Yang Tersisa Dari Kehebatan Meriam Palembang, Produk Lokal
Zaman Kesultanan Palembang memiliki banyak alat-alat perang untuk menjaga keamanan wilayah dari serangan musuh. Salah satu yang terkenal, meriam “Sri Palembang” atau “Penghulu Palembang”. Ditempatkan di beberapa titik pertahanan penting, dengan kehebatan meriam ini, musuh sulit menembus wilayah Palembang. Membuat Palembang begitu disegani. Siapa sangka, meriam-meriam tersebut merupakan produk lokal, di produksi di belakang Masjid Agung, tepatnya di Jl Kepandean sekarang. Menunjukan, pada masa Kesultanan Palembang telah memiliki peradaban tinggi. Sayang, pertahanan Palembang akhirnya tertembus karena kelicikan Belanda.
Jika berjalan di pelataran Museum Sultan Mahmud Badaruddin (SMB) II, wisatawan dapat melihat dua meriam besar berada di depan. Meriam ini, diperkirakan sudah ada sejak dibangunnya gedung museum, dulunya digunakan sebagai kantor dan rumah Residen Belanda. Abi Sofyan, quide Museum SMB II memperkirakan, kedua meriam ini berasal dari Inggris. Karena dari salah satu meriam tertulis huruf Romawi serta tahun, diperkirakan pembuatan meriam, 1782.
Lain dari dua meriam tersebut, di bagian belakang museum terdapat dua meriam yang lumayan besar tapi lebih kecil dari meriam di bagian depan. Kedua meriam ini sendiri ditemukan masyarakat ketika pembangunan plaza Benteng Kuto Besak, sekitar tahun 2004 lalu.
Lain dari museum SMB II, meriam serupa bisa dilihat dalam BKB, depan Markas Kesdam II Sriwijaya. Jumlahnya ada dua, namun sulit dilihat masyarakat umum karena ketatnya penjagaan anggota TNI dibagian depan.
Dua meriam lainnya bisa dilihat masyarakat di depan Museum Tekstil Jl Merdeka serta di museum Balaputra Dewa, tepatnya di depan rumah Bari. “Kedua meriam itu (Museum Tekstil dan Museum Balaputra Dewa, red) berasal dari sekitaran BKB yang dulunya masuk lingkungan keraton Kesultanan,” ungkap Kms H Andi Syarifuddin SAg, kepada Sumeks Minggu dibincangi dua hari lalu.
Saat ini, meriam-meriam tersisa di Palembang, sepintas sekedar jadi penghias. Namun, dirunut ke belakang, meriam-meriam inilah senjata ampuh zaman Kerajaan hingga Kesultanan Palembang.
Dibawa Pelarian Kesultanan Demak
Dari berbagai referensi buku yang sempat dipelajarinya, yang namanya meriam di Palembang, diperkirakan Andi berasal dari tanah Jawa. Tahun 1528, Kesultanan Demak tercatat pernah memberi sebuah hadiah kepada Sultan Banten sebuah meriam, dinamakan “Kiamuk.”
Tak lama kemudian, di Kesultanan Demak terjadi perang saudara. Mengakibatkan, keluarga Kesultanan Demak melarikan diri ke Palembang, kembali ke tanah kelahiran leluhur mereka, Raden Fatah. Pada pelarian ini, keluarga Kesultanan Demak diyakini membawa artileri perang, termasuk meriam. Awalnya meriam yang ada hanya 75 buah. Hingga dibawah kepemimpinan Ki Gede Ing Suro, mereka membangun sebuah kerajaan baru di Kuto Gawang (sekarang PT Pusri, red).
Tahun 1659, Kerajaan Palembang tercatat pernah bertempur dengan Belanda. Membuat kerajaan di Guto Gawang hancur lebur oleh Belanda. Hingga, pangeran Si Doing Rajek mengungsi ke Indralaya (makamnya di Sako Tiga).
Zaman Sultan Abdurahman sendiri, serangan dari Kesultanan Banten pernah terjadi. Pada dua peperangan ini sendiri, meriam-meriam Palembang dijuluki meriam “Sri Palembang” dengan panjang lima meter telah digunakan. Membuat wilayah Kerajaan hingga Kesultanan Palembang aman dari serangan musuh. Banten pun kapok menyerang Palembang.
Biji Besi Didatangkan Dari China
Satu yang menarik pada masa SMB II atau akhir masa Kesultanan, meriam telah diproduksi sendiri. Salah seorang warga Belanda yang kemudian membelot karena masuk Islam, digunakan ilmunya untuk membuat meriam ini.
Ketika itu, biji besi didatangkan langsung dari China. Itu untuk membuat meriam serta peluru. Sedangkan mesiu diambil dari kawasan Tebing Tinggi. Nah, pembuatan meriam ini, dilakukan di belakang Masjid Agung yang dulunya masuk areal keraton. Sekarang, kawasan tersebut dikenal sebagai Jl Kepandean.
Nama Kepandean diyakini diambil karena kawasan tersebut dulunya merupakan tempat ahli-ahli senjata menempa besi. Seluruh senjata pada masa Kesultanan diproduksi di kawasan tersebut.
Jumlah meriam yang ada pada masa itu mencapai 383. Sebanyak 242 meriam ditempatkan di lingkungan Keraton. Sebanyak 91 meriam di Tambak Baya (Plaju), 29 di Pulau Kembara Darat, 21 lainnya di Pulau Kembara Laut.
“Penghulu Meriam” atau meriam “Sri Palembang” dengan ukuran paling besar, panjang mencapai lima meter dengan kaliber mencapai 24 pond diletakan di Benteng Tambak Baya. Dengan pimpinan Pangeran Kramo Jayo serta Pangeran Kramo Dirajo. Kedua Pangeran ini merupakan menantu SMB II.
“Benteng Tambak Baya merupakan pintu masuk orang luar ke Palembang. Itulah mengapa ditempatkan ditempatkan di sana,” ungkap Andi.
Meriam-meriam ditempatkan di Tambak Baya ini sendiri memiliki ritual khusus sebelum menjalani peperangan. Meriam dan pelurunya di keramasi dengan jeruk purut. Kemudian dibacakan Yasin 40x, hingga dibacakan shalawat, tahlil dan doa selamat.
Dengan kekuatan serta ritual tersebut, kapal-kapal musuh rusak, tenggelam. Para serdadu banyak yang mati. Meriam-meriam inilah yang sangat dibanggakan masyarakat Palembang dan diakui para musuh.
Belanda Langgar Perjanjian, Kesultanan Takluk
Dengan kekuatan meriam di Tambak Baya, belum lagi 242 meriam berbagai ukuran di tempatkan di lingkungan Keraton, tentu saja kekuatan artileri Palembang sangat kokoh. Berdasarkan sketsa dibuat Mayor William Thorn, orang Belanda ini mengungkapkan, jika di sepanjang sungai Musi, depan BKB atau Keraton Kesultanan, berjejer meriam ukuran besar. Belum lagi meriam ukuran kecil ditempatkan dalam lubang benteng. Membuat pertahanan Palembang betul-betul berlapis dan sulit ditembus lawan.
Lantas mengapa SMB II bisa takluk oleh Belanda tahun 1821 lalu? Berdasarkan catatan sejarah, Belanda menggunakan akal liciknya. Seperti yang mereka gunakan untuk mengalahkan musuh-musuhnya di Nusantara.
Saat terjadinya peperangan melawan Belanda, memakan waktu yang cukup lama, kedua belah pihak sempat mencapai kesepakatan soal gencatan senjata. Karena awalnya Belanda meminta pihak Kesultanan tidak menyerang pada hari Minggu. Karena hari itu digunakan tentara Belanda untuk beribadah.
Permintaan Belanda disetujui. Dengan catatan, Kesultanan juga meminta Belanda tidak melakukan penyerangan pada hari Jum’at dilakukan pihak Kesultanan yang umumnya muslim untuk beribadah.
Gencatan senjata pada dua hari dalam seminggu tersebut sempat berlangsung. Hingga tiba-tiba, Belanda melanggar perjanjian dan menyerang Kesultanan pada hari Minggu. Inilah menyebabkan Kesultanan Palembang dibawah kepemimpinan SMB II akhirnya takluk pada Belanda. Karena hari Minggu tersebut, pasukan jihad Kesultanan tidak berada pada posisi bertempur.
Meriam-meriam besar disebut sebagai meriam “Sri Palembang”, berukuran besar dengan panjang hingga lima meter kini tak terlihat lagi. Diyakini, seluruh meriam telah diangkut tentara Belanda sebagai harta rampasan perang.
Meriam Kecil Digunakan Masa Kemerdekaan
Lain dari meriam-meriam berukuran besar, Kesultanan pun memiliki meriam berukuran kecil. Di museum SMB II, terlihat beberapa koleksi tersebut. Meski terlihat kecil, dengan panjang ukuran tangan orang dewasa, meriam tersebut tetap saja berat.
Jika meriam ukuran besar terbuat dari besi dan berwarna kehitaman, meriam-meriam kecil tersebut lebih berwarna kekuningan, menggunakan bahan tembaga. Meriam ukuran kecil ini, diyakini diletakan di lubang-lubang sepanjang Benteng yang kini masih terlihat.
Tidak hanya di museum SMB II, di dalam gedung Monpera, meriam ukuran kecil juga dijadikan koleksi bersama senjata api lainnya. Keterangan Lidia, quide Monpera, meriam tersebut dikenal dengan nama meriam Sunan.
Nah, meriam tersebut diletakan di Monpera, karena meriam tersebut digunakan para pejuang kemerdekaan. “Kelihatannya memang buatan zaman Kesultanan. Tapi, meriam ini juga digunakan pada masa kemerdekaan. Meriam seperti itu, diisi batu juga bisa. Asal bisa ada mesiunya dan meledak,” ungkap Lidia. (wwn)
Written By: Samuji Selasa, 12 Juni 2012 13:40 | Sumeks Minggu
0 comments:
Post a Comment
Terima Kasih Kunjungannya Saudara-saudaraku