Sungai Musi, aset alam terbesar di metropolis. Sejak zaman kerajaan Sriwijaya, sungai yang membelah Seberang Ulu dan Seberang Ilir ini diyakini mempunyai peran penting penunjang transportasi serta meningkatkan ekonomi melalui perdagangan.
Sayangnya, sungai terpanjang di Sumatera ini, kini mulai mengalami kerusakan akibat pencemaran. Jika tidak ada pembenahan, bisa saja sungai yang menjadi andalan masyarakat Sumsel ini rusak parah.
Banyak yang menyebut sungai ini dengan Batanghari sembilan. Maksudnya, sungai Musi menjadi muara sembilan sungai yang ada di kawasan Sumsel. Sembilan sungai tersebut, mulai dari sungai Komering, sungai Rawas, sungai Leko, sungai Lakitan, sungai Lematang, sungai Ogan, sungai Kelingi, sungai Kikim serta sungai Musi sendiri.
Di tepian sungai inilah, masyarakat Sumsel diyakini hidup dan mendirikan perumahan. Karena sungai merupakan urat nadi kehidupan. Pada dasarnya, manusia tidak dapat di lepaskan dengan air. Baik untuk minum, mandi cuci kakus (MCK).
Termasuk untuk bepergian, diyakini masyarakat kala itu lebih dominan menggunakan transportasi air. Masyarakat dari belahan penjuru Sumsel pergi ke Palembang menggunakan kapal serta tongkang.
Kapal dari provinsi lain pun dapat melewati sungai ini terpanjang di Sumatera ini. Dengan panjang sungai mencapai 600 km, hulu (sumber air,red) sungai Musi berasal dari Bukit Barisan Bengkulu. Sedangkan hilirnya (tempat air bermuara,red) berada di sungsang Banyuasin, mengarah ke laut lepas.
Sungai ini pun melewati Provinsi Lampung melalui sungai Warkuk yang masuk melalui sungai Komering, OKU Selatan (OKUS). Termasuk Provinsi Jambi melalui sungai Lemurus dan melintas melalui sungai Rawas.
Sehingga, kapal-kapal besar dari mancanegara bisa masuk ke Musi. Yang membuat perdagangan, terutama pada zaman Sriwijaya dengan ibukotanya Palembang berkembang pesat.
Dengan berbagai anak sungai di kawasan Palembang, masyarakat dulunya melakukan jual beli di aliran sungai. “Dulu kalau mau belanja, pedagang itu naik perahu. Pembelinya kan ada di aliran sungai itulah,” ungkap Drs Ali Hanafiah, Kepala UPTD Museum Sultan Mahmud Badaruddin (SMB) II Palembang.
Bahkan, di aliran Musi sendiri menurutnya banyak terdapat rumah rakit yang hingga kini masih banyak didapati. Hanya saja, keterangan pria berkacamata ini, dulunya yang tinggal diatas rumah rakit disusun di atas bambu besar hanyalah penduduk datangan. Masyarakat Tionghoa serta Eropa.
“Itu terjadi pada masa kesultanan. Rumah itu diatas sungai dan diikat tali agar tidak hanyut. Sekarang, yang tinggal diatas rumah rakit kebanyakan yang jual bensin atau solar,” ungkapnya.
Sejarawan serta budayawan Palembang ini mengingat, zaman kolonial Belanda hingga zaman kemerdekaan beberapa jenis perahu digunakan masyarakat Palembang. Untuk menyebrang dari Seberang Ulu ke Seberang Ilir atau sebaliknya. Ini karena belum dibangunya jembatan Ampera.
Seperti perahu tambang yang di kayuh oleh tenaga manusia. Panjang sekitar empat meter dengan daya tampung enam hingga sepuluh orang. “Setelah dibangun Ampera, kapal ini masih ada di kawasan Tangga Buntung dan Masjid Suro. Setelah para pengemudinya lanjut usia, tidak ada lagi yang menggantikanya,” ungkap Mang Amin, panggilan akrab, Ali Hanafiah.
Ada juga perahu kapal roda lambung. Sesuai namanya diatas kapal terdapat roda. Kapal lainya, Mary. Sama halnya dengan kapal roda lampung, kapal Mary bermuatan besar. Mengangkut penumpang yang hendak bepergian seputar kawasan Plaju, Sungai Gerong hingga Kertapati.
Anak Sungai Menghilang, Sampah Berserakan
Lantas seperti apa keadaan sungai Musi saat ini? Ada banyak perubahan. Terutama pada anak-anak sungai Musi. Beberapa anak sungai seperti Kapuran di jalan Merdeka, tepat depan kantor Walikota Palembang menghilang. Termasuk sungai Tengkuruk, ditimbun kolonial Belanda untuk melancarkan transportasi darat.
Anak sungai lain, seperti sungai Sekanak, sungai Kedukan di 35 Ilir, sungai Bayas di jalan Veteran serta sungai Tawar di 29 Ilir hampir menghilang. Dikatakan begitu karena keadaanya sudah sangat mengkhawatirkan. Sungai tersebut mendangkal akibat tumpukan sampah dibuang masyarakat serta jarangnya dikeruk. Tak ada anak yang melompat ke air serta perahu yang melintas.
“Kalau dulu di anak-anak sungai itu masyarakat bisa berperahu hingga berdagang. Sekarang hanya kalau air pasang, sungai bisa dilalui,” ungkapnya.
Masalah sampah ini lanjut Mang Amin sudah dilarang Pemerintah Kota (Pemkot) Palembang. Melalui Peraturan Daerah (Perda) No 44 tahun 2002. Cuma ibarat peraturan yang tidak ada petugas untuk memantau serta memberikan sanksi, masyarakat tetap saja buang sampah di sungai.
“Di jalan saja kalau tidak ada polisi, kita gak pake helm saja kan tidak masalah. Sama kayak Perda itu. Kalau sekedar larangan tidak yang memantau dan petugas yang memberi sanksi percuma saja,” jelasnya.
Selain masalah sampah, kebiasaan jelek masyarakat yang tidak juga hilang adalah masalah MCK. Hingga kini, Mang Amin yang juga tinggal di pinggiran Musi melihat masih kurangnya masyarakat yang memiliki jamban.
Alhasil, masyarakat yang tidak memiliki jamban tetap membuang hajatnya di sungai Musi. Malam mereka transparan duduk di pinggiran sungai, kalau siang masyarakat berpura-pura mandi sambil buang hajat.
Pernah dibuat dibuat WC umum bagi masyarakat, untuk meminimalisir masalah ini. Di satu pemukiman dibuat WC dengan dua pintu. Sayang sistem ini tidak efektif dan cenderung gagal. “WC itu rusak. Gak ada yang merawat,” tandas Mang Amin. (wwn)
Written by: samuji Selasa, 31 Mei 2011 12:48 | Sumeks Minggu
salah satu faktor mundurnya kerajaan sriwijaya adalah sudah jarang kapal kapal besar yang ingin singgah . akibat pendangkalan sungai musi.... tapi sekarang sungi musi bagaikan TONG SAMPAH raksasa dan perubahan ALAM.
ReplyDelete