Saturday 22 September 2012

Koin Satu Sisi, Tanpa Nilai Tukar

Share on :



Pitis, Mata Uang Zaman Kesultanan Palembang
Zaman dulu, masyarakat melakukan pertukaran atau barter untuk mendapatkan barang-barang dibutuhkan. Banyaknya keterbatasan pada sistem barter ini, memunculkan sebuah ide dengan menciptakan uang.Setelah diciptakan, penyempurnaan alat tukar ini terus berkembang. Lihat saja mata uang zaman Kerajaan hingga Kesultanan Palembang yang berbentuk koin. Bentuknya begitu sederhana, jauh dari bayang uang logam masa kini.

Zaman Sriwijaya yang namanya uang diyakini sudah mulai digunakan. Termasuk pada zaman kerajaan hingga Kesultanan Palembang. Alasannya tentu saja, sejak saat itu, perekonomian sudah mulai maju.

Nah, uang pada masa kerajaan serta Kesultanan Palembang sendiri hingga kini masih cuku banyak tersimpan. Salah satunya di museum Sultan Mahmud Badaruddin (SMB) II. Di tempat ini, uang zaman Kesultanan tersebut di pajang dalam satu rak khusus, bersama uang pada masa-masa berbeda.

Sepintas, bentuknya samasekali tidak menampakan sebagai alat tukar atau yang kita sebut uang. Bentuknya berupa koin dengan warna sudah kehitaman. Dicermati, tulisan tertera menggunakan huruf Arab. Dari keterangan tertulis, koin tersebut dibuat pada tahun 1023 hingga 1253 H.

Uang zaman Kesultanan ini sendiri, ditulis sebagai hibah dari seorang masyarakat Palembang. Yakni, A Khalik R Muhibat, warga Kedukan Bukit I No 37/1, Kelurahan 35 Ilir. Jumlahnya lebih dari 60 buah.

Nilai Nominal Diperkirakan Berdasarkan Ukuran
Di dunia maya sendiri, beberapa kalangan masyarakat yang memiliki koin ini tampaknya menjadikannya sebagai ajang bisnis. Mereka membuka situs khusus dengan menawarkan uang pada masa Kesultanan Palembang yang disebutnya sebagai “pitis” kepada para kolektor.

Keterangan Kms H Andi Syarifuddin SAg, uang zaman Kesultanan memang kerap dicari kolektor barang antik. Imam Masjid Agung yang mencintai sejarah Palembang ini mengatakan, koin-koin tersebut sebenarnya bisa mengungkap sejarah serta jati diri kerajaan serta Kesultanan Palembang.

Pasalnya, Andi memiliki 12 koin zaman Kesultanan. Koin-koin ini didapatnya dari beragam cara mulai tahun 2000 lalu. Sempat memperlihatkan kepada Sumeks Minggu, koin dimiliki Andi tak jauh berbeda dengan koleksi di museum SMB II.

Warnanya kehitaman dengan tulisan Arab Melayu. Namun, ditegaskan Andi, warna asli koin zaman Kesultanan adalah putih. Meski ada koin, diyakini terbuat dari perak dan emas, kebanyakan koin pada masa Kesultanan dibuat dari bahan timah.

Bukan tanpa sebab digunakannya bahan timah ini. Andi mengatakan, timah yang banyak berasal dari Provinsi Bangka Belitung (Babel) dulunya masuk wilayah Kesultanan Palembang.

“Istri Sultan Abdurahman itu salah satunya putri dari Bangka Belitung. Jadi timah, bisa diambil dari sana (Babel,red),” ungkapnya.

Dibuatnya uang logam, bukan uang kertas sebenarnya sangat lumrah kala itu. Selain belum ditemukannya teknologi mencitpakan uang kertas, uang logam pastinya dinilai karena lebih memiliki daya tahan, tidak mudah rusak dan pecah.

Jauh berbeda dengan uang logam saat ini, uang logam zaman Kesultanan termasuk tipis. Ketika dipegang, begitu mudah dibengkokan dan tampaknya sangat mudah patah. Lain dari itu, hanya satu sisi bertuliskan Arab. Sisi lain kosong melompong.

Dari tulisan 12 koin dimiliki Andi, sepuluh diantaranya bertuliskan “As Sulthan fi balad Palembang sanah”. Dua diantaranya bertuliskan “fi balad Palembang”. Pada koin juga dituliskan tahun pembuatan.

Dari seluruh koin yang ada, menunjukan tiap pemimpin (Sultan,red) mengeluarkan uang sendiri. Paling tua tahun 1111 H atau 1699 (masa Sultan Abdurahman). Terbaru, tahun 1257 atau 1841 pada masa Perdana Menteri Krama Jaya.

Dari sebuah buku karangan almarhum Djohan Hanafiah, Andi membenarkan jika sebutan mata uang keluaran Kerajaan dan Kesultanan Palembang disebut Pitis. “Bahasa Palembangnya disebut Redano yang berarti uang,” jelasnya.

Istilah pitis sendiri tampaknya karena bentuk koin dikeluarkan. Dari jenis koin, ada yang berbentuk piti teboh (berlubang di tengah) dan piti buntu (tanpa lubang). Yang jadi pertanyaan hingga kini adalah penggunaan koin tersebut.

Dari seluruh koin, samasekali tidak mencantumkan nominal layaknya uang pada umumnya. Sehingga, Andi memperkirakan, penggunaan koin berdasarkan besar kecilnya koin. “Nilainya kan tidak ada. Jadi, yang masuk akal dari ukurannya. Besar atau kecil koin yang ada,” urainya. (wwn)

Written by: Samuji Rabu, 06 Juni 2012 10:00 | Sumeks Minggu

0 comments:

Post a Comment

Terima Kasih Kunjungannya Saudara-saudaraku