Friday, 21 September 2012

Pelataran Benteng Kuto Besak Dalam Kenangan

Share on :



Pasar Kumuh Yang Disulap Jadi Ikon Palembang
Generasi muda Palembang saat ini mungkin tak banyak mengetahui wajah lama yang kini menjadi pelataran Benteng Kuto Besak (BKB). Era tahun 1970 hingga akhir 1999, pelataran BKB masih berupa pasar. Umumnya tempat penjualan buah serta ternak. Kesannya sangat kumuh, becek serta menimbulkan bau tidak sedap. Bagaimana keadaannya kala itu? Berikut, liputan Sumeks Minggu.

Cukup sulit menggambarkan kondisi pelataran BKB zaman dulu. Meski banyak yang mengetahui tempat tersebut bekas pasar buah, karena baru disulap awal tahun 2000 lalu, tak banyak dokumentasi menunjang.

Alhasil, koran ini menemui mantan Sekda Kota Palembang, Drs H Marwan Hasmen. Pria dengan ciri khas berkumis tebal ini, bisa dibilang mengetahui persis keadaan pelataran BKB dari masa ke masa.

Maklum, 41 tahun sudah Marwan mengabdikan diri sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Sebelum menjabat Sekda Kota Palembang, jabatan Kepala Dinas LLAJ, Kasat Pol-PP hingga Kepala Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Palembang pernah ia emban. Tahun 2000, ketika dirinya menjabat kasat Pol-PP, saat itulah sosialisasi pembersihan serta pembangunan depan BKB dimulai.

Awalnya Sekedar Dermaga
Cukup banyak julukan pasar depan BKB. Ada yang menyebutnya dengan pasar pisang. Karena mayoritas pedagang yang berjualan pisang. Ada juga yang menyebutnya pasar Sekanak. Karena terhubung dengan pasar Sekanak. Namun sepengetahuan Marwan, pasar itu disebut dengan pasar Benteng. Karena posisinya yang berada di depan Benteng (BKB).

Tahun 1970 an sendiri, Marwan mengenang kawasan tersebut tak lebih dari sekedar dermaga. Tempat perahu ketek, jukung dan berbagai moda transportasi sungai bersandar. Transportasi darat seperti mobil ketek belum banyak berkembang.

Saat itu, jelas transportasi sungai lebih dominan. Masyarakat luar Palembang luar seperti dari Banyuasin, Ogan Ilir (OI), Ogan Komering Ilir (OKI) hingga Ogan Komering Ulu (OKU) hingga daerah lain yang dialiri sungai Musi pun, pergi ke Palembang masih menggunakan perahu.

“Nah, salah satu tempat bersandar perahu warga datangan itu yakni di dermaga depan Benteng,” ungkap Marwan dibincangi Sumeks Minggu dikediamannya, Kamis (13/10) lalu.

Selain dermaga, diingatnya juga menjadi tempat mangkal tukang keruntung (buruh angkut, red) yang membawa barang bawaan para pendatang. Dari dermaga ini, para pendatang itu mulai berjualan. Hasil perkebunan, terutama buah pisang yang dibawa dari luar Palembang.

Satu persatu pedagang membangun lapak. Mereka pun terus bertambah hingga ratusan. Mereka berjejer dari Rumah Makan (RM) Riverside hingga dermaga BKB saat ini (tempat penjualan tiket kapal wisata, red). Sedangkan dermaga, sedikit bergeser ke pasar Sekanak. “Bahkan, pedagang itu sudah sampai ke depan RS AK Gani,” urai Marwan.

Bahkan, dari beberapa gambar Palembang tempoe dulu, para pedagang sudah menggelar lapaknya hingga ke samping museum SMB II mengarah pasar 16 Ilir yang sekarang dijadikan tempat parkir.

Dampak pedagang berjualan buah, ikan hingga ternak inilah yang membuat bau tidak sedap. Dengan keadaan kumuh serta becek ini, Palembang jauh dari keadaan bersih. Apalagi saat malam, Pekerja Seks Komersil (PSK) liar serta penodong kerap beraksi di daerah tersebut.



Dimulai Masa H Husni, Disulap Zaman Eddy Santana
Adanya rencana pembangunan turap disepanjang sungai Musi, khususnya depan BKB pada masa Walikota H Husni, membuat para pedagang tergusur. Ini terjadi pada tahun 2000, saat Marwan Hasmen baru menjabat sebagai Kasat Pol-PP.

Hanya saja, masalah penggusuran pedagang ini menurut Marwan sulit dilaksanakan. “Sebenarnya hati kita tidak ngasih mau ngusir pedagang. Mereka itu terkadang memang sekedar cari makan. Cuma, mau jadi apa Palembang kalau seperti itu terus,” ungkapnya dengan mata menerawang.

Alhasil, mulai tahun 2000, ia melakukan sosialisasi dengan langkah persuasive. Secara perlahan terus ia dengungkan akan adanya pembangunan turap. Bukan hal mudah. Marwan mengaku saking sulitnya memindahkan pedagang, ia terpaksa turun malam hari untuk sekedar minum kopi bersama pedagang sambil melakukan sosialisasi.

“Persuasive, itu langkah yang saya tempuh. Sambil ngopi malam-malam itu, pedagang terus saya ingatkan untuk pindah karena akan adanya pembangunan,” jelasnya.

Terus diingatkan banyak juga pedagang membongkar sendiri lapak dagangannya. Namun, hingga tahun 2003, ketika H Husni keluar dan Walikota Ir H Eddy Santana Putra MT masuk, masih ada sedikit pedagang berkeras. Mereka inilah yang kemudian terpaksa digusur total. Pada zaman Eddy Santana inilah, rancangan pembangunan turap dikembangkan hingga menjadi pelataran BKB saat ini.

Mungkin banyak orang berjasa merubah wajah Palembang dari pasar kumuh menjadi pelataran yang menampakan keindahan, tertib hingga menunjang pariwisata. Namun seorang Marwan cukup berbesar hati. Karena atas kontribusinya saat menjabat Kasat Pol-PP, ia berhasil melakukan penertiban pedagang dengan langkah persuasive. Kenangan yang ia banggakan bagi pembangunan Palembang. (wwn)

Written by: Samuji Selasa, 18 Oktober 2011 12:28 | Sumeks Minggu

0 comments:

Post a Comment

Terima Kasih Kunjungannya Saudara-saudaraku