghoa lah yang menjadi penguasa. Membalikan keadaan dari masa lalu. Meski tidak segemerlap dibandingkan kawasan China Town diluar negeri, kawasan Jl Sayangan, Jl Segaran, Jl Kebumen masuk daerah pasar 16 Ilir, kini ibarat China Townnya Palembang. Karena kawasan ini belum seelite kawasan China Town di luar negeri seperti di Amerika. Sepintas, masih banyak masyarakat pribumi terlihat beraktivitas. Dibaliknya, keturunan dari negeri bambu inilah yang jadi bos.

Ketika Imlek ke 2563, jatuh tanggal 23 Januari lalu, suasana Chinese tidak hanya kental berada di kawasan tersebut. Di kawasan 9, 10, 11, 14 Ilir kini banyak ditinggali orang China. Dempo Dalam dan Luar, Jl Veteran dan Jl Rajawali, hingga masuk ke kawasan puncak Sekuning Bukit Besar. Bergesernya status sosial masyarakat China yang kini makin maju, terutama di bidang ekonomi bisa jadi ada unsur terpaksa, dipaksa dan memaksa. Karena sejak awal, mereka harus dipinggirkan. Sulitnya mereka masuk sebagai anggota TNI/POLRI, PNS, hingga menempuh jenjang pendidikan tinggi ketika zaman Soekarno hingga Soeharto jadi alasan mereka terpaksa berkecimpung di bidang perdagangan.

Ketika mereka maju, Mei 1998 mereka juga menjadi kambing hitam amukan masyarakat yang marah terhadap pemerintahan Soeharto. Kerugian harta benda warga keturunan yang dijarah, dibakar, belum lagi korban pemerkosaan di berbagai penjuru negeri, kemudian melahirkan sebuah organisasi yang kini dikenal dengan Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) Sumsel. Yang sempat dipimpin oleh Fauzi Thamrin hingga tahun 2010 lalu. (wwn)

dan sekitarnya penguasanypenguasa ekonomi di Palembang.

idup rukun dengan anak buah kapalnya yang terdiri dari berbagai penganut agama seperti Islam, Taoisme, Buddhinisme, Konfusianisme

Namun, Sebagian besar daerah yang pernah disinggahi oleh Cheng Ho menjadi pusat perdagangan. Pada setiap tempat persinggahannya, Cheng Ho menybarkan kebudayaan, karya seni, serta agama

Pecinan atau Kampung Cina (atau Chinatown dalam Bahasa Inggris) merujuk kepada sebuah wilayah kota yang mayoritas penghuninya adalah orang Tionghoa. Pecinan banyak terdapat di kota-kota besar di berbagai negara di mana orang Tionghoa merantau dan kemudian menetap seperti di Amerika Serikat, Kanada dan negara-negara Asia Tenggara

[sunting] Asal mula Pecinan

Pecinan pada dasarnya terbentuk karena 2 faktor yaitu faktor politik dan faktor sosial.

• Faktor politik berupa peraturan pemerintah lokal yang mengharuskan masyarakat Tionghoa dikonsentrasikan di wilayah-wilayah tertentu supaya lebih mudah diatur (Wijkenstelsel). Ini lumrah dijumpai di Indonesia di zaman Hindia Belanda karena pemerintah kolonial melakukan segregasi berdasarkan latar belakang rasial. Di waktu-waktu tertentu, malah diperlukan izin masuk atau keluar dari pecinan (Passenstelsel) semisal di pecinan Batavia.

• Faktor sosial berupa keinginan sendiri masyarakat Tionghoa untuk hidup berkelompok karena adanya perasaan aman dan dapat saling bantu-membantu. Ini sering dikaitkan dengan sifat ekslusif orang Tionghoa, namun sebenarnya sifat ekslusif ada pada etnis dan bangsa apapun, semisal adanya kampung Madras/ India di Medan, Indonesia; kampung Arab di Fujian, Cina atau pemukiman Yahudi di Shanghai, Cina.

heng He / Sampoo Kong / Sam Poo Thay / Dam Pu Hawang atau yang kita kenal dengan nama Laksamana agung Cheng Ho diutus oleh kaisar Yunglo yang merupakan kaisar dinasti ming pada Tahun 1405 untuk berlayar ke asia tenggara dan asia selatan sampai ke pantai timur afrika.

Cheng Ho sendiri berasal dari suku bangsa Hui di provinsi Yunnan. Ia adalah seorang penjelajah, penakluk, diplomat, serta pedagang. Perjalanan yang ia lakukan lebih merupakan goodwill mission dan dakwah. Ia memulai pelayaran pertamanya dengan membawa 62 kapal junk ( kapal besar ) yang membawa ribuan awak kapal dengan tujuan samudera pasai, Lambri ( Aceh Raya ) dan Palembang. Sebagian besar daerah yang pernah disinggahi oleh Cheng Ho menjadi pusat perdagangan. Pada setiap tempat persinggahannya, Cheng Ho menybarkan kebudayaan, karya seni, serta agama. Cheng Ho adalah seorang muslim dan ia dapat hidup rukun dengan anak buah kapalnya yang terdiri dari berbagai penganut agama seperti islam, taoisme, buddhinisme, konfusianisme.

Pada perjalanannya yang ke tujuh, Cina menjadi kekuatan angkatan laut yang tak tertandingi sehingga pada saat itu, banyak rakyat Tionghoa yang bermigrasi ke luar negeri termasuk ke Indonesia. Kebanyakan dari imigran tersebut adalah pedagang kecil, seniman, pekerja keras di persawahan, dan buruh. Imigran – imigran ini disebut tionghoa perantauan

( Huaqiou ). Pada tahun 1900 – 1930, migrasi orang tionghoa ke asia tenggara berkembang pesat hingga 50 – 60 %.

Menurut Danandjaja (2007 : 47) Beberapa anak buah Ceng Ho memutuskan untuk tinggal dan menetap di wilayah Indonesia. Mereka membuka lahan pertanian, berniaga, membangun rumah, dan menikah dengan penduduk setempat.

Lambat laun, orang – orangtionghoa perantauan mulai mengganti nama mereka menjadi nama pribumi, menikah dengan warga pribumi, dan berbaur dengan berbagai suku di Indonesia. Banyak orang – orang Tionghoa perantauan yang sukses berbisnis di Indonesia sehingga semakin banyak orang – orang cina yang bermigrasi ke Indonesia. Apalagi sebagian besar orang Tionghoa perantauan memiliki guanxi ( koneksi ) dengan kerabatnya di cina sehingga,bmemperbesar daya tarik orang – orang cina untuk bermigrasi ke Indonesia.

Menurut zien ( 200 : 56 – 58 ) Pada tahun 1500 – 1900 di Banten, orang Tionghoa perantauan bahkan ada yang sampai menduduki jabatan resmi kerajaan dalam urusan administrasi, pemegang pembukuan pembendaharaan, tukang timbang, dan juru bahasa. Para pedagang Tionghoa juga memiliki peran yang besar dalam mengembangkan kota – kota serta pelabuhan seperti di Banten, Aceh, dan Palembang. Oleh orang – orang belanda, kaum tionghoa digolongkan sebagai ‘timur asing’ yang memiliki beberapa keleluasaan seperti dikelompokan dalam enchave ( daerah kolong ), pemukiman yang biasa kita sebut dengan pecinan. Orang Tionghoa perantauan memiliki populasi lebih dari 55 juta orang pada tahun 1991.

Pada awal orde baru, perkumpulan masyarakat tionghoa tumbuh dengan leluasa. Keleluasaan ini mulai dianggap buruk dan dianggap sebagai diskriminasi oleh masyarakat pribumi. Mereka beranggapan bahwa orang – orang Tionghoa diberi hak khusus dan diistimewakan dalam hal berbisnis oleh presiden maupun pejabat Negara. Pada masa itu, masyarakat Tionghoa mulai dijadikan kambing hitam dan diperlakukan buruk hingga mencapai puncaknya pada bulan mei 1998 di Jakarta dan beberapa kota di jawa.saat itu terjadi penjarahan, pembakaran rumah dan toko, pemerkosaan, penganiayaan terhadap warga tionghoa, bahkan pembunuhan.

Pada masa ini di Jawa dikenal istilah:

Totok yang merupakan istilah untuk memanggil orang Tionghoa yang baru masuk ke Indonesia atau orang tuanya baru masuk ke Indonesia. Dan belum lama tinggal di Indonesia

Baba yaitu istilah yang dipakai untuk memanggil orang Tionghoa yang telah lama, turun temurun tinggal di Indonesia.

Di era reformasi, terlihat sejumlah usaha Presiden B .J. Habibie untuk merangkul minoritas cina. Antara lain dengan digunakannya kata ‘ Suku Tionghoa ‘ untuk menyebut warga negara Indonesia keturunan cina; kode KTP( kartu tanda penduduk ) berupa inisial K - 1 dihapuskan.

Written by: Samuji Selasa, 31 Januari 2012 11:09 | Sumeks Minggu

0 comments:

Post a Comment

Terima Kasih Kunjungannya Saudara-saudaraku